tirto.id - Sharing economy dan polemik regulasi menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkah. Namun, hiruk pikuk regulasi kali ini bukan soal ojek/taksi online, melainkan menyangkut sepak terjang sebuah online marketplace yang menghubungkan pemilik properti dengan calon penyewa. Online marketplace ini bernama Airbnb.
Airbnb memang sedang menjadi salah satu pilihan bagi wisatawan. Bukan cuma harganya yang murah, Airbnb menawarkan pengalaman travelling yang lebih fleksibel. “Alasannya (menggunakan Airbnb) karena buat rame-rame jadi lebih untung dibanding kalau pesan lebih dari satu kamar di Hotel. Bedanya bisa sampai 100 - 200 ribu,” kata Miranda (23 tahun), seorang milenial yang bekerja di perusahaan multinasional di daerah Jakarta Selatan kepada Tirto.
Airbnb merupakan bentuk sharing economy sewa properti global yang juga tumbuh pesat di Indonesia. Menurut data resmi dari rilis pers Airbnb yang diterima oleh Tirto, saat ini terdapat 880.000 tamu yang menggunakan jasa Airbnb di Indonesia, Pengguna di Airbnb di Indonesia didominasi oleh wisatawan dari Jakarta, London, Sydney, Singapura, dan Melbourne.
Tak hanya itu, jika digabungkan, pemilik properti Airbnb di Indonesia memperoleh pendapatan total sebesar 1 triliun rupiah dalam setahun terakhir. Namun, layaknya disrupsi sharing economy lain, permintaan untuk regulasi juga mulai disuarakan oleh pemain industri yang telah lebih dulu ada.
Kamis lalu (20/11/2017) Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Haryadi Sukamdani menjelaskan bahwa Airbnb dan Online Travel Agent (OTA) harus patuh terhadap aturan pajak penghasilan (PPh). Selain itu, ia juga mengatakan pemerintah harus menyiapkan regulasi untuk mengatur sistem sharing economy yang dipraktikkan oleh Airbnb.
Tentu ini bukan pertama kali pemerintah dihadapkan dengan tantangan untuk beradaptasi terhadap arus inovasi yang dipicu oleh sharing economy. Misalnya, tarik ulur regulasi antara pemerintah, perusahaan transportasi online, dan Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) telah menjadi agenda hangat pembicaraan setidaknya selama dua tahun terakhir. Senada dengan ini, Airbnb sebagai sebuah marketplace sewa properti menciptakan tantangan tersendiri bagi pemerintah untuk menciptakan regulasi yang ramah terhadap inovasi dan menjaga kompetisi yang sehat antar industri penyedia jasa sewa properti.
Quettrone et al (2016) dalam kajiannya yang berjudul “Who Benefits from the “Sharing” Economy of Airbnb?” menjelaskan bahwa pemerintah kota harusnya dapat membuat kebijakan berbasis analisis data dalam menyambut disrupsi Airbnb. Sayangnya, pada praktiknya, pemerintah terjebak dalam dikotomi yang menyesatkan: tidak membuat regulasi sama sekali atau melakukan pemblokiran total terhadap inovasi yang ditawarkan oleh sharing economy.
Dalam kajian yang sama, Quettrone bersama para koleganya memanfaatkan bekal data operasi Airbnb melakukan analisa dampak platform ini terhadap dinamika sosial-ekonomi di Kota London, Inggris. Salah satu temuan kajian ini adalah Airbnb memiliki potensi untuk membuat industri pariwisata berkelanjutan. Berbeda dengan hotel yang biasanya terpusat di daerah dekat pusat kota, Airbnb membuat potensi pariwisata menjadi lebih tersebar karena wisatawan dapat tinggal di properti di luar daerah pusat kota.
Untuk itu, pemerintah kota memilikil peran penting untuk merumuskan regulasi terhadap sewa properti melalui platform seperti Airbnb. Untuk itu, tidak mengherankan jika regulasi untuk menghadapi geliat inovasi seperti Airbnb memiliki bentuk aturan yang bervariasi.
Beda Kota, Beda Regulasi
Salah satu kota yang sudah menerapkan aturan adalah London. Pemerintah Kota London dan Airbnb telah menyetujui bentuk regulasi yang mengatur sepak terjang situs sharing economy ini. Properti boleh disewakan melalui Airbnb tidak lebih dari 90 hari per tahun. Peraturan serupa juga dilakukan oleh Pemerintah Kota Amsterdam dengan total waktu sewa lebih sedikit sebanyak 60 hari.
Akan tetapi, Kota Berlin tidak seramah London ataupun Amsterdam. Berlin mewajibkan para pemilik properti yang ingin menyewakan rumah/apartemen melalui Airbnb untuk menempati setidaknya 50 persen dari properti tersebut. Pemilik properti yang melanggar akan dikenakan denda sebesar 100.000 Euro. Menurut analisis CityLab, regulasi ini berdampak pada turunnya jumlah listing sewa properti jangka pendek untuk Airbnb Kota Berlin dari 11.000 iklan properti menjadi 7.600 pada Maret 2016.
Rumitnya regulasi sharing economy properti ala Airbnb juga terjadi di Kota New York. Pemerintah Kota New York tidak mengizinkan apartemen/rumah untuk disewakan dalam jangka pendek di bawah 30 hari. Idealnya, regulasi ini bertujuan untuk mencegah disrupsi terhadap pasar sewa properti di New York.
Jika menyewakan properti melalui Airbnb dilihat memberikan keuntungan berlimpah, maka pemilik properti akan memprioritaskan rumah /apartemen mereka untuk disewakan secara jangka pendek kepada wisatawan yang berkunjung ke New York. Skenario ini akan mengurangi jumlah properti yang dapat disewa oleh warga Kota New York dan pada saat bersamaan akan berdampak pada naiknya harga sewa.
Namun, seperti diwartakan oleh The Guardian, aturan ini juga ikut merugikan warga kelas menengah New York yang ingin menyewakan apartemen/rumah ketika mereka ada pekerjaan dinas di luar kota. Melalui strategi ini, mereka dapat menambah penghasilan seiring mengingat semakin tingginya biaya hidup bulanan di kota termahal Amerika Serikat tersebut.
Di Indonesia, dampak Airbnb terhadap industri perhotelan atau pasar properti masih sangat minim dikaji. Namun, menurut riset HVS, firma yang menganalisis performa industri perhotelan, dalam laporan Indonesia Hotel Watch 2016, tingkat okupansi hotel di Indonesia memang mengalami penurunan dari 67,5 persen pada tahun 2014 menjadi 61,5 persen pada tahun 2015.
Akan tetapi fenomena ini bukan karena Airbnb. Hal ini disebabkan karena peningkatan jumlah ruang hotel melebihi angka permintaan untuk ruang tersebut. Selain itu, fenomena buruk yang tidak dapat diprediksi seperti abu Gunung Rinjani yang berujung pada ditutupnya Bandara Ngurah Rai Bali dan Lombok pada tahun 2015 juga menjadi faktor penurunan okupansi hotel.
Sementara itu, menurut keterangan dari Rainier Daulay, Wakil Ketua Umum BPP Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), agar dapat bersaing di era disrupsi digital dan Online Travel Agent (OTA), saat ini PHRI sedang mengembangkan aplikasi on-demand mereka sendiri. “PHRI akan kasih yang terbaik, saya jamin lebih murah dari OTA asing. Doakan paling lambat satu bulan ke depan. Namanya yang belum ada. Pokoknya sebelum tahun baru, yang pasti ini tinggal namanya aja karena nama juga harus ear-catchy dan internasional,” kata Rainier kepada para wartawan seusai mengisi acara di Ibis Harmoni Jakarta, Rabu (29/11).
Hadirnya era digital memang telah mengubah total lanskap bisnis di berbagai pelosok dunia. Mulai dari perbankan, media, transportasi, hingga pariwisata, semuanya harus berbenah untuk menghadapi era digital ini. Tugas pemerintah adalah memberikan payung hukum agar disrupsi digital ini tidak menjadi disrupsi perekonomian.
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti