Menuju konten utama

Diskursus Timnas Indonesia: Naturalisasi vs Pembinaan Usia Muda

Pembinaan usia muda yang tepat dan jelas akan memungkinkan Indonesia bisa memproduksi bakat secara konsisten dan sustain.

Diskursus Timnas Indonesia: Naturalisasi vs Pembinaan Usia Muda
Header Perspektif Aunrahman. tirto.id/Tino

tirto.id - Gegap gempita. Itulah gambaran perasaan, bukan hanya oleh puluhan ribu pasang mata di stadion Gelora Bung Karno, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia setelah tim nasional sepakbola secara heroik sukses menahan gempuran Australia. Beberapa hari sebelumnya, skuad merah putih juga tampil luar biasa dengan mencuri poin di kandang Arab Saudi.

Penampilan sensasional di laga melawan Australia dan Arab Saudi seakan melengkapi pencapaian luar biasa timnas sepakbola Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Dari berbagai kelompok umur hingga level senior. Pencapaian saat ini rasanya bukan sesuatu yang ada di bayangan banyak orang setidaknya ketika mengingat sengkarut sepakbola nasional selama satu dekade ke belakang.

Namun, di tengah euforia tersebut, kemudian muncul sebuah pandangan yang berbeda. Mula-mula ini dimunculkan oleh pengusaha sekaligus mantan duta besar Republik Indonesia untuk Polandia, Peter Gontha. Lalu disambung oleh pernyataan dari filsuf kenamaan, Rocky Gerung. Keduanya merupakan figur publik yang secara terbuka mengatakan bahwa ada yang salah dengan situasi saat ini. Bahkan Bung Rocky menyebut bahwa yang terjadi adalah “penipuan sensasi”.

Tentu saja pendapat keduanya memicu perdebatan besar. Memacu kemunculan diskursus terkait naturalisasi untuk Timnas Indonesia. Setidaknya ada dua kelompok besar, meskipun pada kenyataannya, ada irisan-irisan lain. Kelompok yang pertama menganggap bahwa naturalisasi itu “no problem”, karena realitanya di sepakbola internasional, fenomena tersebut juga sering terjadi.

Sementara satu kelompok lain memiliki pokok pikiran utama yang dimunculkan yaitu; dengan program naturalisasi yang sudah berjalan, bagaimana dengan pembinaan bakat usia muda domestik?. Meskipun dalam tahapan yang lebih ekstrem, ada bagian dari kelompok ini yang juga secara penuh menolak naturalisasi.

Diskursus terkait naturalisasi vs pembinaan bakat usia muda menjadi tajuk utama. Pihak otoritas sepakbola Indonesia, yaitu PSSI, dalam berbagai kesempatan sudah sering menyebutkan bahwa program naturalisasi ini merupakan sebuah langkah jangka pendek untuk meningkatkan kualitas sepakbola negeri ini. Sementara pembinaan usia muda juga tetap dikejar.

Tentu pertanyaan yang muncul di kepala banyak orang adalah:

“Kenapa, sih, ribet banget menyuarakan soal pembinaan terus. Timnas kita lagi jago ini”

Jawaban dari pertanyaan tersebut, setidaknya menurut badan sepakbola internasional FIFA ada beberapa.

Pertama, pembinaan usia muda adalah pondasi untuk masa depan sepak bola. Melalui pelatihan dan pengembangan yang tepat, bakat-bakat muda dapat dibentuk menjadi pemain berkualitas yang akan berperan dalam tim nasional. Kedua, Pembinaan usia muda yang kuat memastikan bahwa standar permainan terus berkembang. Semakin banyak pemain berbakat yang tumbuh melalui akademi atau program usia muda, semakin kompetitif pula liga dan turnamen di masa depan.

Ketiga, sustainabilitas jangka panjang: Negara yang memiliki sistem pengembangan pemain muda yang baik lebih mampu menjaga keberlanjutan performa mereka di level internasional dan domestik. Keempat, Pengembangan pemain muda juga berkontribusi pada peningkatan partisipasi dalam olahraga. Semakin banyak anak muda yang diberi kesempatan untuk berkembang, semakin luas basis pemain sepak bola, yang pada akhirnya memperkaya kualitas talenta.

Lalu mengapa ini menjadi urgensi yang mesti ditangani dengan serius?

Tanpa mengkerdilkan kemampuan pelatih Shin Tae-yong, harus diakui secara jujur bahwa penampilan hebat timnas Indonesia saat ini sangat terbantu oleh keberadaan para pemain naturalisasi. Lalu, sampai kapan mengandalkan para pemain keturunan Eropa ini?

Ibaratnya sebuah sumber daya, meski terlihat melimpah, setidaknya saat ini, tentu akan ada kalanya mengalami scarcity atau kelangkaan. Karena itu mesti dicari sustainable clean energy yang bisa terus menjadi bahan bakar dan membuat sepakbola Indonesia terus berlari. Dalam hal ini penyulingannya adalah bakat domestik. Mengapa? Karena tentu tidak semua diaspora Indonesia di luar negeri kemudian anaknya akan menjadi pesepakbola.

Sebenarnya yang kemudian dikejar adalah bagaimana PSSI akan melakukan sebuah langkah keberlanjutan. Sekali lagi, karena berdasarkan pernyataan yang sering dibuat, bahwa naturalisasi adalah sebuah langkah jangka pendek. Sementara dalam langkah terjauh adalah pembinaan usia muda domestik.

Pembinaan usia muda yang tepat dan jelas akan memungkinkan Indonesia bisa memproduksi bakat secara konsisten dan sustain. Bisa mengurangi ketergantungan terhadap naturalisasi. Saat ini program naturalisasi bisa berjalan dengan mulus harus diakui karena sepakbola Indonesia kini dipimpin oleh sosok dengan kapabilitas seperti Erick Thohir.

Tidak ada yang bisa menjamin kedepannya sepakbola Indonesia akan dipimpin oleh sosok dengan kapasitas dan kapabilitas yang setidaknya setara. Mesti diingat bahwa sepakbola Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang di balik jeruji besi.

Keberadaan pembinaan usia muda yang terstruktur dan jitu memungkinkan proses produksi bakat bisa berjalan secara terus menerus tanpa banyak terpengaruh sosok yang memimpin sepakbola Indonesia.

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.