tirto.id - “Lek dokumen Amdal batal, ora iso iku pabrike berdiri," ujar Prabang Setyono via telepon, Kamis (13/4). Maksudnya, jika dokumen Amdal batal, maka tidak bisa pabriknya berdiri.
Prabang adalah anggota tim Kajian Lingkungan Hidup Strategis Tahap I yang dibentuk Kantor Staf Presiden dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tim ini disusun pada Oktober tahun lalu atas kesepakatan Presiden Joko Widodo dan para petani Kendeng buat menyelesaikan konflik dengan PT Semen Indonesia. Kepada Tirto, Prabang bercerita mengenai dinamika tim KLHS Tahap I yang akhirnya merekomendasikan kawasan cekungan air tanah (CAT) Watuputih, objek sengketa, untuk ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi plus Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
“Sebenarnya kalau dari dulu lahir KLHS, baru kemudian Amdal, saya kira kejadiannya akan lain,” ujarnya seraya menjelaskan, jika merujuk PP 27/2012 tentang Izin Lingkungan, seharusnya PT Semen Indonesia tidak bisa mendapatkan izin analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Bahkan izin yang dikeluarkan Gubernur Ganjar Pranowo pada Februari 2017 dinilai tidak berdasar.
Meski tidak mendetail apa saja perdebatan di antara anggota Tim KLHS, tetapi Ketua Prodi Ilmu Lingkungan Pascasarjana Universitas Negeri Semarang ini mengatakan ada sejumlah kepentingan di balik keluarnya hasil kajian yang diumumkan Kantor Staf Presiden pada Rabu lalu (12/4).
“Intinya ada solusi,” ujar Prabang.
Perseteruan muncul saat tim KLHS merumuskan lokasi kawasan yang akan dikaji. Karena perbedaan pendapat ini pengumuman hasil KLHS molor. Harusnya ia diumumkan pada akhir Maret lalu, sesuai jadwal. Berdasarkan rilis yang diterima redaksi Tirto dari Kantor Staf Presiden, ada "dinamika perkembangan di lapangan" selama tim menyelesaikan kajian sejak Oktober 2016 hingga April 2017. Dinamika itu yang lantas menyimpulkan hasil KLHS harus dibagi dua tahap.
KLHS Tahap I hanya mengkaji zona Rembang (CAT Watuputih). Sementara KLHS Tahap II mengkaji seluruh Pegunungan Kendeng Utara di tujuh kabupetan: Blora, Grobogan, Pati, dan Rembang (Jawa Tengah) serta Bojonegoro, Lamongan, dan Tuban (Jawa Timur).
Namun, "dinamika" ini dibantah oleh Suryo Adiwibowo, koordinator Tim KLHS. Menurutnya, pengusul dua tahap KLHS ini datang dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
“Itu permintaan Bu Siti. Kalau terlalu luas, waktunya lama. Itu ada Pak Ganjar (Pranowo) juga, ada Bu Rini Soemarno (Menteri BUMN) juga,” ujar Suryo.
“Dia (Siti Nurbaya) minta tim ahli, walaupun ini studi garis besar, ada prioritas untuk segera difokuskan dulu. Kalau ini selesai, baru yang lebih luas.”
Suryo berkata, pertimbangan yang diminta Menteri Siti Nurbaya harus segera diputuskan supaya konflik petani Kendeng dan PT Semen Indonesia tidak berlarut-larut.
“Untuk mencegah konflik yang berkepanjangan, makanya dibagi dua, kawasan tahap satu yang diprioritaskan. Soalnya daerah lain, kan, enggak terlalu ramai. Nah, ini yang jadi prioritas dulu,” ujarnya.
KLHS dan Rekomendasi Politis
Meski Suryo Adiwibowo membantah ada tarik-menarik kepentingan, tetapi dosen kajian Agraria dan Ekologi dari Institut Pertanian Bogor ini mengakui jika ada perdebatan. Muaranya adalah salah seorang tim yang memaparkan hasil KLHS itu meminta Gubernur Ganjar Pranowo untuk mematuhi rekomendasi.
Namun, sebelum perdebatan itu meruncing, dibentuk tim kecil. Tim ini diwakili oleh Kepala Kantor Staf Presiden Teten Masduki, Siti Nurbaya, dan Ganjar Pranowo. Hasil dari tim kecil itu yang melimpahkan rekomendasi KLHS tahap I kepada Kementerian Energi Sumber Daya Mineral. Isinya, buat penetapan Kawasan Bentang Alam Karst di CAT Watuputih diperlukan "penelitian lebih mendalam."
“Apakah akan begitu (rekomendasi KLHS dilimpahkan ke ESDM) lagi di tahap II, kami belum bisa menyimpulkan,” ujarnya.
