tirto.id - Papan reklame roboh di Jalan Raya Bekasi, Cakung, Jakarta Timur menimpa dua bangunan tempat usaha tambal ban dan bengkel mobil, Rabu 4/2019 malam. Seorang pegawai bengkel menjadi korban. Beruntung hanya luka ringan.
“Korban mengalami luka ringan," kata Camat Cakung Salahuddin sebagaimana dikutip dari Antara pada 5 Desember 2019.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan Jakarta Timur pun langsung memutilasi papan reklame berukuran 7x5 meter tersebut, dibantu belasan petugas gabungan dari Damkar dan Satpol PP Cakung.
Papan reklame itu diketahui milik PT Warna Warni yang berisikan tentang imbauan. Papan terpasang sejak setahun terakhir, dan berdiri di atas lahan sewa milik warga RT04/RW03 bernama Halilintar.
Peristiwa tersebut sontak mengundang perhatian khalayak. Salah satunya dari Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD DKI Gembong Warsono. Dia mencurigai ada pembiaran dari pihak tertentu, sehingga papan reklame kerap ambruk.
Apa yang dikatakan Gembong bukan tanpa sebab. Pasalnya, sebelum peristiwa papan reklame roboh di Cakung, atau tiga hari sebelumnya reklame roboh juga terjadi di bilangan Warung Buncit, Jakarta.
Reklame yang roboh pada akhirnya menutup ruas jalan Warung Buncit, sehingga kemacetan dari arah Mampang menuju Ragunan pun tak terhindarkan. Papan reklame berukuran 7,5x10 meter itu bahkan menutup jalur busway.
Gembong mengatakan Pemprov DKI Jakarta harus mengevaluasi pengawasan yang berkaitan dengan keberadaan papan reklame di wilayah kerjanya, mulai dari pengawasan izin hingga pengawasan pemeliharaannya.
"Setelah memberi izin, pengawasan harus tetap jalan. Kalau ada yang tidak beres (konstruksi reklame buruk] wajib didenda. Biar mereka (pemasang reklame) tak main-main untuk menata konstruksinya," jelas Gembong kepada reporter Tirto, Senin (09/12/2019).
Tanggung Jawab Bersama
Pendapat yang sama juga disampaikan Ketua Serikat Pekerja Reklame Jakarta (SPRJ) Didi O Affandi. Menurut Didi, pengawasan perizinan di awal pembangunan reklame menjadi kunci penting dalam mencegah robohnya papan reklame.
“Jika konstruksi dibuat sesuai IMB-BR (izin mendirikan bangunan reklame), kemungkinan roboh itu kecil. Artinya, ini kurang pengawasan dan ada biro nakal yang sengaja menurunkan kualitas agar bisa menekan harga jual,” kata Didi kepada reporter Tirto.
Selain minim pengawasan terhadap konstruksi reklame, lanjut Didi, pengawasan juga lemah dari sisi pemeliharaan. Usia reklame umumnya maksimal 2 tahun. Lebih dari itu, pengelola harus membangun ulang reklame dengan konstruksi baru.
Namun, kata Didi, hal itu justru jarang dipatuhi pengelola reklame. Di lain pihak, petugas berwenang dalam pengawasan reklame, yakni Satpol PP juga terkesan abai. Alhasil, papan reklame yang roboh kerap berulang.
“Memang banyak biro-biro nakal yang minim perawatan demi mengurangi cost dan menekan harga jual agar kompetitif. Apalagi, klien juga banyak yang beralih ke digital adv mengingat placement di outdoor media mahal,” tuturnya.
Belum lagi, pendapatan pengelola reklame juga makin tergerus manakala pajak reklame naik sampai 200 persen. Kondisi itu pada akhirnya membuat target pendapatan pengelola reklame dipangkas setidaknya hingga 70 persen.
Sementara itu, Sekretaris Asosiasi Perusahaan Media Luargriya Indonesia (AMLI) DKI Jakarta Fabi menilai bangunan reklame yang roboh tidak dapat dibebankan kepada satu unsur saja, seperti penyelenggara reklame atau Satpol PP.
“Mengacu Pergub No. 148/2017 bahwa tugas Pengendalian, Pengawasan dan Penertiban reklame harus dilaksanakan oleh Tim Penertiban Terpadu. Artinya, bangunan reklame ini adalah tanggung jawab bersama,” kata Fabi kepada reporter Tirto.
Namun, lanjut Fabi, pelaksanaan di lapangan masih belum maksimal. Saat ini, masih banyak bangunan reklame yang perizinannya diragukan, namun tetap berdiri. Sementara reklame yang berizin lengkap justru lebih dulu ditertibkan.
Kondisi ini juga terjadi lantaran bangunan reklame yang mempunyai izin, terdaftar di dalam inventaris Pemprov DKI, sedangkan yang tidak mempunyai izin, tidak terdaftar. Alhasil, reklame ilegal itu luput dari daftar penertiban.
Reklame Perlu Digital
Perihal reklame yang roboh, Trubus Rahadiansyah, selaku akademisi dari Universitas Trisakti punya pandangan berbeda. Menurutnya, reklame yang roboh umumnya berbentuk papan dengan gambar statis atau poster raksasa.
Reklame semacam itu dinilai berbahaya. Menurut Trubus, Pemprov DKI perlu kembali menegakkan aturan yang mewajibkan reklame yang ada di wilayah kerjanya harus berbentuk digital.
Dia menilai kekuatan konstruksi reklame digital lebih baik ketimbang reklame konvensional. Dengan kata lain, pemasangan reklame ada baiknya harus mahal agar pemasangannya tidak asal-asalan dan membahayakan masyarakat.
"Reklame digital ini, kan, bagus programnya. Seharusnya dilanjutkan dan berlaku di seluruh DKI Jakarta. Jadi, tidak ada lagi iklan konvensional dan membahayakan masyarakat," terang Trubus kepada reporter Tirto.
Sayang, lanjut Trubus, program reklame digital yang diinisiasi Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017 tersebut justru tidak dilanjutkan oleh Gubernur DKI Jakarta saat ini, yakni Anies Baswedan.
“Sekarang kenapa ini belum terjadi saya enggak tahu. Apa yang jadi dasar Pak Anies agar tidak melakukan hal itu, saya tidak tahu. Tapi kalau saya lihat ini lebih ke faktor politiknya," pungkasnya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Ringkang Gumiwang