tirto.id - Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menekankan bahwa edukasi mengenai hak cipta dan kepatuhan mekanisme penggunaan lagu untuk kebutuhan komersial adalah langkah dasar.
Melalui langkah ini, ekosistem musik nasional yang sehat dan berkeadilan dinilai dapat dibangun. Sayangnya, mayoritas pelaku usaha belum memahami konsep tersebut. Memutar lagu di ruang publik atau menyelenggarakan konser, misalnya, merupakan bentuk penggunaan komersial yang wajib memenuhi ketentuan hukum berlaku.
Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Razilu, menyampaikan, urgensi kepatuhan terhadap aturan ini bukan semata-mata perkara royalti, melainkan memahami dan menghargai hak atas karya cipta.
"Ini bukan hanya soal membayar royalti, tapi soal memahami bahwa setiap karya cipta memiliki hak ekonomi yang harus dihargai. Pelaku usaha perlu tahu bahwa menggunakan lagu di tempat usaha tanpa izin atau tanpa pembayaran royalti adalah pelanggaran," tegasnya di Kantor DJKI, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dijelaskan bahwa setiap penggunaan lagu untuk tujuan komersial memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Namun, untuk mempermudah dalam perizinan, undang-undang mengamanatkan membentuk Lembaga Manejemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai perantara satu pintu.
Lebih lanjut, pasal 23 ayat (5) dan pasal 87 Undang-Undang Hak Cipta menerangkan, pelaku usaha atau pengguna Layanan Publik bersifat Komersial cukup membayar royalti satu kali secara terpusat, yang kemudian akan didistribusikan kepada para pencipta dan pemilik hak terkait (penyanyi, musisi, produser fonogram) melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
“Kewajiban pembayaran royalti ini telah diatur secara tegas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan bahwa setiap orang yang menggunakan lagu atau musik dalam layanan publik bersifat komersial wajib mengajukan lisensi melalui LMKN. Ini berlaku untuk berbagai bentuk pemanfaatan lagu, mulai dari yang diputar di restoran, kafe, pub, diskotek, hingga konser musik,” papar Razilu.
Razilu menambahkan, tarif royalti pun telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016, yaitu sebesar 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket dan tambahan 1 persen untuk tiket gratis, atau 2 persen dari biaya produksi untuk konser tanpa tiket. Tanggung jawab pembayaran ada di tangan penyelenggara acara atau pemilik tempat usaha, bukan pada penyanyi atau musisi, kecuali jika mereka juga berperan sebagai penyelenggara.
Setelah pembayaran melalui LMKN, lanjut Razilu, pengguna tidak lagi membutuhkan izin langsung dari pencipta/pemegang hak cipta untuk keperluan performing right. Sebab, secara hukum hak tersebut telah terpenuhi.
Razilu menilai, prosedur ini memberikan kejelasan, kemudahan, dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha. “Jika terjadi sengketa dalam proses pembayaran royalti, penyelesaian dapat ditempuh melalui mediasi sebagaimana diatur dalam Pasal 95 ayat (4) UU Hak Cipta. Prosedur ini disediakan agar semua pihak dapat menyelesaikan perbedaan secara adil dan tanpa konflik berkepanjangan,” lanjut dia.
Terakhir, Razilu menyatakan bahwa DJKI akan terus berkomitmen dalam mengedukasi, memberi pendampingan, serta pengawasan penggunaan lagu untuk kepentingan komersial.
Dirinya menekankan, kepatuhan terhadap hak cipta bukan hanya perlindungan hukum bagi pencipta, tetapi juga landasan etika yang menguatkan industri kreatif nasional.
“Kita ingin masyarakat dan pelaku usaha tidak hanya taat aturan, tapi juga benar-benar mengerti kenapa aturan itu dibuat. Perlindungan hak cipta adalah bentuk dukungan nyata terhadap kemajuan musik Indonesia,” tutup dia.
(INFO KINI)
Penulis: Tim Media Servis
Masuk tirto.id


































