tirto.id - Debat pertama Pilpres 2019 berlangsung kemarin, Kamis (17/1/2019). Jokowi sang petahana beserta Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden ditantang Prabowo Subianto sang veteran Pilpres 2014 yang kali ini maju bersama Sandiaga Uno.
Sejak presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, debat antarpasangan calon presiden dan wakil presiden diberi panggung, disiarkan sejumlah media, dan menjadi tontonan masyarakat. Namun, para calon pasangan yang tampil dalam debat-debat yang berlangsung sejak 2004 ini sering kali terlampau hati-hati dan berusaha tampil manis.
Dalam sejarah pergerakan nasional dan ketatanegaraan, sejumlah debat juga pernah hadir mewarnai perjalanan bangsa. Para politikus zaman baheula saling bersikukuh mempertahankan pendapatnya. Ujung perdebatan tersebut menjadi penentu masa depan Indonesia.
“Ini adalah Peperangan”
Pada Desember 1929, Sukarno dan beberapa aktivis Partai Nasional Indonesia (PNI) lainnya ditangkap pemerintah kolonial saat mereka memberikan kuliah politik kepada rakyat di Yogyakarta. Penangkapan tersebut membuat PNI dilarang dan pergerakan nasional terpukul karena kehilangan sosok yang karismatik.
Mr. Sartono sebagai pengganti Sukarno kemudian mendirikan Partindo (Partai Indonesia) sebagai kelanjutan dari PNI. Sejumlah tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir tidak setuju dengan pendirian partai tersebut.
Partindo hadir sebagai partai yang kurang darah karena tak ada sosok kunci seperti Sukarno. Akibatnya, para pengikut dan simpatisan pergerakan nasional jarang menghadiri pertemuan yang digelar Partindo.
Melihat gelagat ini, Hatta dan Sjahrir sadar bahwa partai yang digerakkan pesona tokohnya akan sangat tergantung dengan sosok tersebut. Mereka berpikir, pendidikan terhadap kader pergerakan justru lebih penting ketimbang agitasi untuk menggerakkan massa yang besar. Saat tokohnya ditangkap Belanda atau hal-hal lain yang menyebabkan ia tak bisa hadir, maka pergerakan akan tetap hidup karena kehadiran para kader.
Silang pendapat di tubuh eksponen pergerakan nasional ini kemudian menimbulkan perpecahan. Hatta dan Sjahrir mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia.
“Menurut rencana saya, rakyat, lewat pembinaan pendidikan harus berangsur-angsur dibawa ke tingkat kemajuan yang bisa membawa kepada kehidupan yang merdeka,” tulis Hatta seperti dikutip Rudlof Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996).
Sementara Sjahrir, imbuh Mrazek, percaya bahwa pendidikan adalah cara untuk memetakan jalan menuju kemerdekaan. Baginya, pendidikan bukan untuk menciptakan agitasi, melainkan untuk membawa kejernihan.
Setelah dibebaskan dari penjara Sukamiskin pada Desember 1931, Sukarno segera menemui kedua belah pihak yang berseberangan jalan, yakni Partindo dan Pendidikan Nasional Indonesia.
“Pertama aku harus berbicara dengan Hatta dulu. Untuk mendengarkan isi hatinya,” kata Sukarno sebagaimana dikutip Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2007).
Hatta, yang menurut Sukarno “seorang ekonom, baik dalam ilmu maupun watak, bersikap hati-hati, tanpa emosi, dan selalu mengedepankan intelektualitas”, mengungkapkan sistem pergerakan yang dibangun Sukarno membuat partai tidak memiliki kestabilan. Ia menghendaki pendidikan kader agar partai senantiasa ada penerus saat para tokohnya ditangkap.
“Ketika Bung Karno beserta ketiga kawan kita masuk penjara, seluruh pergerakan tercerai-berai. Gagasanku adalah membentuk satu inti kecil dari organisasi yang kemudian akan melatih kader untuk digembleng, sesuai cita-cita kita,” ujarnya.
“Lalu apa yang akan dilakukan para kader ini? Apakah akan mendatangi massa rakyat dan membangkitkan semangat mereka, seperti yang telah kukerjakan?” tanya Sukarno.
Hatta menjawab hal itu tidak akan dilakukan. Ia teguh dalam konsepsinya, pendidikan lebih penting daripada daya tarik pribadi seorang pemimpin. Menurutnya, melalui pendidikan, partai akan tetap berjalan meskipun para pemimpinnya berhalangan.
“Kenyataannya sekarang, tanpa pribadi Sukarno, tidak ada partai. Ini akan membuat partai bubar, karena rakyat tidak memiliki kepercayaan kepada partai itu sendiri. Yang ada hanya kepercayaan kepada Sukarno,” imbuhnya.
Sukarno tak setuju. Ia menilai jalan yang ditempuh Hatta akan menghabiskan waktu yang sangat lama, sementara kemerdekaan harus segara diraih.
“Kemerdekaan memang tidak akan tercapai selagi kita masih hidup. Tapi setidak-tidaknya cara ini pasti. Pergerakan kita akan terus berjalan selama bertahun-tahun,” timpal Hatta.
Sukarno bertanya sambil menegaskan, juga menyindir sosok Hatta yang begitu dekat dengan buku.
“Dan siapa yang memimpin Bung? Sebuah buku teks? Lalu siapa yang menggerakkan jutaan rakyat untuk berkumpul? Untaian kata-kata? Ini tak akan menggerakkan seorang manusia pun,” ujarnya.
Sukarno menambahkan, Belanda hanya takut kepada kekuatan rakyat yang digalang dari kerumunan massa, bukan pada untaian kata-kata. Lebih tajam ia berkata, upaya pencerdasan lewat pendidikan kader memang tak akan membuat kaum pergerakan dipenjara, tapi sekaligus tak akan meraih kemerdekaan yang dicita-citakan.
Namun, Hatta lagi-lagi berkeras dengan pendiriannya. Menurutnya, jika Sukarno masuk penjara lagi, maka rakyat akan menertawakannya. Rakyat, lanjut Hatta, akan menganggap Sukarno pandir sebab ia melakukan sesuatu yang risikonya sudah ia ketahui.
Mendapatkan perlawanan yang amat sengit, Sukarno rehat sejenak. Kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, ia berkata, “Hatta tidak mau mundur satu milimeter pun, maka dengan putus asa aku meninggalkan pertemuan yang berlangsung selama beberapa jam itu. Kami memiliki perbedaan yang tajam dan Hatta sangat kaku dalam sikapnya. Tapi aku terus mencoba. Selama beberapa bulan aku mencoba.”
Pada pertemuan berikutnya, Hatta masih tetap mengemukakan konsepsi awalnya tentang pendidikan kader. Ia mengungkapkan, jika Belanda membungkam kaum pergerakan sampai akhirnya tak bisa beraksi lagi, maka para intelektual muda hasil didikannya akan meneruskan perjuangan.
Sukarno geram, menurutnya ia tidak pernah mengerti perkara tetek-bengek intelektual yang ia sebut sebagai “khayal”. Hatta dan Sjahrir, imbuh Sukarno, hanya berbicara dan tak pernah membangun kekuatan selain bicara.
“Ini adalah peperangan,” tegasnya.
Pada debat terakhir itu ia menyatakan, perjuangan melawan Belanda adalah soal kekuatan, bukan persoalan kesetiaan dan kehormatan pada generasi pergerakan berikutnya. Sebab saat Hatta dan Sjahrir sibuk dengan wacana seperti itu, lanjutnya, pada saat itu pula Belanda memukul kaum pergerakan.
Buntu. Keduanya bersilang jalan. Pada 28 Juli 1932, Sukarno akhirnya bergabung dengan Partindo, dan ia kembali menjadi incaran Belanda.
Perdebatan Jelang dan Masa Kemerdekaan
Selain zaman pergerakan nasional, perdebatan juga terjadi jelang era kemerdekaan dan beberapa tahun setelah pemilu pertama digelar pada 1955. Dalam sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), Muhammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno mengungkapkan beberapa poin tentang dasar negara.
Untuk menindaklanjuti usulan-usulan tersebut, maka dibentuklah Panitia Sembilan yang mengadakan pembicaraan yang penuh dengan perdebatan antara kubu kebangsaan dan kubu Islam. Salah satu hal yang disepakatinya adalah rumusan dasar negara yang kemudian disebut Piagam Jakarta.
Perdebatan ternyata berlanjut dengan mempersoalkan tujuh kata dalam sila pertama Piagam Jakarta yang berbunyi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Akhirnya redaksi sila pertama tersebut diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan berlaku sampai hari ini.
Lebih dari satu dasawarsa setelah perdebatan di BPUPKI, Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 berdebat pada 1957 tentang dasar negara. Masyumi dan PKI tampil menjadi pihak yang paling gesit dan garang dalam berdebat.
Perdebatan antara Masyumi dan PKI di Dewan Konstituante, memang lanjutan dari sejumlah “bentrok” yang telah lama terjadi antarpartai tersebut seperti disebut Remy Madinier dalam Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi & Islam Integral (2013).
“Dari situ kemudian kita tahu, debat yang bermutu membutuhkan seni berpikir dan yang terpenting punya isi kepala. Masjumi dan PKI dihuni singa-singa debat. Mereka berseberangan dan membela keyakinannya dengan ayat dan asas ideologisnya,” tulis Muhidan M. Dahlan.
Editor: Ivan Aulia Ahsan