Menuju konten utama

Di Balik Jumlah Pegawai Bank yang Makin Susut

Dari 10 bank terbesar, Bank Danamon termasuk jumlah karyawannya yang susut paling banyak.

Di Balik Jumlah Pegawai Bank yang Makin Susut
Karyawan menghitung mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan./aww.

tirto.id - Satu siang di kawasan Jakarta Pusat, pada salah satu kantor cabang bank swasta, ramai dengan nasabah. Sebagian nasabah tampak mengantre di teller, sebagian lagi mengantre di bagian customer services.

Ada tiga meja teller, jumlahnya sama dengan meja customer services. Namun, bedanya tiga meja teller hanya tersedia satu petugas teller yang bertugas. Sedangkan tiga meja customer services, lengkap dengan tiga petugasnya.

"Ya begitulah pak," kata salah satu karyawan bank, saat Tirto bertanya ihwal ada beberapa kursi kosong di bagian teller. Ekspresi karyawan itu tampakmeringis dengan senyum agak dipaksakan.

Para pekerja di sektor perbankan belakangan ini memang sedang menghadapi tantangan. Perkembangan dunia dan industri digital (industri 4.0) yang menuntut efisiensi berimbas pada tingkat kebutuhan sumber daya manusia yang kian menyusut.

Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan Indonesia (Jarkom SP Perbankan) mencatat ada lebih dari 50.000 pekerja bank yang terkena efisiensi. “PHK ini karena transformasi menyambut era 4.0, mengganti banyak tugas orang itu dengan mesin,” kata Abdoel Mujib, perwakilan dari Jaringan Komunikasi Serikat Pekerja Perbankan Indonesia kepada Tirto.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Pekerja PT Bank Danamon Indonesia ini menambahkan karyawan bank yang diputus kerja umumnya menempati posisi front liner seperti teller, customer service hingga marketing.

Berdasarkan penelusuran Tirto, tren pengurangan karyawan bank-bank memang sudah terasa sejak beberapa tahun belakangan. Bank Danamon misalnya, pada 2015, jumlah karyawan tercatat 35.606 orang tapi pada 2018 susut jadi 26.389 orang.

Terkait jumlah karyawan yang susut drastis, manajemen Bank Danamon melalui Head of External Affairs PT Bank Danamon Abraham Sihaloho tak mau berkomentar. Namun, perusahaan mengklaim memang sedang fokus untuk memberikan pelayanan secara digital kepada para nasabah. Alasan ini tentu, klop dengan upaya efisiensi perbankan di era digital.

Misalnya, Danamon meluncurkan aplikasi D-Bank Registration. Melalui aplikasi itu, pendaftaran untuk menjadi nasabah Danamon tidak perlu harus datang ke kantor bank.

Proses pembukaan rekening bisa diakses langsung melalui ponsel pintar. Data pribadi seperti KTP bisa dikirimkan langsung melalui aplikasi itu. Proses verifikasi juga dilakukan dengan video call, yang juga melalui aplikasi D-Bank Registration.

"Semua ini adalah bagian dari komitmen Danamon untuk terus berinovasi dalam meningkatkan kualitas layanan, memberikan nilai tambah, serta kenyamanan bagi nasabah," kata Michellina Triwardhany, Wakil Direktur Utama Danamon dalam siaran pers.

Kondisi yang sama juga terjadi di Bank OCBC NISP. Pada 2015, OCBC memiliki 6.922 orang karyawan. Namun kini susut menjadi 6.075 karyawan. Begitu juga Bank Maybank Indonesia, dari sebelumnya 7.421 karyawan, kini tinggal 6.529 karyawan.

Pengurangan karyawan juga terjadi di bank-bank BUMN seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada 2017, BRI memiliki 60.683 karyawan, dan turun menjadi 60.553 karyawan pada 2018. Namun, bila dihitung sejak 2015, jumlah karyawan BRI memang bertambah.

Berbeda dengan bank-bank di atas, Bank Mandiri dan Bank Central Asia (BCA) justru masih menambah jumlah karyawan. Namun, tren pertumbuhan penambahan jumlah karyawan kedua bank dalam tren melambat.

Infografik Jumlah karyawan Bank Indonesia

undefined

Di Balik Susutnya Pegawai Bank

Bisnis perbankan saat ini memang tidak seperti dulu lagi. Teknologi sudah mendisrupsi bisnis perbankan. Model bisnis yang dipakai dulu, mulai tidak relevan dengan kondisi saat ini. Untuk bertahan, perbankan wajib mengadopsi teknologi terkini.

Sayang, teknologi digital yang berkembang menjadi berita buruk bagi karyawan bank. Pelan-pelan, mereka terpinggirkan, terutama barisan garda terdepan atau yang berhadapan langsung dengan nasabah.

Kondisi ini juga bukan tanpa alasan. Masyarakat saat ini menuntut kemudahan dalam segala kehidupan, tak terkecuali dengan layanan perbankan. Apalagi, masyarakat makin hari makin akrab dengan teknologi.

Tren jumlah karyawan bank yang melorot juga sudah diperkirakan perusahaan investasi asal AS, Citigroup Inc. sejak 2017. Mantan bos CitiGroup Vikram Pandit memperkirakan 30 persen pekerjaan di bank akan hilang dalam 5 tahun ke depan.

“Teknologi AI (Artificial Intelligence/kecerdasan buatan) dan robot bisa mengurangi jumlah kebutuhan karyawan perbankan, terutama pada posisi back office,” kata Vikram dikutip dari Bloomberg.

Dalam catatan Citigroup, pengurangan karyawan perbankan sudah terlihat. Di AS misalnya, jumlah karyawan bank kala itu sudah melorot 770.000 orang. Kemudian di tempat lain, Eropa misalnya, sudah turun sampai dengan 1 juta karyawan bank.

Alasan perbankan mengganti manusia dengan mesin bukan semata-mata untuk sekadar kepentingan layanan saja. Ada beberapa keuntungan lainnya yang bisa diambil bank dari pengurangan karyawan.

Pertama, efisiensi. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan porsi beban karyawan terhadap total beban operasional bank saat ini cukup besar. Jika pegawai dikurangi, beban operasional juga bisa turun.

“Selain efisiensi dari pengurangan karyawan, digitalisasi juga bisa membuat operasional bank lebih efisien. Ujung-ujungnya, bank ingin mengincar laba usaha yang lebih besar lagi,” tutur Bhima kepada Tirto.

Apa yang dikatakan Bhima ada benarnya. Ambil contoh Danamon. Pada 2015, beban operasi Danamon tercatat sebesar Rp14,43 triliun. Selang tiga tahun, beban operasi turun 12 persen menjadi Rp12,77 triliun.

Pendapatan sepanjang 2018 memang turun 10 persen menjadi Rp20,17 triliun dari 2015 sebesar Rp22,42 triliun, laba bersih Danamon 2018 naik 66 persen menjadi Rp4,1 triliun dari 2015 senilai Rp2,46 triliun. Ini artinya bank semakin efisien.

Kedua, beban operasional karyawan bisa dialihkan untuk pengembangan teknologi, misalnya teknologi AI. Untuk memitigasi risiko kredit adalah hal yang penting bagi industri perbankan, dan teknologi AI bisa meningkatkan mitigasi risiko itu.

“Teknologi kecerdasan buatan membantu mengurangi bias dari karyawan saat pengambilan keputusan, sehingga hasil yang didapatkan lebih bagus,” tutur Vishal Marria, CEO Quantexa dikutip dari Forbes.

Melihat peran teknologi yang semakin strategis, membuat perbankan mulai mengalokasikan belanja modal guna memperkuat teknologi digital. Salah satunya BCA. Mereka menyiapkan Rp2,25 triliun tahun ini untuk mengembangkan teknologi. Di kantor-kantor cabang BCA misalnya, kini sudah tersedia mesin pencetak kartu ATM secara otomatis, yang menggantikan peran customer serivice.

Bank Mandiri juga tak ketinggalan untuk mengembangkan aspek teknologi. Tahun lalu, bank pelat merah ini mengalokasikan Rp1,75 triliun untuk belanja IT, atau sekitar 56 persen dari total belanja modal sebesar Rp3,15 triliun.

Perbankan hanya satu dari sekian industri yang perlahan terkena disrupsi. Para pekerja di sektor ini tentu harus lebih bersiap menghadapi perubahan, yang kini sedang berjalan.

Baca juga artikel terkait PHK MASSAL atau tulisan lainnya dari Ringkang Gumiwang

tirto.id - Bisnis
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra