Menuju konten utama

Debat Capres dan Pertanyaan tentang Keberadaan Tuhan

Ada yang kalah karena komentar bodoh atau tidak kelihatan percaya diri.

Debat Capres dan Pertanyaan tentang Keberadaan Tuhan
Debat antara dua kandidat presiden John Fitzgerald Kennedy dan Richard Nixon disiarkan langsung melalui televisi (26/9/60). FOTO/AP Photo

tirto.id - Ada kisah menarik dalam episode kedua acara debat calon presiden Amerika Serikat antara Gerald Ford, sang petahana, dengan Jimmy Carter yang kala itu masih menjabat sebagai Gubernur Georgia. Dalam acara tertanggal 6 Oktober 1976 tersebut, Ford dengan lantang menyatakan: “Tidak ada dominasi Soviet di Eropa Timur.

Banyak orang tersentak dengan pernyataan Ford tersebut karena dianggap keterlaluan dangkalnya. Fakta bahwa Uni Soviet mendominasi nyaris seluruh negara di Eropa Timur kala itu sudah menjadi pengetahuan umum di manapun. Bahkan Max Frankel dari New York Times yang bertindak sebagai moderator tampak tidak percaya dengan jawaban Ford. “Maaf, maksudnya bagaimana ya, Pak?” tanya Frankel.

Ford secara ironis menggagalkan sendiri seluruh proses pemilihannya kembali akibat pernyataan tersebut. Sementara Carter terus melaju hingga berhasil menjadi presiden. Bertahun-tahun setelahnya, Presiden AS ke-38 itu sempat menjelaskan bahwa yang ia maksud ketika itu adalah semangat orang-orang Eropa Timur yang mencari kemerdekaan takkan hancur meskipun negerinya diduduki Soviet. Namun, apa boleh buat, retorika Ford memang terlalu buruk untuk dipercaya.

Debat, terlepas dari apapun topiknya, akan selalu menjadi sesuatu yang menarik untuk diikuti. Dalam satu waktu, pihak yang bertentangan akan dipaksa beradu kemampuan menelaah masing-masing argumen. Socrates punya metode menarik terkait debat: teknik elenchus. Tentang bagaimana adu sudut pandang berbeda antar-individu dapat menggugah untuk saling berpikir kritis satu sama lain.

Salah satu momen debat terpenting dalam sejarah dunia adalah tujuh seri perdebatan antara Abraham Lincoln dengan Stephen Douglas yang dikenang dengan sebutan The Great Debates of 1858.

Ketika itu, Lincoln yang berasal dari Partai Republikan, dan Douglas dari Partai Demokrat, mencalonkan diri sebagai anggota senat. Untuk bisa terpilih, mereka harus berdebat tujuh kali banyaknya dengan topik yang sama: mempertahankan atau menghapus sistem perbudakan.

Lincoln berpendapat bahwa perbudakan akan mengancam nilai-nilai republik di AS, dan menuding Douglas telah mendistorsi tekad para pendiri negara untuk menciptakan “kesetaraan setiap umat manusia”. Sementara Douglas menganggap bahwa warga AS sebagai pemukim juga berhak untuk memilih apakah perbudakan perlu dijalankan atau tidak. Ia pun balik menuduh Lincoln telah menganut abolisionisme: sebuah gerakan yang aktif pada abad ke-18 dengan misi ingin menyingkirkan perbudakan di Eropa dan di Amerika.

Lincoln, pada akhirnya, kalah dalam seri debat tersebut. Hanya saja, ia berhasil memenangi hati sebagian besar masyarakat AS. Pada tahun 1860, setelah mengungguli beberapa saingan internal partainya, Lincoln dapat maju ikut pemilihan presiden. Dan berkat dukungan negara bagian di utara dan barat, ia pun menang dari Douglas pada pilpres.

Namun terpilihnya Lincoln menimbulkan salah satu konflik paling berdarah dalam sejarah negara tersebut. Hal ini dikarenakan mayoritas penduduk di negara bagian di selatan banyak yang pro perbudakan. Selain tidak memilih Lincoln, dominasi kaum separatis di sana juga menyatakan akan melepaskan diri dari federasi jika Lincoln dinobatkan sebagai presiden AS ke-16. Sikap itu terbukti bukan gertak sambal.

Sejak akhir Desember 1860 hingga Februari 1861, tujuh negara bagian mengumumkan melepaskan diri dari pemerintah federal. Mereka pun bergabung dan mendirikan negara berdaulat yang dinamakan Confederate States of America, dengan Jefferson Davis sebagai presiden interim. Akan tetapi, Lincoln tetap pada pendiriannya dan menolak mengakui konfederasi ilegal tersebut. Sikap Lincoln berujung meletusnya Perang Sipil.

Sebab perang sudah tak bisa dihindari, Lincoln lantas mengirim pasukan federal untuk melawan pasukan selatan. Di saat peperangan masih berlangsung, pada 22 September 1862, ia memutuskan untuk menghapus sistem perbudakan. Hal ini disertai dengan pembuatan “Declaration of Independence” yang mulai efektif pada 1 Januari 1863.

Berkat keputusannya tersebut, tiga juta budak di wilayah federal dibebaskan. Setahun berikutnya, seluruh perbudakan di AS dihapus total, kendati di wilayah selatan masih banyak orang kulit hitam yang mengalami diskriminasi. Pada 15 April 1865, Lincoln tewas dibunuh karena keputusan bersejarahnya.

Keberadaan Tuhan hingga Debat Capres Pertama di Televisi

Salah satu topik perdebatan klasik adalah tentang keberadaan Tuhan. Pada 28 Januari 1948, BBC Radio menggelar perdebatan mengenai hal tersebut dengan menghadirkan dua narasumber yang memiliki latar belakang berbeda satu sama lain: pendeta Jesuit Frederick Copleston dan filsuf agnostik Bertrand Russell.

Debat terkenal itu dibagi menjadi dua bagian: bab metafisik dan moral. Di bagian metafisik, Copleston mendukung argumen kosmologis dalam menjelaskan keberadaan Tuhan. Ia berangkat dari penjelasan Thomas Aquinas dalam "lima cara" untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Copleston juga mengadopsi pemikiran Wilhelm Leibniz, Principle of Sufficient Reason, sebagai landasan argumennya: bahwa tidak ada yang bisa ada tanpa alasan yang memadai, termasuk Semesta.

Russell dengan bernas mengkritisi konsep Leibniz tersebut, terutama dalam bagian perlunya “alasan memadai”. Menurutnya, hal tersebut hanya dapat diterapkan untuk sesuatu yang memiliki proposisi-proporsi analitik-logis. Sementara dalam konsep Leibniz, proposisi analitik-logis tersebut akan runtuh jika dihadapkan dengan "kebenaran akal" atau kebenaran apriori.

Momen menarik dalam perdebatan ini terjadi menjelang usai. Russell mengkritik pernyataan Copleston bahwa karena segala sesuatu yang terkandung di dalam Semesta adalah kontingen, maka Semesta secara keseluruhan juga harus bergantung (dengan “zat” tertentu). Bagi Russell, menerima bahwa Semesta benar-benar ada itu sudah cukup. Ia merujuk David Hume dalam Dialogues Concerning Natural Religion: jika memang ada sebuah “zat tertentu”, mengapa ia tidak bisa menjadi Semesta secara keseluruhan?

Beralih lagi ke AS. Pada 26 September 1960, untuk pertama kalinya dalam sejarah debat capres ditayangkan di televisi. Momen tersebut mempertemukan antara Senator Partai Demokrat, John F. Kennedy, dan Wakil Presiden, Richard M. Nixon, dari Partai Republik. Inilah debat yang kelak mengubah lanskap politik global sekaligus membuka era baru perdebatan di televisi.

Perdebatan antara Kennedy dan Nixon dibagi ke dalam empat putaran. Putaran pertama disiarkan langsung dari studio televisi CBS di Chicago. Putaran kedua pada 7 Oktober di Washington. Sementara putaran ketiga dilangsungkan secara jarak jauh pada 21 Oktober: Kennedy di New York, Nixon di Los Angeles. Putaran penutup dilakukan pada 21 Oktober di New York. Seri debat ini berhasil menyedot perhatian sekitar 70 juta penonton di AS.

Sebelum seri perdebatan bersejarah itu dimulai, jajak pendapat yang dilakukan berbagai media dan lingkaran survei menunjukkan Nixon sebagai kandidat presiden yang akan menang di pilpres November 1960. Sebab itu pula, publik pun heran mengapa ia bersedia menerima tantangan Kennedy untuk berdebat secara langsung televisi.

Tantangan berdebat yang diajukan kubu Kennedy sebetulnya taktik yang jitu untuk mendulang popularitas plus tanpa risiko yang berarti. Jika ia kalah, Kennedy juga akan dianggap telah menempuh langkah berani dan akan meraih banyak simpati publik. Sedangkan Nixon, kalah atau menang, telah memberi ruang bagi Kennedy untuk memperkenalkan diri ke publik.

Semula kubu Nixon hanya bersedia satu putaran dengan harapan akan langsung mengalahkan Kennedy. Kubu Kennedy bersikeras menginginkan lima putaran. Setelah negosiasi yang cukup alot, jalan tengah diputuskan: seri debat berlangsung empat kali. Dan apes bagi Nixon, dalam debat pembuka yang mengangkat topik mengenai kebijakan publik, ia “kalah” telak dari lawannya.

Sejatinya kekalahan Nixon bukan lantaran ketidaktahuannya menjawab topik terkait, tapi lebih karena penampilannya yang gelagapan di depan kamera. Di hadapan Kennedy yang muda, bergaya, dan penuh daya tarik, Nixon bak seorang linglung berwajah pucat. Tak hanya itu, Kennedy pun juga cekatan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang datang dari moderator maupun dari Nixon sendiri.

Infografik Debat debat berpengaruh dalam sejarah

Infografik Debat debat berpengaruh dalam sejarah

Satu hal yang sangat membedakan keduanya adalah: Kennedy sangat sadar kamera, sementara Nixon selalu gelagapan ketika pandangannya mengarah ke penonton televisi. Terlebih ketika itu Nixon menolak memakai make up, sehingga keringat yang mengucur di wajahnya membuat dirinya tampak seperti lilin meleleh di layar televisi yang masih hitam putih.

Di tiga putaran debat selanjutnya, Nixon memang berhasil memenangkan perdebatan. Namun kemenangan Kennedy di seri pertama sudah kadung membuat warga AS menjadi terkesima olehnya. Sejak itu, saban ia kampanye, banyak orang datang untuk melihatnya dari dekat. Inilah kali pertama bagaimana seorang calon presiden disikapi selayaknya bintang Hollywood. Hal tersebut seolah menjadi nubuat kemenangan Kennedy di pilpres kelak.

Dan benar belaka, dalam hasil pilpres yang diumumkan pada 8 November 1960, Kennedy keluar sebagai pemenang dengan selisih suara tipis atas Nixon. Dalam tingkat popular vote, ia meraih 34.220.984 suara (49,7 %), sedangkan Nixon mendulang 34.108.157 suara (49,6 %). Sementara pada tingkat electoral vote, Kennedy mendapat perolehan 303 suara, jauh meninggalkan Nixon yang hanya mendapat 219 suara.

Baca juga artikel terkait DEBAT CAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Politik
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Windu Jusuf