Menuju konten utama
Debat Cawapres 2019

Debat Cawapres yang Minim Debat

Selama dua jam lebih berada di panggung Debat Cawapres 2019, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno kebanyakan ceramah, minim debat.

Debat Cawapres yang Minim Debat
Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno saat Debat Ketiga Pilpres di Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/3/2019). Keduanya saling menjaga diri sehingga apa yang disebut

tirto.id - Debat cawapres pada 17 Maret 2019 untuk pertama kali mempertemukan Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno. Debat kali ini bisa disebut bukan debat. Sepanjang pengamatan selama debat, kami hanya menangkap dua momen yang bisa disebut perdebatan. Selebihnya, masing-masing calon wakil presiden hanya monolog tentang program-programnya yang juga tidak baru-baru amat.

Ketika diberi kesempatan menanggapi, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno jarang menggunakannya untuk benar-benar berdebat melainkan hanya bercerita tentang apa yang ingin mereka lakukan. Seperti menonton kampanye dua kubu dalam waktu bersamaan.

Perdebatan pertama baru terjadi di segmen ke-2 ketika keduanya menjawab pertanyaan panelis tentang tema pendidikan.

"Sementara ini memang dana riset terbagi di kementerian dan lembaga. Tetapi nanti akan kita satukan supaya menjadi satu koordinasi dan akan kami bentuk Badan Riset Nasional," ujar Ma’ruf Amin menjawab pertanyaan soal komitmen untuk peningkatan riset.

"Menambah jumlah lembaga yang menangani bidang riset, menurut pemahaman kami nyuwun sewu Pak Kiai, menambah juga birokrasi," bantah Sandi.

“Badan Riset Nasional bukan menambah lembaga-lembaga tapi mengefisienkan lembaga, menyatukan lembaga-lembaga yang ada menjadi satu lembaga yang menangani riset, karena itu penanganan riset menjadi lebih efektif,” jawab Ma’ruf.

Perdebatan kembali terjadi dalam sesi Debat Terbuka di segmen empat ketika ada pertanyaan soal "sedekah putih" dari Ma’ruf ke Sandi. Pertanyaan yang tentu sudah disiapkan sejak sebelum debat. Selama debat berjalan, Ma’ruf memang tampak berkali-kali melihat contekan.

Sedekah putih adalah salah satu program dari Prabowo-Sandi untuk mengatasi stunting. Ma’ruf sempat bilang bahwa program ini tidak tepat sebab membuat orang-orang salah sangka. Banyak yang mengira sedekah susu diberikan setelah ibu selesai menyusui, padahal gizi 1.000 hari pertama sejak kehamilanlah yang paling penting. Intinya, menurut Ma’ruf, program itu tidak relevan untuk memerangi stunting.

Sandi menjawab pertanyaan Ma’ruf dengan berbagi cerita tentang istrinya yang ASI-nya tidak lancar ketika menyusui anak bungsu mereka—Sulaiman. Istri Sandi tentu saja tak butuh sedekah susu. Sandi sebenarnya ingin bilang, sedekah putih ini akan berguna bagi para ibu yang tidak bisa memberikan ASI karena kondisi tertentu.

“Banyak sekali anak-anak seperti Sulaiman dan ibu-ibu yang lain juga mengalami kasus serupa dan di situlah kami ingin mengajak para kontributor, yang bisa menyediakan susu,” katanya.

Dari total empat pertanyaan panelis dan dua sesi debat terbuka, Ma’ruf dan Sandi hanya berdebat di dua topik itu, lembaga riset dan sedekah putih. Tiap ada kesempatan untuk membantah, keduanya lebih sibuk melanjutkan ceramahnya sendiri ketimbang menanggapi lawan debatnya.

Infografik HL Debat Cawapres

Infografik HL Debat Cawapres

Sandi Bicara Lebih Banyak

Dibandingkan dengan Ma’ruf Amin, Sandiaga Uno bicara lebih banyak dalam waktu yang relatif sama. Dalam dua jam itu, Sandi mengeluarkan 3.555 kata, sementara Ma’ruf hanya 2.612 kata. Tempo bicara Sandi memang terdengar lebih cepat dibandingkan Ma’ruf. Usia mereka memang terpaut 27 tahun.

Pada semua pertanyaan dan segmen, Ma’ruf selalu bicara lebih sedikit dibandingkan Sandi. Saat penyampaian visi misi, misalnya, Sandi bisa menggunakan waktu 4 menit untuk 415 kata, sementara Ma’ruf hanya 261 kata.

Keduanya punya kata kunci berbeda, kata terbanyak yang disebut Sandi, selain kata ganti dan kata hubung, adalah "pendidikan", sementara Ma’ruf kerap menyebut "kartu"; kartu kuliah, kartu sembako murah, kartu para kerja.

Pada segmen kedua, ada empat pertanyaan, masing-masing soal pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan budaya. Tiap pertanyaan, kandidat punya total waktu 3,5 menit untuk menjawab dan menanggapi.

Sepanjang empat sesi pertanyaan itu, Ma’ruf tidak pernah bisa mencapai 300 kata dalam satu sesi, paling tinggi hanya bicara 283 kata. Sementara Sandi selalu lebih dari 300 kata, bahkan saat tema pembahasan soal ketenagakerjaan, ia bicara 386 kata.

Pada segmen debat terbuka pun jumlah kata yang diutarakan Ma’ruf kalah jauh dari Sandi. Dari dua babak debat terbuka, Sandi bicara 1.635 kata, sementara Ma’ruf hanya 1.064 kata. Di bagian penutup, Sandi bisa bicara 414 kata sedangkan Ma’ruf hanya 270 kata.

Kata kunci yang dipakai keduanya dalam menjawab pertanyaan pada segmen kedua kerap berbeda. Saat bicara tentang pendidikan, Ma’ruf banyak menyebut riset, dana, dan lembaga. Sedangkan Sandi kerap menyebut teknologi dan inovasi, selain kata riset.

Di bidang kesehatan, kata-kata yang sering diucapkan Ma’ruf adalah pemerintah, asuransi, kesehatan, preventif. Sementara Sandi menyebut kata layanan, sistem, kesehatan, dan rujukan.

Ketika membahas soal isu ketenagakerjaan, kata kunci kedua cawapres jauh berbeda. Ma’ruf banyak bicara soal infrastruktur dan mengeluarkan istilah baru: infrastruktur langit yang merujuk pada infrastruktur internet, Palapa Ring.

Sandi lebih banyak mengkritisi; kata-kata yang sering dia ucapkan adalah pengangguran, muda, dan kerja.

Saling Meniru antar-Cawapres

Sandi mempopulerkan singkatan OKE-OCE dalam debat Pilkada Jakarta 2017. Dalam debat kali ini, Ma’ruf tak mau kalah. Ia juga mengeluarkan singkatan baru, DUDI—Dunia Usaha, Dunia Industri.

Sepanjang debat, Ma'ruf menyebut empat kali kata DUDI. Ia juga beberapa kali meminjam tagar dan istilah #10YearChallenge sebagai tanda bahwa ia tak ketinggalan hal-hal yang dekat dengan Generasi Milenial.

Sebaliknya, Sandi terlihat ingin menyaingi Ma’ruf dengan mengutip kata-kata dalam bahasa Arab. Salah satunya, “Kita pastikan Indonesia adil baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur [negeri yang subur & makmur, adil & aman].”

Sandi juga mencitrakan diri sebagai sosok yang santun dan menghormati ulama. Ia selalu menggunakan kata ganti “Pak Kiai” ketika menyebut Ma’ruf. Saat harus membantah argumen Ma’ruf pun, ia meminta izin menggunakan bahasa Jawa halus, “Nyuwun sewu, Pak Kiai...”

Baca juga artikel terkait DEBAT CAWAPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Politik
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Fahri Salam