Menuju konten utama

Google Traffic yang Mengubah Peran Peta

Peta memudahkan orang bergerak dari titik satu ke titik lainnya. Intinya, peta mencegah kita untuk tidak tersesat. Tapi itu fungsi peta di zaman dulu. Di era modern, peran peta kini telah berubah. Peta di dunia modern berfungsi sebagai penuntun – dengan teknologi GPS, memadu kita menuju lokasi tertuju.

Google Traffic yang Mengubah Peran Peta
Ribuan kendaraan terjebak kemacetan di ruas Tol Dalam Kota, Jalan Gatot Subroto, Jakarta. [ ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga]

tirto.id - Tanpa peta peradaban, manusia mungkin tidak akan berkembang. Manusia bisa tersesat selama-lamanya. Peta tertua yang pernah ditemukan di Turki menggambarkan kota kuno bangsa Anatolia yang bernama Çatalhöyük. Peta ini diperkirakan dibuat sekitar abad 7 SM. Kehadiran peta tak pernah lepas dari setiap peradaban kuno, entah itu peradaban Babylonia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, Cina Kuno, Romawi, Persia, dan lainnya.

Memasuki abad pertengahan dan abad penjelajahan peran peta semakin vital. Kartografer-kartografer Eropa berlomba menyalin peta-peta yang sudah ada sebelumnya (sebagian sudah diberikan secara turun-temurun selama berabad-abad) dan menggambarkan peta mereka sendiri berdasarkan pengamatan yang dilakukan para penjelajah dan teknik survei yang baru.

Peta memudahkan orang bergerak dari titik satu ke titik lainnya. Intinya peta mencegah kita untuk tidak tersesat. Tapi itu itu fungsi peta di zaman dulu, di era modern peran peta kini telah berubah. Peta di dunia modern berfungsi sebagai penuntun. Dengan teknologi GPS, peta memadu kita menuju lokasi tertuju.

Tidak hanya itu, peta pun bisa berfungsi seperti cenayang. Ia mampu memprediksikan hambatan apa saja yang akan terjadi dalam perjalanan anda. Prediksi itu bukan didasari awang-awang, tapi berdasarkan data-data digital. Dalam soal ini, kita harus berterima kasih pada Google dengan fitur Google Traffic yang bisa diakses semua orang.

Ahmad Santoso pada arus mudik lebaran lalu dia berangkat bersama istrinya yang sedang hamil besar untuk pulang keYogyakarta. Berdasarkan prediksi dokter, istrinya akan lahir seminggu setelah lebaran. Dia pun nekat untuk pulang pada puncak arus mudik tepatnya pada 2 Juli. Ahmad berencana mudik lewat utara. Dibukanya tol Kanci-Pejagan membuatnya bisa terus menggeber mobil di tol dari Jakarta hingga Brebes.

Selama menyetir, Ahmad tidak henti mencari info perkembangan kemacetan di Cirebon lewat radio dan sosial media. Saban 20 menit sekali diapun membuka aplikasi Google Maps di gawainya. Di rest area Tol Cikampek Km 57, Ahmad akhirnya memutuskan istirahat cukup lama, dia gelisah melihat garis merah yang melintang panjang menuju tol Brebes timur di aplikasi Google Maps. Setelah berfikir sejenak, diputuskan akhirnya dia memilih belok ke Bandung dan meneruskan perjalanan lewat jalur selatan.

Ini adalah keputusan tepat karena Ahmad dan istrinya berhasil lolos dari kemacetan laknat “Brexit”. Sesampai di Yogya keesokan harinya sang istri tak disangka si istri kemudian melahirkan. “Gak kebayang banget kalau misalkan tetep nekat lewat utara, gak lucu juga kalau istri saya lahiran di mobil,” kata dia.

Ya, fitur traffic di Google Map telah menyelamatkan Ahmad dan Istrinya. Di luar sana, ada banyak ribuan kisah lain yang serupa dialami Ahmad. Fitur Google Traffic lazim dipakai orang-orang kota untuk menembus kemacetan. Aplikasi ini akan memberi tahu rute yang akan Anda lalui macet, padat atau lancar jaya. Dari informasi ini akhirnya kita bisa menunda perjalanan, memilah tetap terus nekat atau cari jalan pintas lain.

Jadi sebuah pertanyaan dari manakah Google mendapatkan data-data kemacetan ini? Suatu hal yang mahal dan diluar nalar jika Google sengaja memasang jutaan kamera pengawas di sepanjang jalan demi fitur Google Traffic ini.

Inovasi menampilkan data lalu-lintas pada Google Maps memang sudah dirancang Google jauh-jauh hari. Saat Google Maps dirilis 2005, setahun sebelumnya Google mengakuisisi perusahaan Zipdash. Banyak yang bertanya-tanya untuk apa akuisisi ini dilakukan, karena pada Google Maps edisi awal pengembangan dilakukan oleh Keyhole dan Where2 yang juga diakuisis oleh Google.

Dalam indentitas perusahaan yang dibahas New York Times, Zipdash mengklaim bahwa kerja mereka adalah “Menangani kemacetan jalan raya dengan menyediakan data individu secara real-time dan informasi lalu lintas yang akurat.”

Zipdash adalah pionir dalam teknologi ini. Kerja mereka sebenarnya hanya sederhana: Mereka mengumpulkan informasi dari pengguna ponsel individu, mengambi data lokasi dari taksi dan truk armada, serta memanfaatkan sensor jalan raya yang dimiliki pemerintah. Proyek ini mereka lakukan sejak tahun 2002.

Untuk mendapatkan data dari pengguna pribadi, Zipdash bekerja sama dengan Perusahaan Telekomunikasi Nextel. Setiap pengguna Nextel akan dipakai data GPS nya oleh Zipdash. Bagaimana soal privasi? Mark Crady sang pendiri Zipdash menjawab. “Kami tidak bisa mengakses apa-apa tentang Anda - bukan nama Anda, bukan nomor telepon Anda,” katanya.

Meski cukup keren, gaung Zipdash tidak begitu populer. Setelah bergabung dengan Google, baru pada tahun 2008 kerja Zipdash bisa dirakan banyak orang. 28 Februari 2007, Google akhirnya merilis fitur Google Traffic di Amerika Serikat dengan percobaan pada 30 kota-kota besar seperti New York, Washington, Dallas, Chicago, San Francisco dll.

Sayangnya, setelah diakuisisi Google otomatis Zipdash tidak bisa lagi mengakses data-data individu. Selama periode awal, data Google Traffic didapat sensor lalu lintas yang dimiliki pemerintah. Untuk mendapatkan data ini pemerintah biasa memakai penggunakan radar, inframerah atau teknologi laser radar aktif. Metode ini lazim dipakai sejak Perang Dunia II untuk mendeteksi pergerakan musuh.

Sayangnya sistem ini hanya bisa melacak kemacetan pada jalan-jalan besar yang telah ditentukan. Titik pemasangan sensor biasanya di lokasi yang rawan macet.

Di sisi lain sensor radar tidak bisa mendeteksi objek yang tidak bergerak, jika terjadi kemacetan parah dan mobil tak bergerak sedikitpun hingga berjam-jam sensor mungkin akan menganggapnya tak terjadi kemacetan. Kelemahan lain adalah sensor tidak akan optimal saat terjadi kabut atau badai salju, alhasil informasi kemacetan pun sering tidak akurat. Meski memiliki kekurangan data-data sensor radar tetap Google gunakan sampai sekarang.

Pada awal tahun 2009, Google beralih ke sumber informasi yang lebih akurat yakni Anda sendiri. Setelah merilis sistem operasi Android pada akhir 2008, Google memasang pelacak GPS pada siapapun pengguna berbasis Android – sistem ini sama seperti laiknya Zipdash saat memakai data pengguna Nextel.

Ponsel Android Anda secara otomatis akan mengirimkan kepada Google mengenai lokasi dan pergerakan Anda. Data-data individu ini kemudian akan dianalisa oleh mesin. Google akan mendeteksi sebuah kemacetan jika dalam satu titik di jalan tersebut terjadi perlambatan atau banyak pengguna Android yang berhenti.

Lantas bagaimana dengan mereka yang tak memakai sistem berbasiskan Android? Data GPS akan tetap didapat jika Anda mengaktifkan aplikasi Google Maps. Karena itulah tidak sedikit juga para pengguna iPhone atau Microsoft yang turut membesarkan Google Traffic.

Sampel data yang dipakai untuk analisa kemacetan ini tentu tidak hanya mengambil dari satu atau dua pengguna saja. Google tidak mungkin mendeteksi aktivitas Anda yang berhenti di sebuah toko jadi sebuah kemacetan. Karena alasan inilah Google Traffic ini tidak bisa memperlihatkan informasi aktivitas lalu-lintas di lokasi-lokasi terpencil.

Untuk menyempurnakan sistem ini pada 2011, Google bekerja sama dengan INRIX, sebuah perusahaan yang fokus pada Driving Intelegence. INRIX mengklaim mereka memiliki data lalu lintas dari 175 juta kendaraan secara real-time dari 100 sumber berbeda di puluhan negara. Kerjasama ini tidak bersifat akuisisi, untuk mendapatkan data-data INRIX, Google mesti membeli puluhan juta dolar dengan durasi kontrak panjang.

Efektivitas Google Traffic semakin berjaya setelah Google mengakuisisi Waze pada pada tahun 2013. Tidak tanggung pembelian Waze ini menelan biaya hingga $1 milliar dolar. Bergabungnya Waze membuat elemen manusia dijadikan dalam perhitungan informasi lalu lintas.

Sebelum bergabung dengan Google, Waze adalah aplikasi populer. Waze memiliki fitur terbaik, yaitu notifikasi real-time yang menjadi petunjuk soal kecelakaan, puing di jalanan, lubang atau kontruksi jalan, sampai informasi acara tertentu sepanjang rute perjalanan pengguna. Data-data ini didapat dengan sistem crow-funding, alias semua orang bisa ikut memberi informasi.

Saat dibeli Google, Waze sudah memiliki 47 juta anggota aktif. Banyak pihak berpendapat pembelian murni karena persaingan bisnis, mengingat selain Google, Facebook dan Apple pun berambisi mengakuisisi Waze.

Merapatnya Waze ke Google Maps semakin membuat Google berjaya tanpa saingan. Saat ini Google Maps jadi aplikasi pemetaan paling populer di dunia dengan pengguna lebih dari 1 miliar.

Di Indonesia sendiri fitur Google Traffic mulai real-time per Rabu 1 Juli 2015. Momen rilisnya amat tepat, karena berdekatan dengan momen arus mudik Idul Ftiri. Pada peluncuran pertama Google baru bisa melayani 19 kota di antaranya Surabaya, Medan, Semarang, Palembang, Makassar, Batam, Pekanbaru, Bogor, Bandar Lampung dan Padang.

Selain itu juga termasuk Denpasar, Malang, Samarinda, Tasikmalaya, Yogyakarta, Surakarta, Banda Aceh, Pekanbaru dan Jambi. Sayangnya Google Traffic di Indonesia belum bisa menjangkau kota-kota kecil, jikapun iya, area yang terdeteksi pun adalah jalan-jalan besar berstatus jalan provinsi atau jalan nasional.

Baca juga artikel terkait TEKNOLOGI atau tulisan lainnya dari Aqwam Fiazmi Hanifan

tirto.id - Teknologi
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Aqwam Fiazmi Hanifan
Editor: Maulida Sri Handayani