tirto.id - Pencarian jodoh bisa sangat komikal. Setidaknya itu pernah ditunjukkan Nora Ephron dalam film You've Got Mail. Film yang dibintangi oleh Tom Hanks dan Meg Ryan ini menceritakan tentang lelaki dan perempuan yang bertemu secara anonim di ruang percakapan online.
Film yang dirilis pada 1998 itu terasa asing, lucu, sekaligus absurd bagi saya, mungkin juga orang Indonesia lain. Bertemu jodoh melalui internet? Internet di Indonesia bahkan masih teknologi yang langka ketika itu. Apalagi menemukan jodoh melalui internet.
Tapi ternyata berselang tiga tahun kemudian, momen ala You've Got Mail itu benar-benar hadir dalam hidup saya.
Saya selalu ingat momen itu. Kakak sepupu perempuan mengenalkan seorang lelaki: pacarnya. Saya penasaran di mana mereka berkenalan. Karena kakak saya ada di Jember dan sang lelaki berasal dari Aceh. Jarak yang cukup jauh dan secara penghitungan matematis agak susah membuat mereka saling terhubung.
Ternyata Yuyun Permana, kakak saya itu, mengenal pacarnya via internet: sebuah dunia lain yang terbentuk dari matematika, kode biner, dan algoritma. Lebih tepatnya via fitur chatting legendaris, mIRC. Fitur percakapan via internet ini dibuat oleh Khaled Mardam-Bey, programer Inggris berdarah Palestina-Siria, dan resmi dirilis pada 1995. mIRC kemudian menjadi populer. Pada 2003, rata-rata setiap orang menghabiskan 3,5 jam untuk berada di ruang percakapan maya ini.
Pada 2001, dengan kebetulan yang filmis, program ini menemukan dua orang yang berbeda latar belakang, suku, dan juga profesi. Yuyun saat itu sedang menempuh studi di jurusan Kedokteran Gigi, sedang Muhammad Ridha, pacar yang kemudian jadi suami, adalah jebolan STPDN yang lantas melanjutkan studi Strata 1 di Universitas Brawijaya, Malang.
Tentu pertemuan dengan Ridha itu bukan pertemuan yang pertama. Setidaknya beberapa kali Yuyun janjian untuk kopi darat dengan sejumlah teman chatting lelaki. Tapi Yuyun kerap kabur dari janjiannya itu kalau yang menunggu ternyata adalah lelaki yang tak sesuai bayangannya. Setelah ketemu Ridha, setidaknya keinginannya tercapai.
"Sejak awal, aku memang ingin punya pacar yang ketemunya tidak biasa," kata Yuyun yang kini mengikuti Ridha, pindah ke Aceh.
Setelah bertukar foto dan surat, Yuyun tertarik. Di foto 3R yang dikirim Ridha, tampak seorang lelaki mengenakan jas, rapi dan gagah. Kebetulan, di sebuah minggu bulan Juni, Yuyun memang berencana pergi ke Malang. Ridha memutuskan untuk menemui Yuyun di stasiun. Mirip film romansa zaman dulu. Di Stasiun Malang, Yuyun belajar kebenaran pepatah: impian kadang tak berbanding lurus dengan kenyataan. Ridha ternyata berbeda dengan foto yang dikirim.
"Di foto kan gagah, pakai jas, rapi. Pas ketemu aslinya ya gitu, kucel dan jelek," kenang Yuyun sembari tertawa mengingat pertemuan 15 tahun silam itu.
Singkat kata, setelah berpacaran selama 4 tahun, mereka menikah. Sekarang sejoli ini sudah punya tiga orang anak, satu lelaki dan dua perempuan. Yuyun tidak sendirian. Setidaknya, dari lingkar perkawanannya, ada dua orang yang bertemu jodoh melalu mIRC.
Dari segala kebetulan lucu dan seakan sudah memiliki garis takdir sendiri, saya percaya bahwa jodoh memang bukan matematika. Namun tetap tak bisa dipungkiri: jodoh bisa dibantu oleh matematika dan algoritma.
Jodoh dan Aplikasi
Sejak orang Indonesia melupakan Siti Nurbaya dan Datuk Maringgih, semakin banyak cara mencari jodoh. Yang sempat populer --walau belum diketahui tingkat keberhasilannya-- adalah rubrik jodoh di koran. Dari koran daerah sampai koran nasional, rata-rata mereka punya rubrik kontak jodoh. Biasanya hadir di hari Minggu. Formatnya singkat, padat, dan jelas: nama, jenis kelamin, umur, pekerjaan, kriteria pasangan idaman.
Meski industri media cetak mulai surut, tidak dengan kesempatan para pencari jodoh. Selalu ada ruang bagi mereka. Kini ruangannya bernama internet. Setelah fitur mIRC sudah mulai ditinggalkan, orang bisa mencari jodoh melalui media sosial. Facebook, Twitter, bahkan mungkin Instagram, walau tiga media sosial itu tak dibuat khusus untuk mencari jodoh. Ketika ponsel pintar sudah jadi barang umum dan aplikasi ponsel menjadi hal penting, maka medium pencarian jodoh kembali meluas, yakni via aplikasi kencan dan pencarian jodoh.
Lembaga riset PEW Research Center, pernah merilis data menarik pada 2015. Menurut riset mereka, 12 persen orang dewasa Amerika pernah, atau masih mengakses situs kencan online. Angka itu naik dari 9 persen pada 2013. Kenaikan juga terjadi pada aplikasi. Pada 2013, hanya 3 persen orang dewasa Amerika yang menggunakan aplikasi kencan dalam ponsel mereka. Di 2015, jumlahnya meningkat jadi 9 persen.
Pengguna paling banyak tentu adalah anak muda usia 24 tahun hingga 34 tahun. Pada 2015, sekitar 27 persen orang Amerika usia 24 pernah dan masih memanfaatkan situs/ aplikasi kencan. Dari semua responden, 80 persennya setuju bahwa kencan online baik melalui situs atau aplikasi adalah cara bagus untuk bertemu orang baru.
"Dan sekitar 61 persen orang Amerika setuju bahwa kencan online itu lebih mudah dan efisien ketimbang cara lain," kata penelitian itu.
Hingga kemarin malam, saya sama sekali tak pernah memasang aplikasi jodoh di ponsel saya. Alasannya klise: saya sudah punya pasangan. Namun, saya setuju kalau mencari jodoh via online ini bisa efisien dan punya kemungkinan besar untuk cocok. Alasannya, lagi-lagi, adalah algoritma. Dari sana, aplikasi akan menyarankan orang-orang yang memiliki kecocokan dengan kita.
"Riset menunjukkan saat pengguna melihat foto pengguna lain, mereka tidak hanya berusaha menilai kecocokan dari segi fisik, tapi juga kecocokan sosial," ujar Jessica Carbino, pakar asmara di Tinder. "Para pengguna itu pasti berpikir, 'Apakah aku punya kesamaan dengan orang ini?' "
Cerita dari Tinder dan Badoo
Didorong rasa penasaran pengalaman mencari jodoh, atau setidaknya teman ngobrol baru, melalui aplikasi, saya mencoba mengunduh Tinder di ponsel. Tinder adalah salah satu aplikasi kencan paling favorit di jagat raya. Hingga sekarang, Tinder sudah diunduh lebih dari 50 juta kali.
Aplikasi ini diluncurkan pada 2012. Setahun setelahnya, Tinder mendapatkan penghargaan Best New Startup of 2013 dalam ajang TechCrunch. Hingga 2015, diperkirakan ada 50 juta orang pengguna Tinder, dengan 10 juta pengguna aktif harian. Pengguna Tinder hingga 2015 lalu diperkirakan mencapai 50 juta orang, dengan 10 juta pengguna aktif harian.
Swipe, alias menggeser profil seseorang, adalah kunci dari Tinder. Geser ke kanan akan membuat kita menyukai profil seseorang, dan geser ke kiri untuk meneruskan pencarian. Pada 2015, Tinder mengenalkan Geser Profil Sebelumnya. Sayang, untuk memakai fitur ini, pengguna harus membayar.
Fitur ini termasuk dalam Tinder Plus. Tentu harus berbayar. Ada keanggotaan 1 bulan yang dibanderol Rp120.939. Ada juga keanggotaan 6 bulan yang harga iuran per bulannya adalah Rp77.089. Ada pula yang setahun, dengan biaya iuran Rp61.149 per bulan. Dengan berbayar ini, pengguna bisa melihat profil pengguna yang terlewat, bisa mencari jodoh hingga beda negara, dan mematikan iklan. Diperkirakan ada 500.000 pengguna yang membayar untuk Tinder Plus.
Nyaris sama seperti riset yang dilakukan PEW, pengguna Tinder kebanyakan adalah mereka yang berusia 25 hingga 34 tahun. Jumlahnya mencapai 45 persen dari total pengguna. Di bawahnya, para pengguna rentang 16 hingga 24 tahun dengan persentase mencapai 38 persen. Yang mengejutkan adalah ada sekitar 1 persen, yang berarti sekitar 500.000 orang, pengguna usia 55 hingga 64 tahun. Selain tak matematis, mencari jodoh rupanya juga tak peduli usia.
Karena kepopulerannya ini, Tinder sempat mengundang ketertarikan para investor. Pada Juli 2015, Bank of America Merrill Lynch memperkirakan valuasi Tinder sebesar 1,35 miliar dollar.
Selain Tinder, situs dan aplikasi pencarian jodoh lain yang terkenal adalah Badoo. Didirikan pada 2006 oleh wirausahawan Rusia Andrey Andreev, aplikasi ini sudah diunduh oleh 100 juta orang. Majalah TIME pernah menuliskan bahwa Badoo adalah "...the most popular dating app in the world."
Lagi-lagi, didorong rasa penasaran, saya coba mengunduh aplikasi ini. Begitu membuka kali pertama, saya salut dengan aplikasi ini karena mereka seperti paham rasa malu, segan, cemas, yang mungkin dirasakan para pencari jodoh via aplikasi. Mereka menuliskan kalimat yang bikin para pencari jodoh bisa menghembuskan nafas lega: Tenang, kami tak pernah mem-posting apapun di Facebook.
Baru saja masuk, Badoo sudah menyarankan saya untuk menambahkan seseorang perempuan. Umurnya 30 tahun. Rambut lurus panjang sedada. Senyumnya manis. Di gambar profilnya, dia mengenakan baju tank top motif garis hitam-putih. Tampaknya ramah dan mudah berteman, bisa dibaca dari apa yang dia tulis di bagian About Me: supel, easy going. Keramahannya juga sudah terbukti. Sudah ada dua penghargaan yang dia dapat, yakni The Friendliest People dan The Most Liked People. Badoo punya sistem skor untuk mengukur popularitas seorang lajang di sini. Untuk gadis ini, ada 20.894 orang yang menyukainya.
Kebetulan dia ada di Jakarta. Mungkin dengan sedikit obrolan pemecah es, saya bisa merancang kopi darat dengannya. Sayang selera musiknya sedikit random. Dia menyukai U2 tapi juga menyukai Lil Wayne yang kurang punya sumbangsih signifikan bagi peradaban manusia itu. Karena faktor sepele itu, saya tak jadi menambahkannya ke daftar teman saya. Ya gimana lagi bung, lagi-lagi ini soal kecocokan.
Sama dengan Tinder, ada fitur Nearby di Badoo. Dengan fitur ini, Badoo akan mencari para pengguna yang berada dalam radius dekat. Waktu saya memilih fitur ini, ada 15 perempuan yang secara jarak relatif dekat dengan lokasi saya. Selain itu ada fitur Viewed. Jadi pengguna bisa tahu siapa orang yang menengok profilnya, dan tentu menihilkan kesempatan seseorang menguntit diam-diam. Waktu saya buka fitur ini ternyata sudah ada 2 perempuan yang menengok profil saya.
Salah satunya adalah seorang perempuan 31 tahun. Di gambar profilnya dia memakai baju tanpa lengan bermotif ular dan memakai tas selempang berwarna cokelat. Jaraknya hanya 5,4 kilometer dari posisi saya. Tapi saya memutuskan untuk tak mengajaknya ngobrol ketika melihat profilnya. Kegemaran perempuan ini adalah sepatu high heels, nail polish, manicure, dan fashion. Gaji saya yang tak sebesar pendapatan Raffi Ahmad tentu tak akan sanggup menyejajarkan diri dengan hobinya. Akhirnya karena tak minat mencari jodoh beneran, saya memilih untuk menghapus aplikasi ini.
Jodoh Bisa Dari Mana Saja
Mungkin bagi saya yang sudah berpasangan, aplikasi macam ini kurang menarik. Tapi ternyata ada banyak non bujang yang gemar dengan aplikasi pencarian jodoh. Pada 2015, perusahaan riset GlobalWebIndex (GWI) merilis penelitian tentang Tinder. Ternyata meski sekitar 45 persen penggunanya adalah lajang, sekitar 30 persen pengguna Tinder sudah menikah, dan 12 persen lainnya sedang dalam hubungan.
Saya juga bertemu dengan Namira Kinski, 27 tahun, seorang pekerja di perusahaan teknologi informasi. Dia terang-terangan menyebut motivasi utama menggunakan Tinder dikarenakan ingin, "...mencari pelipur lara. Waktu itu habis patah hati. Tapi juga niat cari yang serius, mungkin karena faktor umur."
Berdasarkan hitungan kecocokan ala Tinder, ada sekitar 20 orang yang dianggap cocok bagi Namira. Dari sana, Namira mulai menyeleksi. Macam-macam kualifikasinya. Dari fisik hingga kegemaran. Tentu saja yang iseng dan mesum langsung dia coret. "Dari 20 orang, sekitar 15 orang mengirim gambar jorok dan juga ngomong jorok," katanya. Sisa 5 orang itu, akhirnya ada satu orang yang bersedia datang ke rumah Namira untuk menjemputnya di kencan pertama.
Salah satu risiko kenal seseorang melalui situs atau aplikasi adalah kadang foto bisa menipu. Yuyun yang kenal Ridha via mIRC bilang kalau dalam foto Ridha tampak gagah karena mengenakan jas. Tapi ketika ketemu pertama kalinya, Ridha ternyata kucel. "Maklum, mahasiswa," kata Yuyun sembari terbahak. Begitu pula yang dialami Namira. Di foto, sang pasangan ini brewokan, dengan badan yang bidang. Dalam hati Namira mengira pasangannya itu tinggi.
"Taunya enggak!" Namira tertawa keras.
Masa penjajakan juga berbeda di masing-masing orang. Yuyun berpacaran 4 tahun sebelum akhirnya menikah. Dalam kasus Namira, dia hanya perlu 4 bulan untuk akhirnya yakin bahwa pasangan yang dia temukan di Tinder adalah calon teman hidup yang tepat. Kini mereka sedang menyiapkan pernikahan yang akan digelar Desember tahun ini.
Tentu tak selamanya kisah kencan online berujung pernikahan. Ada beberapa orang kawan lelaki yang gagal, dan tentu saja tak mau diwawancara untuk tulisan ini, yang mereka anggap bisa mematikan pasaran. Di kolom komentar aplikasi jodoh ini, juga banyak komentar-komentar yang ngenes, tapi sekaligus lucu. Seperti ini misalkan:
"Saya baru daftar, besoknya langsung dapat match. Tapi dichat diem aja, wkwkwkwkwkwk. Gak ada bales sama sekali. Ini chatnya yang error jadi chatnya gak sampai, atau apa mungkin saya dicuekin? Wkwkwkwkwk."
Pada akhirnya, saya percaya bahwa jodoh bisa datang dari mana saja. Jodoh adalah buah kerja alam semesta. Mediumnya tentu beragam. Bisa dari sepetak iklan jodoh di koran daerah, dari ruang percakapan dunia maya, media sosial, bahkan aplikasi. Tentu perkembangan teknologi juga akan memperluas medium pencarian jodoh.
Oh ya, sudahkah saya bercerita kalau saya berkenalan dengan istri melalui Facebook?
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti