tirto.id - Reisha Rannaya langsung bersiap ketika mendapatkan tugas kantor ke Orlando, Amerika Serikat. Dia bersama 3 orang kawan lain akan berangkat pertengahan Agustus. Selain menyiapkan barang pribadi, yang disiapkan oleh Reisha adalah mencari hunian selama masa tinggal 2 bulan.
Ini bukan kali pertama Reisha ke Orlando. Sekitar lima bulan sebelumnya, perempuan berambut sepunggung ini juga menetap selama 2 bulan. Tapi kala itu, dia menetap di hotel. Suatu malam, hotelnya mengalami kebakaran. Dia agak trauma. Maka kali ini dia ingin mencari opsi hunian lain, yang jatuh pada fasilitas Airbnb.
Reisha menyebut ini sebagai insting ibu rumah tangga, ingin mencari yang hemat. Meski semua pengeluaran ditanggung oleh kantor, tetap saja dia ingin semua serba hemat. Sewaktu tinggal di hotel, tarif semalamnya sekitar 200 dolar. Jika kali ini ada 4 orang yang berangkat, maka kantor harus mengeluarkan 800 dolar per malam. Dikalikan 60 hari, maka akan ada pengeluaran 48 ribu dolar untuk kamar hotel saja.
"Itu mahal banget. Padahal ada opsi lain yang lebih murah," kata Reisha.
Maka dia mulai berselancar di Airbnb. Benar memang, harganya jauh lebih murah. Setelah menyortir beberapa pilihan, Reisha mendapatkan sebuah rumah dua tingkat di kawasan Orlando Doctor Philips. Ada empat kamar dan 9 kasur dan bisa menampung hingga 10 orang. Dilengkapi dengan 3 kamar mandi, dapur, dan fasilitas seperti pemanas, tv, dan internet. Dapurnya juga mewah, dengan oven besar, kulkas, dan microwave. Yang membuat tambah nyaman adalah rumah ini terletak di perumahan elite dengan pagar berkata sandi.
Untuk rumah mewah yang hanya terletak 15 menit dari Disney World dan pusat perbelanjaan ini, kantor Reisha hanya perlu membayar sekitar 208 dolar per malam. Untuk dua bulan hanya 12,5 ribu dolar. Selain itu, fasilitasnya juga jauh lebih baik ketimbang hotel.
"Yang penting ada dapurnya gede, biar bisa masak sendiri. Jadi tidak terlalu kangen masakan Indonesia," kata Reisha.
Alternatif Selain Hotel
Airbnb didirikan oleh Brian Chesky pada 2008. Saat ini, menurut situs TechCrunch, online marketplace sewa kamar dan hunian ini sudah bernilai 30 miliar dolar. Meski sudah masuk kategori Unicorn, perusahaan ini berawal dari hal kecil. Saat itu Chesky dan Joe Gebbia --yang menjadi co-founder-- menyewakan ruang tamu untuk tiga orang, plus sarapan. Bnb merupakan singkatan dari bed and breakfast.
Cara booking hunian ini memang mudah. Bisa dari situsnya atau dari aplikasi ponsel pintar. Tinggal mencari kota yang akan kita singgahi. Kemudian ada saringan seperti harga maksimal per malam, jumlah kamar, hingga ketentuan khusus seperti ada ruang merokok atau tidak.
Tentu pendiri Airbnb bukanlah pemilik properti. Dia hanya jadi perantara untuk sistem sharing economy. Sama saja dengan yang sudah diterapkan di Ube, Grab Bike, atau Gojek. Sebagai perantara, Airbnb memungut upah antara 6 hingga 12 persen dari jumlah yang dibayar tamu, dan 3 persen dari yang diterima tuan rumah.
Saat ini Airbnb punya 1,5 juta rumah dan/atau kamar yang disewakan, di lebih dari 34 ribu kota di 191 negara. Sebagian besar berada di kota-kota tujuan wisata. Situs Airdna pernah merilis data 25 kota dengan listing Airbnb terbanyak.
Di peringkat pertama adalah Paris. Ada sekitar 40 ribu rumah dan 5 ribu rumah yang disewakan. London, Inggris, berada di peringkat kedua dengan 16 ribu rumah dan 14 ribu kamar privat yang disewakan. Kota wisata seperti Roma, Barcelona, Milan, Sydney, hingga Amsterdam juga masuk. Dari Indonesia, nama yang masuk adalah Bali. Ada sekitar 6 ribu rumah dan 3 ribu kamar privat yang disewakan.
Secara rata-rata, sekitar 68 persen yang disewakan di Airbnb adalah rumah. Sedangkan kamar privat hanya 30 persen. Sisanya, kurang dari 2 persen adalah kamar untuk ramai-ramai. Ini artinya, imej Airbnb sudah bergerak lebih maju. Dulu di awal kemunculannya, Airbnb hanya dianggap sebagai Couch Surfing baru. Di mana para pelancong akan menumpang atau menyewa kamar saat berlibur. Namun kini semakin banyak yang menyewa satu rumah.
Ini artinya, mulai ada pergeseran preferensi penginapan. Kini Airbnb sudah bisa berhadap-hadapan dengan hotel. Airbnb punya beberapa keunggulan. Selain memberikan perasaan seperti di rumah sendiri, pilihan ini dianggap lebih murah ketimbang menyewa kamar hotel. Apalagi jika yang menyewa adalah rombongan dan dalam jangka waktu panjang. Seperti yang dialami oleh Reisha dan kawan-kawannya.
Tanda-tandanya bisa terlihat dari tingkat okupansi dan juga pendapatan Airbnb. Di Kota New York, misalkan. Pada 2010, pendapatan Airbnb hanya 13 juta dolar. Pada 2014 jumlah ini melonjak jadi 319 juta dolar. Tahun lalu, pendapatan Airbnb dari kota Apel Besar ini meningkat jadi 451 juta dolar. New York memang termasuk kota dengan pertumbuhan Airbnb yang paling cepat.
Menurut riset CBRE Hotels' Americas, sebuah grup konsultan perhotelan, pada periode Oktober hingga September 2015, pendapatan Airbnb di Amerika Serikat mencapai 2,4 miliar dolar. Sekitar 55 persennya berasal dari 5 kota besar, yakni New York, Los Angeles, San Francisco, Miami, dan Boston.
Apakah Mengancam Hotel?
Saat ada hal baru, sudah pasti itu akan mengancam sesuatu yang sudah mapan sebelumnya. Dalam hal penginapan, Airbnb sudah pasti akan memengaruhi tingkat okupansi hotel dan industrinya secara keseluruhan.
Sekarang saja, hotel mulai babak belur dengan adanya Airbnb. Menurut lembaga konsultan HVS Consulting & Valuation, industri hotel kehilangan sekitar 450 juta dolar pendapatan langsung setiap tahun gara-gara Airbnb. Antara September 2014 hingga Agustus 2015, ada sekitar 480 ribu kamar hotel yang dipesan. Pemesanan Airbnb di periode yang sama? Sudah mencapai 2,8 juta. Menurut HVS, pada 2018 diperkirakan pemesanan kamar akan mencapai 5 juta.
Masalahnya, hotel adalah industri yang saling terkait dengan industri lain. Pengurangan okupansi hotel, juga akan berdampak berkurangnya pendapatan dari sektor makanan dan minuman yang biasanya disediakan pihak hotel. Sekitar 108 juta dolar pendapatan dari makanan dan minuman (88 juta untuk makanan dan 20 juta untuk minuman) akan hilang karena para pelancong lebih memilih pesan hunian di Airbnb. Belum lagi tips dan berbagai service fee lain.
"Dengan kata lain, setiap sepuluh persen peningkatan pasar Airbnb bisa mengurangi dua hingga tiga persen pendapatan hotel," tulis Ahmed Mahmoud, pendiri situs Revenue Your Hotel.
Airbnb unggul pula perihal ongkos produksi. Semisal angka hunian rendah, pemilik properti juga tidak harus menanggung biaya karyawan. Properti pun bisa disewakan seperti biasa. Properti yang biasanya kosong dan tidak produktif pun kini bisa disewakan dan menghasilkan. Membuat kemungkinan berkembangnya Airbnb sangat terbuka lebar.
Dengan angka pertumbuhan yang cepat, wajar kalau hotel konvensional khawatir. Apalagi menurut CBRE, Airbnb masih akan berjaya dalam masa-masa mendatang. Tentu ini bukan tanpa aral. Airbnb masih bermasalah dengan, antara lain, pencurian barang, pajak, hingga masalah hukum dan perizinan.
Dan lagi, ternyata sewa Airbnb selalu lebih murah ketimbang hotel itu adalah mitos. Sebab menurut CBRE, dari September 2014 hingga September 2015, rata-rata harga sewa kamar Airbnb adalah 148 dolar. Lebih tinggi ketimbang hotel yang rata-ratanya hanya 119 dolar. Harga yang lebih mahal ini karena biasanya properti yang disewakan memiliki fasilitas seperti dapur, mesin cuci, dan juga termasuk sarapan.
Tapi pengaruh Airbnb akan tetap besar, terutama bagi industri hotel. Airbnb paling tidak akan memengaruhi hotel dalam dua hal. Pertama, harga Average Daily Room (ADR) hotel akan turun. Tentu hotel terpaksa menurunkan harga kamar agar tidak kalah saing dengan Airbnb. Hotel juga tidak lagi bisa menaikkan harga seenaknya ketika peak season. Sistem monopoli seperti ini akan berakhir.
Pengaruh kedua akan ada pada pembangunan hotel. Dengan semakin berkembangnya Airbnb, pengusaha akan berpikir ulang untuk membangun hotel baru. Tingkat hunian hotel sekarang sudah mulai terbagi dengan Airbnb. Ditambah dengan semakin kuatnya Airbnb, membangun hotel baru yang butuh model besar tentu bukan pilihan yang bijak.
Ini tentu adalah kabar baik, terutama bagi daerah destinasi wisata yang memiliki terlalu banyak hotel.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti