tirto.id - Kontribusi kalangan jet set terhadap bidang kesehatan dan pembangunan sumber daya manusia senantiasa mengundang decak kagum. Di sisi lain, dunia filantropi melibatkan aliran dana bombastis yang dihasilkan dari kegiatan mencari untung alias bisnis oleh segelintir individu atau keluarga.
Hal ini pun menimbulkan pertanyaan menarik tentang bagaimana pebisnis kaya raya mengerahkan pengaruh dan kekuasaan untuk kepentingan publik. Aksi derma mereka nampak beririsan dengan peranan pemerintah, yang biasanya dipilih langsung oleh rakyat dan diberi mandat konstitusional untuk menjamin kesejahteraan warga negaranya. Bedanya tentu saja pimpinan korporasi tidak dipilih secara demokratis.
Satu Abad Kejayaan Filantropi Modern
Melalui kampanye Giving While Living, mantan pengusaha ritel Chuck Feeney (89 tahun) menjadi salah satu figur penting yang menginspirasi orang-orang kaya abad ke-21 untuk berdonasi sepanjang hayat masih dikandung badan. Cita-cita Feeney untuk "jatuh miskin" tercapai sudah akhir 2020 silam, setelah empat dekade lamanya ia mendonasikan USD 8 miliar (375.000 persen lebih besar daripada asetnya sekarang) di antaranya untuk program pendidikan, mendorong perdamaian di Irlandia Utara, sampai meningkatkan sistem kesehatan di Vietnam.
Berdonasi ketika masih hidup dapat memberikan "kepuasan luar biasa" karena kita "tidak sekadar membuat perubahan, tapi juga menyaksikannya berlangsung sekarang" sebagaimana dikutip dari situs Atlantic Philantrophies, yayasan penyalur donasi milik Feeney. Tercerahkan oleh semangat Feeney, pada 2010 Melinda dan Bill Gates serta Warren Buffet mencetuskan gerakan moral The Giving Pledge untuk mengajak kaum kaya agar menyumbangkan sebagian besar harta kekayaannya selama masih hidup, atau sebagai wasiat. Sebanyak 216 tokoh berduit sudah menambatkan hatinya pada komitmen tersebut, termasuk Mark Zuckerberg dan Elon Musk.
Sejak didirikan pada 1994 Yayasan Gates sudah menggelontorkan total dana sedikitnya USD 54,8 miliar (nilainya sekarang sekitar Rp772 triliun) di 135 negara. Nominal tersebut jauh lebih tinggi daripada Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Republik Demokratik Kongo, bahkan dua kali lipat dari PDB Zambia atau Zimbabwe.
Jangkauan sumbangsih Gates sangatlah luas, mulai dari dana hibah penelitian untuk menciptakan kondom berkualitas, sampai donasi sebesar USD 1,75 miliar untuk menghadapi pandemi COVID-19 dalam bentuk riset dan distribusi vaksin kepada warga negara ekonomi menengah ke bawah. Perhatian Gates selama ini memang tertuju pada isu-isu kesehatan, seperti penanggulangan tuberkulosis, HIV/ AIDS, malaria, sampai program vaksinasi. Sejak dua dekade terakhir, Gates aktif mendukung aliansi vaksin dunia GAVI, yang sampai hari ini sudah berhasil memberikan vaksin untuk 800 juta anak di dunia.
Sampai 2013, anggaran tahunan untuk misi-misi kesehatan dari Gates jauh lebih besar daripada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Bahkan, Bill & Miranda Gates Foundation terpampang sebagai sponsor utama WHO, satu-satunya nama milik pribadi yang berdampingan dengan negara-negara donor kaya raya seperti Jerman, Jepang, Amerika Serikat, Komisi Eropa.
Sebelum kisah filantropi Gates mendominasi media hari ini, satu abad silam pendiri raksasa korporat Standard Oil, John D. Rockefeller Sr. sudah memulai gerakan yang sama. Seperti Gates, perhatian Rockefeller Sr. dimulai dari bidang kesehatan: donasi untuk Palang Merah Amerika, penelitian untuk mengobati demam kuning serta malaria di kawasan Amerika Latin, Eropa dan Asia.
Adalah Rockefeller yang mendirikan dan mendanai kampus studi kesehatan masyarakat pertama di negeri Paman Sam, tepatnya di Johns Hopkins University. Ketika itu, pada 1918, flu Spanyol mewabah. Lima belas tahun kemudian, ilmuwan dari lembaga riset Rockefeller, Richard Shope, turut andil mengungkap virus sebagai biang influenza, yang sebelumnya diduga berasal dari bakteri.
Setelah kematian Rockefeller Sr. pada 1937, yayasannya terus berkembang untuk mendorong inovasi demi kemakmuran warga dunia. Misi mereka tak terbatas untuk kemanusiaan, namun juga politis. Misalnya, mereka jadi agen penting dalam melancarkan Revolusi Hijau di Meksiko (1941) dan India (1956). Menurut yayasan Rockefeller, pertumbuhan penduduk yang pesat di negara-negara ekonomi berkembang bisa menjadi sumber utama munculnya krisis pangan dan “subversi komunis”. Maka, mereka menerapkan program peningkatan hasil pangan berbasis strategi pertanian untuk mengatasi kelaparan dan ketidakstabilan sosial. Sampai hari ini, Rockefeller Foundation sudah mendermakan sekitar USD 17 miliar (Rp240 triliun).
Dirayakan lalu Dikritik
Berbeda dengan sambutan hangat terhadap gerakan filantropi masa kini, inisiatif filantropi yang diusung Rockefeller Sr. di masa lalu justru disambut dengan gerutu oleh elite politik Washington, seperti dituturkan oleh Rob Reich, profesor ilmu politik di Stanford University dalam buku berjudul Just Giving: Why Philanthropy Is Failing Democracy and How It Can Do Better(2018).
Sebagaimana yang disampaikan Reich, Rockefeller Sr.dicibir karena berusaha memperoleh persetujuan Kongres untuk mendirikan badan amal pada 1909. Kala itu marak pandangan bahwa kekayaan mereka diperoleh lewat praktik monopoli—di samping fakta bahwa keluarga Rockefeller memang tidak suka gerakan serikat buruh. Presiden William Taft mengajak Kongres untuk menolak berdirinya Rockefeller Foundation, bahkan mantan presiden Theodore Roosevelt berkata, "Sebanyak apapun amal disalurkan dari hartanya, tak akan bisa menebus segala perbuatan jahat yang dilakukan untuk memperolehnya [kekayaan Rockefeller]."
Namun, menurut Reich, alih-alih dipandang bermasalah karena merepresentasikan kekayaan baron perampok Zaman Sepuhan (Gilded Age, yakni zaman kemajuan ekonomi pesat di AS sejak 1870-an sampai 1900), yayasan amal Rockefeller justru dicecar sebagai "institusi anti-demokratis, suatu entitas yang akan merusak kesetaraan politik, mengalihkan kekayaan pribadi untuk kebijakan-kebijakan publik sesuai minat donor, yang bisa hidup abadi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali oleh sekumpulan wakil pilihan sendiri" (2018: 5). Reich mengutip sejumlah tokoh, seperti Pendeta John H. Holmes dari American Civil Liberties Union, yang menilai yayasan Rockefeller "bertentangan dengan gagasan tentang masyarakat demokratis". Bahkan, Senator Frank Walsh dari Missouri memandang semua yayasan filantropi pada dasarnya adalah ancaman terhadap kesejahteraan masyarakat.
Reich menekankan perlunya mengkritisi peranan filantropi dalam tatanan masyarakat yang demokratis. Kritik diperlukan karena filantropi adalah praktik pengerahan kekuasaan oleh kalangan berduit. Penggunaan aset pribadi untuk kemaslahatan bersama (yang kadang ditujukan untuk mengubah kebijakan publik) bisa juga mengarah pada pemerintahan plutokratis, tulis Reich.
Menurut Reich, aksi filantropi kerap sulit untuk dipertanggungjawabkan, tidak transparan, diatur langsung oleh donor dan menjadi alat kekuasaan pemodal belaka.
Di samping itu, Reich juga menyorot keringanan pajak yayasan. Badan amal memang didirikan orang kaya atas dasar kebebasan pribadinya, yang diwujudkan dalam bentuk aktivitas sukarela. Namun, banyak negara memberikan subsidi pajak pada aktivitas filantropi, yang sebagian disokong oleh rakyat sebagai pembayar pajak. Artinya, demikian menurut Reich, para filantropis ini tidak mengekspresikan kebebasannya melalui donasi, melainkan justru disubsidi oleh publik untuk melakukannya.
Pada 2018, Vox, kantor berita daring Amerika yang disponsori oleh Rockefeller Foundation, mengulas pandangan skeptis dari tokoh akademik terhadap yayasan milik Bill Gates. Salah satu yang diulas adalah Linsey McGoey, dosen sosiologi University of Essex yang pernah mempelajari yayasan Gates. Tak terhitung banyak dan luasnya jangkauan program-program kemanusiaan Gates, sampai-sampai McGoey mengaku tidak tahu semua misi kemanusiaan Gates. Menurutnya, ketidaktahuannya itu "mengerikan".
Prioritas misi-misi kemanusiaan yayasan Gates turut disorot. Vox mengutip hasil studi oleh tim peneliti University of Oxford pada 2008 yang mengungkap bahwa kebanyakan donasi yayasan Gates untuk negara-negara kaya memprioritaskan penyakit seperti HIV/AIDS dan malaria, daripada penyakit kronis seperti obesitas, kanker dan diabetes. Selain itu, yayasan Gates dikritik karenaterlalu fokus pada teknologi (seperti riset obat-obatan, vaksin dan berbagai solusi teknis) alih-alih memperkuat sistem kesehatan untuk menyokong distribusinya, seperti disampaikan dalam riset tahun 2009 oleh peneliti University College London. Tanpa disokong sistem kesehatan yang baik, obat dan vaksin pun belum tentu bisa bertahan di pasaran, ujar Jeremy Youth, dosen ilmu politik di University of Minnesota Duluth kepada Vox.
Sophie Harman dari Queen Mary University of London mengatakan kepada Vox bahwa tak banyak kritik terhadap yayasan Gates sebagai badan amal paling berkuasa di dunia ini. Kritik hanya beredar di lingkup akademik. Harman menyangsikan jika alasan di balik sunyinya kritik atas misi Gates adalah keberhasilan tiap program yang diusungnya, karena sesungguhnya tidak semua proyek kesehatan berhasil 100 persen. "Orang takut melawan Gates dan peran yayasannya karena tidak mau kehilangan sumber dana," ujar Harman.
Filantropi dan Kapitalisme
Besar dan kuatnya pengaruh serta kontribusi filantropi terkadang menimbulkan pertanyaan tentang peran negara. Paul T. Jones, pendiri Robin Hood Foundation yang mengkombinasikan investasi keuangan dengan program pengentasan kemiskinan di New York, memandang bahwa pihak swasta berada di garda terdepan negara dalam merespons isu-isu sosial.
"Kalau kita memang hidup di dunia yang sempurna, di mana pemerintah benar-benar mau beraksi untuk kepentingan masyarakat, mewakili apa yang dibutuhkan komunitas setempat dan menangani masalah-masalah tersebut... maka kita tidak akan membutuhkan filantropi," ujar Jones saat diwawancarai oleh The Economist dalam film pendek berjudul Charity: how effective is giving? (2020). Jones percaya bahwa inovasi yang muncul selama ini datang dari sektor swasta, yang kemudian diadopsi oleh sektor publik. Pendapat Jones adalah pandangan khas neoliberal: negara tidak perlu banyak mengintervensi isu-isu sosial-ekonomi dan cukup membiarkan pasar bebas bekerja.
Sedikit lebih 'halus' daripada Jones, Bill Gates menyatakan pandangannya tentang "kapitalisme kreatif" di World Economic Forum di Davos pada 2008. Gates memaknai “kapitalisme kreatif” sebagai "suatu pendekatan di mana pemerintah, bisnis, dan lembaga non-profit bekerja sama untuk memperluas jangkauan kekuatan pasar, sehingga lebih banyak orang bisa menghasilkan keuntungan, memperoleh pengakuan, melakukan pekerjaan demi mengurangi ketidakadilan di dunia".
Dari pandangan Jones dan Gates di atas, nampak jelas kalangan filantropis berorientasi pada pola pikir dan praktik bisnis untuk menjawab tantangan sosial dan ekonomi—atau istilahnya "filantrokapitalisme" sebagaimana pernah dipopulerkan oleh buku berjudul sama karya Matthew Bishop dan Michael Green pada 2008.
Peleburan dunia filantropi dan kapitalisme ini dimaknai sebagai upaya orang-orang kaya untuk menerapkan pendekatan bisnis agar biaya operasionalnya efektif, tetap berorientasi hasil, dan memberikan keuntungan. Para "filantrokapitalis" ini pun kerap menggunakan istilah-istilah beraroma bisnis untuk mendeskripsikan gerakan filantropi mereka, seperti menyebutnya "strategis", "sadar pasar" atau "berbasis pengetahuan" (2008:6).
Editor: Windu Jusuf