Tjahyo Nugroho Adji, dosen geografi di Universitas Gadjah Mada—salah seorang dari tim KLHS—mengatakan ia hanya seminggu di KLHS saat merumuskan rekomendasi demi menyelesaikan konflik antara petani Kendeng dan PT Semen Indonesia. Alasannya, kata Tjahyo, pembentukan tim KLHS tak memungkinkan baginya melakukan kajian dalam waktu singkat.
“Efek pertambangan terhadap hidrologi itu harus butuh penelitian panjang. Nanti baru bisa disimpulkan efeknya apakah besar atau kecil,” ujar Tjahyo via telepon, Kamis (13/4).
Ia berkata, selain waktu terlalu singkat, kerja tim dengan rentang setahun buat menyelesaikan kajian itu juga dianggap terburu-buru. “Pemerintah, kan, kalau sudah birokrasi yang penting cepat menghasilkan keputusan,” kata peneliti ahli batu gamping ini.
“Soal hidrologi, datanya harus primer. Bisa dikatakan tidak butuh data sekunder. Dari KLHS yang sekarang ada (hasil riset hidrologi) tidak rinci. Kami pasang alat di dekat lokasi yang mau ditambang PT Semen Indonesia, baru bisa mengeluarkan hasil penelitian dua tahun lagi,” ujarnya.
Rekomendasi Menyelamatkan Alam Rembang
Hasil kajian dalam dokumen KLHS Tahap I secara tegas menjabarkan, penambangan di kawasan CAT Watuputih, di dalamnya mengandung batuan gamping, harus dihentikan secara bertahap hingga 2020. Bahkan hasil kajian itu merekomendasikan tak ada lagi perpanjangan maupun Izin Usaha Pertambangan baru termasuk terhadap 22 perusahaan yang kini beroperasi.
Namun, hasil KLHS Tahap I tak menyatakan secara eksplisit mencabut izin perusahaan tambang. “Bukan ditutup, lho (22 IUP),” ujar Sudharto P. Hadi, penanggung Jawab Tim Panel Pakar, kepada Tirto, Kamis (14/3).
Meski demikian, pakar manajemen lingkungan dari Universitas Diponegoro ini menjelaskan sebenarnya tim KLHS Tahap I memperoleh fakta jika CAT Watuputih dan sekitarnya memenuhi kriteria sebagai kawasan lindung. Berdasarkan PP 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, kawasan itu termasuk dalam kriteria untuk ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK).
“Kita tidak hanya data sekunder. Ada sebagian data primernya. Kan dari penelitian kami sudah ada yang menunjukkan indikasi KBAK di CAT Watuputih itu. Kemudian menjadi rujukan ESDM. ESDM mendalami lagi, lalu menetapkan menjadi KBAK,” ujar Sudharto.
Sementara Prabang Setyono berkata "kaget" saat menemukan kejanggalan di lapangan. Dari hasil kajian, kata Prabang, tim menemukan jika Perda 14/2011 tentang RTRW Kabupaten Rembang 2011-2031 tak sesuai RTRW Nasional. Dalam perda itu, Rembang justru dijadikan kawasan budidaya untuk hasil pertambangan.
“Nah, kenapa bisa begitu? Berarti ada kebijakan dari pemerintah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang memang tidak memperhatikan daya dukung dan daya tampung itu,” kata Prabang. Meski demikian, ia berharap, hasil KLHS Tahap I ini tak sekadar dijadikan rekomendasi. Apalagi, menurutnya, fungsi karst di Rembang ikut menopang daerah lain lantaran fungsinya sebagai kawasan imbuhan air.
“Dari aspek geohidrologi (air tanah), kalau daerah imbuhan atau resapan air diambil lapisannya akan mengganggu ekosistem,” ujar Prabang.
Sementara Ganjar Pranowo, saat dikonfirmasi oleh redaksi Tirto, justru bingung pada satu poin rekomendasi oleh tim KLHS. Menurutnya, 22 IUP di Kabupaten Rembang sama sekali tak dinyatakan untuk dicabut.
Ganjar mengatakan, terkait rekomendasi oleh Tim KLHS untuk seluruh kawasan Pegunungan Kendeng Utara yang akan rampung dua bulan ke depan, Pemprov Jawa Tengah masih belum mengambil keputusan.
“Sambil menunggu kajian yang akan dilakukan 6-12 bulan oleh Badan Geologi (Kementerian ESDM),” ujarnya kepada Tirto di Hotel Shangri-La, Kamis (13/4).
Ia menjelaskan, soal rekomendasi agar kawasan CAT Watuputih ditetapkan kawasan lindung geologi dan KBAK, pihaknya sudah "berkomunikasi" dengan PT Semen Indonesia. Pihak semen, kata Ganjar, menerima keputusan oleh tim KLHS.
“Saya tanya ke Semen (Indonesia), 'Siap toh tidak menambang dulu?' 'Oh siap, Pak. OK.' Saya kira ini kompromi paling bagus,” ujar Ganjar.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam