tirto.id - Staf Khusus Presiden dibayar Rp51 juta per bulan, terdiri dari gaji pokok, tunjangan kinerja, dan tunjangan pajak penghasilan. Itu diatur dalam Perpers Nomor 144/2015.
Besaran gaji itu diperkarakan pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah. Kepada reporter Tirto, Sabtu (23/11/2019), ia bertanya: "bagaimana mengukur kinerja seseorang dengan gaji sebesar itu?"
Pertanyaan Trubus menemukan relevansi jika kita mengetahui apa yang ditugaskan Jokowi ke mereka. Tugas yang diberikan sifatnya kualitatif, alias sulit diukur dengan pasti.
Adamas Belva Syah Devara, satu dari tujuh stafsus milenial, mengatakan salah satu tugas yang dibebankan ke mereka adalah "mengarusutamakan nilai-nilai Pancasila dengan lebih kreatif dan efektif." Mereka tengah merumuskan itu "sekuat tenaga".
Tugas ini akan dikerjakan bersama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), sebuah lembaga yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden, dibentuk pada 28 Februari 2018.
Kepada reporter Tirto, Rabu (5/12/2019), stafsus milenial Jokowi yang lain, Billy Mambrasar, mengelaborasi apa saja yang akan mereka lakukan untuk 'membumikan' Pancasila.
Penanaman nilai-nilai Pancasila harus "dengan cara yang inovatif, sesuai dengan gaya, perilaku, dan pola pikir anak muda," katanya.
"Beberapa cara yang kami usulkan adalah menggunakan multimedia, seperti dengan cara inkubasi melalui video animasi, pendidikan berbasis teknologi, bahkan melalui sinetron-sinetron di stasiun televisi mainstream," tambah Billy.
Ia menegaskan cara yang para stafsus persiapkan "jelas sangat berbeda" dengan konsep P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) era Orde Baru--yang lebih cocok disebut indoktrinasi--yang "berbentuk hafalan."
Sulit
Apa yang dicita-citakan pada stafsus ini, tentu saja, tidak mudah. Riset dari LSI Denny JA tahun lalu menyebutkan dalam 13 tahun terakhir persentase masyarakat yang pro Pancasila "menurun sebanyak 10 persen."
Tahun 2005, masyarakat pro Pancasila angkanya 85,2 persen. Angkanya turun menjadi 81,7 persen pada 2010, dan turun lagi jadi 79,4 persen pada 2015. Terakhir, tahun lalu, mereka yang pro Pancasila ada di angka 75,3 persen.
"Penurunan 10 persen perlu menjadi perhatian," kata peneliti LSI Denny JA Ardian Sopa.
Sementara survei Cyrus Network mengatakan hanya "sekitar 70,3 persen masyarakat yang tegas menerima Pancasila sebagai ideologi dan perekat bangsa." Dalam survei itu juga dijelaskan ada 4,7 persen responden yang terang-terangan mendukung khilafah.
Menurut Dosen Komunikasi Politik Universitas Padjajaran Kunto A. Wibowo, masalah membumikan Pancasila yang dibangun elite politik selama ini "biasanya berjarak dengan apa yang keseharian ditemui masyarakat pada umumnya."
"Sehingga narasi itu susah untuk masuk," kata kata Kunto kepada reporter Tirto, Rabu (4/12/2019).
Oleh karenanya, ketimbang sifatnya top-down, para stafsus ini sebaiknya merumuskan strategi dengan cara bottom-up, yaitu "mulai berbicara substansi dan mulai mendengarkan apa yang menjadi kegelisahan anak muda di seluruh Indonesia."
"Daripada sekadar jadi gimmick," Kunto menegaskan.
Tugas mereka semakin berat jika melihat riset-riset soal karakter generasi milenial. Survei Ipsos MORI, perusahaan konsultan, menyebut dalam pandangan masyarakat, milenial itu orang-orang yang materialistik juga egois. 34 persen responden bahkan menyatakan milenial adalah generasi pemalas, dan 33 persen menganggap mereka sombong.
Para milenial yang menjadi responden setuju dengan justifikasi itu. Sebanyak 44 persen responden milenial mengatakan generasinya adalah generasi materialistis, 37 persen setuju kalau mereka egois, dan 33 persen mengakui kalau mereka generasi pemalas.
Generasi Z, di bawah milenial (lahir pada 1995 ke atas), bahkan lebih parah. Generasi Z dikenal sebagai karakter yang lebih tidak fokus dari milenial dan lebih individual.
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta Adi Prayitno khawatir apa yang tengah terjadi adalah para anak muda ini diminta untuk "menyelesaikan semua urusan". "Bukan begitu cara berpikirnya. Urusan kemajuan bangsa, melawan radikalisme, Pancasila, itu semua urusan kita," katanya kepada reporter Tirto.
Selain itu, menurutnya, akan jadi percuma jika justru para stafsus ini yang menunjukkan perilaku tak Pancasilais.
"Kalau stafsus masih keceplosan nyinyir, apa gunanya ngomong Pancasila? Pancasila bukan hanya formalitas," ia menegaskan.
Masalahnya, itu sudah terjadi. Billy Mambrasar membuat kontroversi lewat cuitannya di Twitter, 30 November 2019.
"Setelah membahas tentang Pancasila (yang bikin kubu sebelah megap-megap), lalu kerja men-design kartu prakerja di Jakarta, lalu saya ke pulau damai penuh keberagaman: Bali! Untuk mengisi materi co-working space, mendorong bertambahnya jumlah entrepreneur muda, untuk pengurangan pengangguran dan angka kemiskinan," kata Billy (dengan suntingan) via @kitongbisa.
Apa yang dimaksud Billy soal "kubu sebelah" tidak bisa tidak akan mengarah ke lawan politik Jokowi pada Pilpres 2019.
Billy lantas meminta maaf dan mengaku bersalah karena menggunakan kalimat multitafsir--"bikin kubu sebelah megap-megap." Ia juga langsung menghapus cuitannya itu.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz