Menuju konten utama

Pelemahan Kurs Rupiah Akhir-Akhir Ini Dinilai Hanya Sementara

Kurs rupiah yang kembali melemah menyentuh Rp15.133 per dolar AS pagi ini, dinilai oleh ekonom Bank Permata, Josua Pardede hanya bersifat sementara.

Pelemahan Kurs Rupiah Akhir-Akhir Ini Dinilai Hanya Sementara
Petugas menata pecahan dolar Amerika di salah satu gerai penukaran mata uang di Kwitang, Jakarta Pusat, Selasa (8/5/2018). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Pelemahan kurs rupiah kembali terjadi Kamis pagi ini hingga Rp15.133 terhadap dolar AS setelah sehari sebelumnya berada di level Rp15.088 atas dolar AS. Namun, menurut ekonom dari Bank Permata, Josua Pardede bahwa pelemahan rupiah ini hanya sementara.

Alasannya, dikatakan Josua, beberapa kebijakan dari Bank Indonesia (BI) dan pemerintah sudah dikeluarkan dalam rangka menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/ CAD) untuk menstimuli penguatan rupiah.

Seperti adanya implementasi Biodiesel 20 persen (B20), kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 22 impor, serta upaya mendorong penerimaan devisa dari sektor pariwisata. Sementara, BI juga sudah memperketat kebijakan moneter diikuti dengan upaya mendorong swap hedging (lindung nilai tukar) dan Domestic Non-Deliverable Forwards (NDF).

"Diharapkan dapat mendorong stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka pendek ini," ujar Josua kepada Tirto pada Kamis (4/10/2018).

Selanjutnya, ia menilai bahwa pergerakan nilai tukar rupiah yang cenderung melemah dipicu oleh penguatan dolar AS terhadap seluruh mata uang dunia pada perdagangan waktu AS kemarin. "Penguatan dolar AS pun juga diikuti oleh kenaikan yield US-Treasury dan harga minyak dunia," ucapnya.

Tren kenaikan harga minyak mentah dunia telah mencapai level 75 dolar AS per barrel untuk WTI dan menembus level 85 dolar AS per barrel untuk jenis brent. "Berpotensi akan berdampak negatif bagi negara-negara yang notabene net-oil importer karena akan memberikan tekanan pada pelebaran defisit transaksi berjalan," ucapnya.

Selain itu, isu perang dagang antara AS dan China kembali memanas setelah pemerintah AS melakukan perjanjian perdagangan dengan pemerintah Kanada dan Meksiko yang mengisyaratkan pembatasan barang-barang dari China.

"Karena sentimen global yang cenderung risk-averse [menghindari risiko] terhadap hal-hal tersebut mendorong koreksi di pasar keuangan domestik yang didorong keluarnya dana asing di pasar obligasi dan pasar saham Indonesia," ujarnya.

Baca juga artikel terkait KURS RUPIAH atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Maya Saputri