Menuju konten utama

Di Balik Sengketa Nama Negara antara Yunani dan Makedonia

Sejak merdeka pada 1991, nama Makedonia sebagai sebuah negara terus dipermasalahkan oleh Yunani, yang mengklaim mewarisi sejarah dan budaya Makedonia kuno.

Di Balik Sengketa Nama Negara antara Yunani dan Makedonia
Seorang pria melewati mural etnik Albania di Skopje, Makedonia, Senin, 1 Oktober 2018. AP Photo / Thanassis Stavrakis

tirto.id - Republik Makedonia terletak di Semenanjung Balkan, Eropa Selatan. Berbatasan langsung dengan Yunani, Albania, Kosovo, dan Bulgaria, Makedonia baru berdiri pada 8 September 1991 silam setelah keruntuhan Republik Federal Sosialis (SRF) Yugoslavia. Sebelumnya, di bawah Yugoslavia, Makedonia bernama Republik Sosialis Makedonia.

Namun, sejak Republik Makedonia memproklamirkan kemerdekaannya, negara tanpa pantai itu harus bersitegang dengan Yunani. Pasalnya, Yunani punya sebuah provinsi di bagian selatan bernama Makedonia.

Permasalahan makin melebar dan rumit. Tak puas berebut nama negara, Yunani dan Makedonia saling klaim kebudayaan dan identitas masa lalu.

Dibanding Republik Makedonia yang tergolong baru, negara Yunani sudah menyatakan kemerdekaannya dari Imperium Usmani sejak 25 Maret 1821.

Wilayah Republik Makedonia bukannya tanpa akar historis. Dalam Encyclopedia of Nationalism: Volume 2 (2001) para nasionalis Makedonia pertama kali muncul tahun 1860-an dan dipimpin oleh sekelompok kecil intelektual di era Imperium Usmani. Mereka tumbuh pesat dan bersaing dengan gerakan nasionalis lainnya dari Yunani, Serbia, dan Bulgaria. Sejak itu, gesekan terus terjadi. Puncaknya, Perang Balkan (1912-1913) pun pecah.

Dari gerakan para nasionalis Makedonia itu, terbentuklah wilayah regional Makedonia seluas 67.000 kilometer persegi yang dihuni oleh bangsa Slavia selatan. Wilayah tersebut kini tersebar di enam negara; Yunani, Bulgaria, Albania, Serbia, Kosovo, dan Republik Makedonia sendiri.

Dalam perjalanannya, wilayah Makedonia sudah mengalami lima rezim kepemimpinan baik kekaisaran maupun republik. Mulai dari Kekaisaran Bizantium, Bulgaria, Serbia, Usmani, dan terakhir di bawah kuasa Republik Yugoslavia. Karena asalnya dari bangsa Slavia, orang-orang ini kadang disebut "Macedonian Slav".

Bagi Yunani, Makedonia bukan seperti yang direpresentasikan oleh orang-orang Slavia itu. Makedonia punya akar sejarah kuat yang tertaut dengan keberadaan kerajaan kuno Makedonia yang mewakili peradaban Yunani kuno. Beberapa tokoh-tokoh penting dan raja Yunani kuno tercatat lahir di masa kerajaan Makedonia. Misalnya Alexander Agung, Kleopatra, Antiokhos IV Epiphanes, Amyntas III, Filipus II dan lainnya. Nama Makedonia sendiri berasal dari kata sifat Yunano kuno "makedons" (tinggi) yang termaktub dalam salah satu puisi karya penyair Homeros.

Dalam konteks konflik Yunani dan Republik Makedonia saat ini, orang Yunani memprotes digunakannya Makedonia sebagai nama negara. Mereka menganggap perbuatan itu pencurian identitas dan kebudayaan Yunani kuno.

Rupa Republik Makedonia memang dipenuhi oleh ikon-ikon kerajaan Makedonia kuno. Luke Slattery dalam opininya untuk Los Angeles Times menunjukkan beberapa fakta keseharian. Bandara internasional di ibukota Skopje bernama Alexander Agung. Patung-patung Alexander Agung pun sangat terlihat mencolok di sana, termasuk patung Alexander kecil disusui ibunya, Olympias. Ada pula pula patung Philip II, ayah Alexander Agung, dalam pose berdiri sambil mengepalkan tangan.

Menurut Slattery, adalah naif jika orang-orang Yunani ngotot merasa paling memiliki Makedonia kuno. Pasalnya, wilayah kekuasaan Makedonia kuno di era Alexander Agung merentang sampai Asia Barat, tak cuma selebar daerah Balkan atau Yunani saja. Jadi, tidak ada alasan bagi Yunani untuk melarang negara tetangga untuk ikut merasa bangga dengan kejayaan era Makedonia kuno.

Singkatnya, dalam perspektif orang Slavia selatan, Makedonia sebagai imajinasi romantik akan kerajaan kuno serta Yunani sebagai nama negara dan etnisitas tidak bisa disamakan. Penduduk Makedonia tak hanya terdiri dari etnis Yunani, tapi juga orang Slavia.

Ganti Nama Lewat Referendum

Perselisihan Yunani dan Makedonia telah berlangsung bertahun-tahun lamanya. Berbagai upaya mediasi telah dilakukan namun terus tetap buntu. Athena terus bersikukuh bahwa Makedonia sudah dipakai untuk nama provinsi di Yunani dan tak seharusnya dipakai sebagai nama negara.

Kekhawatiran lainnya adalah jika Yunani menyetujui berdirinya Republik Makedonia, Skopje lama-lama bakal mengklaim wilayah Makedonia di Yunani.

Setelah 27 tahun terus bersengketa, Perdana Menteri Republik Makedonia, Zoran Zaev dan Yunani Alexis Tsipras sepakat menandatangani Perjanjian Prespa pada 12 Juni 2018. Amerika Serikat dikabarkan turut senang dengan pencapaian itu.

Dalam perjanjian tersebut, Republik Makedonia sepakat berganti nama menjadi Republik Makedonia Utara. PBB juga akan mengakui bahasa Makedonia di PBB. Ada pula pengakuan warga negara Republik Makedonia sebagai orang Makedonia, meski berlaku pengecualian bahwa warga Republik Makedonia saat ini tidak terkait dengan orang Makedonia kuno di Yunani dan bahwa bahasa Makedonia adalah bahasa Slavia.

Semua kesepakatan dalam Perjanjian Prespa itu sepaket dengan bergabungnya Makedonia ke Uni Eropa dan NATO jika disetujui oleh penduduk melalui proses referendum. Sekjen NATO Jens Stoltenberg bahkan menyerukan agar masyarakat Republik Makedonia ambil bagian dalam referendum dan mendukung tuntutan Yunani.

Namun, kesepakatan itu bukannya tanpa halangan. Mulai dari Gjorge Ivanov selaku Presiden Republik Makedonia, kalangan nasionalis, hingga oposisi Makedonia seperti partai konservatif VMRO-DPMNE menolak referendum dan penggantian nama negara.

Referendum akhirnya tetap digelar pada 30 September 2018. Pemilih ditanya apakah mereka mendukung Perjanjian Prespa, mengganti nama ke Makedonia Utara, dan menyetujui Makedonia bergabung ke Uni Eropa serta NATO.

Sudah lama Makedonia ingin bergabung dengan Uni Eropa. Sejak 2005 lalu, Republik Makedonia masuk kandidat anggota baru Uni Eropa yang terdiri dari banyak negara Balkan pecahan Yugoslavia. Terlebih lagi, Makedonia mendapat kucuran paket bantuan luar negeri dari Uni Eropa senilai miliaran euro. Namun, karena Yunani terus merisak Republik Makedonia, upaya masuk ke Uni Eropa tak pernah bisa terwujud.

Mayoritas pemilih menyatakan sepakat dengan Perjanjian Prespa. Hasil referendum yang bakal memuluskan Republik Makedonia masuk Uni Eropa dan NATO ini juga disambut Amerika Serikat.

Di sisi lain, jumlah pemilih yang setuju hanya berjumlah 34,7 persen atau 623.000 orang saja. Angka ini jauh di bawah ambang batas 50 persen. Ada banyak calon pemilih yang golput, khususnya kalangan milenial. Dari 1,8 juta pemilih yang terdaftar, diperkirakan 600.000 orang memilih golput.

Akibatnya, kesepakatan Perjanjian Prespa tidak bisa segera disahkan secara bulat oleh Republik Makedonia dan harus meminta restu dari parlemen.

Digembosi Rusia?

Meski referendum tak cukup sukses mengamankan suara bulat, Perdana Menteri Zoran Zaev tampaknya tetap optimistis dan bersikeras membawa Republik Makedonia merapat ke kubu Uni Eropa dan NATO.

Keputusan tak populer dari Zaev itu berbuntut demo besar di depan parlemen Skopje. Massa berorasi menentang referendum dan menyatakan "tidak" untuk Yunani.

"Ini hari yang buruk bagi Zaev dan hari yang indah bagi orang Makedonia," kata salah seorang pengunjuk rasa, Martin Dukovski sambil memegang bendera Makedonia. "Saya orang Makedonia dan bangga. Pemerintah harus menarik kembali kesepakatan ini. Itu harus mengatakan 'tidak' ke Yunani," ucapnya sebagaimana dikutip The Guardian.

Rusia diduga keras berada di balik kegagalan referendum Republik Makedonia. Moskow sendiri memang tak bersimpati dengan referendum yang bakal membuat Republik Makedonia berlabuh ke Uni Eropa dan NATO. Dua institusi supranasional tersebut dipandang Rusia sebagai wakil Barat yang menghalangi kepentingan Rusia di kawasan Balkan.

Infografik Republik makedonia

Mengutip keterangan Heather Conley, direktur urusan Eropa pada Centre for Strategic and International Studies, Washington, The Telegraph melaporkan kemunculan akun-akun palsu yang diduga bikinan Rusia selama referendum. Dengan narasi menolak referendum, akun-akun ini membangkitkan ketegangan antara mayoritas Slav Makedonia dan minoritas Albania di Republik Makedonia.

Etnik Albania sangat mendukung Republik Makedonia bergabung dengan Uni Eropa. Harapannya, keanggotaan Uni Eropa bakal mengentaskan kemiskinan dan diskriminasi etnis. Sementara itu, mayoritas etnis Slavia tak sudi mengubah nama negara begitu saja. Pada 2001, ketegangan kedua etnis pernah meletus menjadi kerusuhan jalanan.

Juli lalu, dua diplomat Rusia diusir dari Athena karena dianggap merusak hubungan kesepakatan antara Yunani dan Republik Makedonia.

Nyatanya, kampanye akun-akun palsu itu cukup membuahkan hasil. Zaev tak bisa menang mudah lewat referendum dan bakal bersusah payah mendapat restu parlemen agar kesepakatan Yunani-Makedonia diterima. Namun, seandainya pun lolos di parlemen, Skopje diperkirakan akan dihajar protes besar-besaran.

Baca juga artikel terkait REFERENDUM atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf