tirto.id - Perluasan mandatori biodiesel 20 persen (B20) yang diproyeksi dapat meningkatkan persentase penggunaan energi baru terbarukan terhambat. Salah satu kendalanya karena Pertamina masih kekurangan pasokan FAME (Fatty Acid Methyl Eter) atau bahan campuran biodiesel 20 persen (B20) dari Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN).
Sejauh ini, baru 69 dari 112 terminal bahan bakar minyak (BBM) yang sudah menerima penyaluran FAME. Sementara sebagian besar daerah yang belum tersalurkan FAME berada di kawasan timur seperti Nusa Tenggara Timur, Maluku, Papua, dan Sulawesi.
"Seluruh instalasi Pertamina sudah siap blending B20. Namun penyaluran B20 tergantung pada suplai FAME, di mana hingga saat ini suplai belum maksimal didapatkan," kata Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati seperti dikutip Antara, 21 September lalu.
Untuk mendorong perluasan penerapan kebijakan itu, pemerintah menetapkan sanksi denda kepada BU BBN dan Badan Usaha BBM yang tidak melaksanakan mandatori B20 ini. Sanksi itu berlaku efektif sejak Kamis (27/9/2018).
Landasan hukumnya adalah Perpres Nomor 66 Tahun 2018 serta Peraturan Menteri ESDM Nomor 41 Tahun 2018. Dua regulasi itu mengatur soal denda Rp6.000 per liter bagi Badan Usaha (BU) BBN dan BU BBM yang tidak menjalankan mandatori B20.
Sanksi paling berat adalah pencabutan izin BU yang dikeluarkan setelah tiga kali peringatan tidak diindahkan oleh BU BBN dan BU BBM. "Kalau yang salah BU BBN-nya, ya dia yang kena, kalau yang salah BU BBM-nya, dia yang didenda," kata Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, pada Selasa lalu (25/9/2018).
VP Corporate Communiation Pertamina, Adiatma Sardjito, membenarkan penyaluran FAME hingga saat ini memang mengalami banyak kendala. "Suplai FAME-nya, tidak sesuai PO [purchase order]" kata Adiatma saat dihubungi Tirto.
Hal itu, kata Adiatma, membuat penyaluran ke 74 terminal BBM milik Pertamina hingga sekarang baru mencapai 62 persen dari yang ditargetkan. Adiatma mengaku tak adil jika penerapan sanksi itu dibebankan kepada Pertamina. Sebab, pasokan FAME itu berasal dari produsen BBN.
"Ya enggak adil dong. Kalau FAME-nya enggak ada gimana?" kata dia.
Sementara itu, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), Paulus Tjakrawan menyatakan pihaknya masih berusaha terus memenuhi komitmennya dalam memasok FAME. Paulus mengatakan hambatan yang dikeluhkan BU BBM adalah tantangan.
"Aprobi tentunya akan berusaha terus sesuai dengan komitmen kami untuk memenuhi PO [Purchase Order] yang telah diterima oleh anggotanya," kata Paulus saat dikonfirmasi Tirto, 21 September lalu.
Bisakah Sanksi Berjalan Efektif?
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, mengatakan sanksi itu bisa saja efektif, tapi pemerintah harus lebih cermat melihat penyebab terhambatnya pasokan yang terjadi di lapangan. Misalnya, soal ketiadaan transportasi pengangkut serta kendala cuaca.
"Misalnya saya mau ngirim [CPO/FAME], tapi kapalnya enggak ada, kan bisa saling terkait kendala-kendala ini. Artinya penerapan sanksi itu perlu, tapi pada praktiknya harus lihat kondisi di lapangan juga. Tidak sembarang orang bayar denda padahal itu dari hal yang sulit dicapai," kata dia kepada Tirto, Jumat (28/9/2018).
Sebab, kata Marwan, bila tidak ada dorongan sama sekali, maka mustahil target pemerintah untuk menghemat devisa sebesar 11 miliar dolar AS dari penggunaan biodiesel hingga akhir Desember 2018 dapat tercapai.
Selain itu, kata dia, pemerintah juga harus serius mengatasi kendala pemakaian B20, terutama di badan usaha seperti sektor industri, lokomotif, dan pertambangan milik pemerintah. Sebab, jika BUMN tidak menjalankan mandatori ini secara penuh, hal ini akan jadi contoh buruk kepada perusahaan swasta nasional.
"Jadi harus ada target bahwa kalau bicara BUMN, misalnya KAI, bicara lembaga pemerintah itu kan harus ada contoh untuk menunjukkan bahwa mereka ini memang patuh dan lebih sigap untuk menjalankan kebijakan pemerintah. Dengan begitu bisa menular ke swasta," kata Marwan.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menilai terseoknya implementasi penerapan biodiesel disebabkan ketidaksiapan banyak pihak untuk menjalankan mandatori pemerintah. Secara teknis, kata Komaidi, substitusi solar dengan biodiesel untuk jangka pendek mudah dilakukan. Pencampurannya juga tidak memerlukan teknologi canggih.
"Jadi produsen dari kelapa sawit ke FAME, sebelum ke Pertamina, itu kan pasoknya kalau diminta meningkat signifikan mereka belum sepenuhnya siap. Tangki timbun Pertamina belum siap 100 persen, memang iya. Tapi yang jauh lebih menentukan adalah kesiapan produsen FAME," kata Komaidi.
Idealnya, kata dia, pemerintah sudah berkoordinasi dan mengantisipasi produksi FAME yang kini sedang mengalami penurunan. Sayangnya, menurut Komaidi, pemerintah seperti diburu waktu sehingga koordinasi tidak terwujud.
"Ini berarti belum tuntas [koordinasinya]. Kalau hanya perwakilan atau belum seluruhnya kan kadang informasi dari salah satu pengurus ke pemerintah dengan fakta di lapangan sebelum diverifikasi belum tentu sama," kata dia.
Dengan kondisi seperti itu, Komaidi menilai penerapan mandatori B20 baru akan berjalan efektif dalam beberapa bulan ke depan. "Waktu relatif enggak bisa dipatok 1, 2, 3 bulan. Kalau itu direncanakan dengan baik dan multisektor bergerak bareng-bareng. Bisa lebih cepat," imbuhnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz