tirto.id - Pemerintah menargetkan mandatori biodiesel 20 persen (B20) dapat menghemat devisa negara sebesar 5,5 miliar dolar AS dalam setahun. Namun, karena pelaksanaannya baru dimulai per 1 September 2018, maka hingga akhir tahun diperkirakan penghematan devisa baru bisa dicapai 1,1 miliar dolar AS. Penghematan ini diperoleh dari pengurangan impor bahan bakar minyak (BBM), khususnya Solar.
Pelaksanaan mandatori biodiesel secara penuh ini juga diharapkan bisa memperbaiki neraca perdagangan yang saat ini masih terus defisit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada Juli 2018 mengalami defisit sebesar 2,03 miliar dolar AS atau tertinggi sejak 2013.
Pelaksanaan perluasan mandatori B20 yang dilakukan sejak 1 September ini diharapkan dapat menekan defisit neraca perdagangan, menghemat devisa, dan mengurangi impor BBM. Upaya ini dinilai sangat penting mengingat konsumsi BBM Indonesia lebih dari separuhnya dipenuhi dari impor.
Berdasarkan data BP Statistical Review of World Energy 2018, konsumsi minyak dalam negeri meningkat tajam, dari 1,56 juta barel per hari (bph) pada 2015 menjadi 1,65 juta bph pada 2017. Sementara produksi minyak dalam negeri berdasarkan data SKK Migas, tercatat hanya 786 ribu bph pada 2015 menjadi 801 rubu bph di tahun 2017.
Sayangnya, pelaksanaan mandatori B20 hingga saat ini masih menghadapi sejumlah hambatan. Salah satunya soal pemenuhan pasokan bahan baku biodiesel dari kelapa sawit (Fattyt Acid Methyl Ester/FAME) dari Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BBN) kepada BU Bahan Bakar Minyak (BBM).
Pada 18 September lalu, pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Archandra Tahar menyatakan pihaknya sedang melakukan pendalaman pencapaian penghematan devisa terkait pelaksanaan perluasan mandatori B20 ini. Ia menekankan pemerintah tidak ada rencana untuk merevisi target penghematan devisa.
“Bukan kemungkinan turun [target penghematan], yang disebutkan selama ini setahun [sepanjang] 2018, kan ini enggak setahun. Ini September, Oktober, November, Desember. Nanti kami hitung angkanya, jangan terlalu cepat ambil kesimpulan,” kata Archandra di Jakarta.
Akan tetapi, hingga saat ini pemerintah belum memberikan hitungan terbaru maupun tanggapan mengenai target penghematan devisa dengan adanya kendala dalam perluasan mandatori B20 ini.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Adiatma Sardjito juga tak mau menjawab saat mulai disinggung mengenai realisasi target penghematan devisa pemerintah dari mandatori B20. Adiatma hanya menekankan bahwa kendala penyaluran B20 ada di sisi distribusi pasokan FAME oleh BU BNN.
“Suplai FAME-nya belum sesuai kesepakatan, kalau Pertamina siap,” kata Adiatma kepada Tirto pada Jumat (28/9/2018).
Adiatma tidak bisa memastikan penyaluran B20 itu dapat terealisasi hingga 100 persen. “Belum tahu karena tidak dalam kendali Pertamina,” kata dia menambahkan.
Total kebutuhan FAME Pertamina untuk dicampurkan ke solar subsidi dan non subsidi, yaitu sekitar 5,8 juta kiloliter (Kl) per tahun. Campuran tersebut untuk memenuhi 112 Terminal BBM (TBBM) untuk kemudian disalurkan ke berbagai SPBU di seluruh Indonesia.
“Saat ini penerimaan FAME baru untuk 74 TBBM Pertamina atau 62 persen dari komitmen,” ujar Adiatma.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro tidak heran dalam kondisi seperti ini, pihak pemerintah maupun Pertamina cenderung bungkam untuk mempublikasikan kondisi riil soal mandatori B20 ini.
“Saya kira motif utama pemerintah untuk itu [mandatori B20] tetap berjalan. Kalau dibeberkan, dikhawatirnya menimbulkan kontraproduktif. Mungkin ya, saya juga enggak tahu [persis]” kata Komaidi kepada Tirto, Jumat (28/9/2018).
Sementara itu, dengan melihat kondisi kesiapan BU BBN yang belum optimal, Komaidi memperkirakan potensi capainya penghematan devisa negara akan di bawah 1,1 miliar dolar AS pada 2018. Artinya, capaian ini di bawah target pemerintah.
“Itu potensi [1,1 miliar dolar AS] kalau tercapai sepenuhnya [mandatori] B20. Kalau realisasinya seperti sekarang ada hambatan tentu akan di bawah itu,” kata Komaidi.
Sementara itu, Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Pieter Abdullah Redjalam mengatakan bila 50 persen dari 1,1 miliar dolar AS penghematan devisa dapat dicapai pada 2018, itu sudah cukup bagus.
“Yang saya tahu dalam realisasinya banyak hambatan khususnya dari ketersediaan FAME yang akan dioplos [menjadi B20]. Kalau pemerintah belum bisa menyelesaikan jaminan pasokan kepada yang akan melakukan oplosan (BU BBM) seperti Pertamina, nampaknya penghematan itu sulit tercapai, saya kira 50 persen dari 1,1 miliar dolar AS itu sudah bagus,” kata Pieter kepada Tirto.
Perlu Kepastian Pasokan
Meski demikian, Komaidi tetap optimistis penghematan devisa dapat tercapai optimal sesuai target bila rencana itu sejalan dengan kepastian pasokan FAME dari Badan Usaha BBN ke Badan Usaha BBM. “Waktunya kapan? Itu relatif enggak bisa dipatok, apakah 1, 2, 3 bulan. Kalau itu direncanakan dengan baik, multisektor bergerak bareng-bareng lebih cepat, maka hasilnya bisa lebih cepat,” kata Komaidi.
Komaidi mengatakan memang fundamental dari hambatan pelaksanaan mandatori B20 adalah dari sisi produsen FAME. “Tangki timbun (TBBBM) Pertamina belum siap 100 persen memang iya, tapi yang jauh lebih menentukan adalah kesiapan produsen FAME,” kata Komaidi.
Komaidi mengatakan idealnya dalam pengambilan kebijakan terdapat koordinasi dan kesepakatan yang sejalan guna mengantisipasi adanya hambatan yang mungkin terjadi, seperti saat ini. Komaidi menduga, hambatan ini terjadi karena koordinasi antara pemerintah dan para stakeholder saat ini masih sangat lemah.
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan menyatakan pihaknya masih berusaha terus memenuhi komitmennya dalam memasok FAME. Paulus mengatakan bahwa hambatan yang dikeluhkan BU BBM adalah tantangan.
“Aprobi tentunya akan berusaha terus sesuai dengan komitmen kami untuk memenuhi PO (Purchase Order) yang telah di terima oleh anggota,” kata Paulus kepada Tirto, pada 21 September 2018.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz