tirto.id - Di banyak tempat kerja, perempuan bekerja bukan hanya dengan tenaga, tetapi dengan tubuh dan rasa takut yang harus mereka telan diam-diam. Setiap pagi mereka berangkat dengan membawa harapan sederhana: bisa pulang dengan selamat, membawa upah secukupnya, dan menjaga harga diri tetap utuh. Tetapi, dunia kerja kerap mengkhianati harapan itu.
Kekerasan berbasis gender masih tumbuh liar di tempat kerja. Sepanjang tahun 2024, Komnas Perempuan mencatat adanya 2.060 kasus kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di tempat kerja. Ini adalah jumlah kasus tertinggi setelah kasus kekerasan di ruang publik. Tentu saja angka-angka itu tak mampu memuat seluruh cerita yang berserakan di lantai-lantai pabrik, di ruang-ruang kantor, di lapangan-lapangan proyek, dan di rumah pemberi kerja.
Di sela kerja yang tanpa henti, ada tangan-tangan jahil yang mencari celah. Ada ucapan-ucapan kotor yang menyamar sebagai canda. Ada kekuasaan yang digunakan untuk mengancam, merendahkan, menundukkan, dan merenggut tubuh perempuan pekerja.
Kekerasan itu juga tidak selalu berupa sentuhan paksa. Ia juga menjelma dalam kebijakan yang tidak adil: sering kali perempuan yang hamil dipaksa memilih antara pekerjaan atau kandungannya, tidak ada cuti haid, cuti melahirkan dipersulit, hak menyusui dicibir dan diabaikan, serta jam kerja yang panjang memaksa perempuan pekerja meninggalkan bayinya lebih lama dari yang sanggup mereka relakan.
Upah perempuan pun bicara dalam diam: lebih rendah, lebih kecil, lebih murah. Seolah-olah kerja perempuan hanya pantas dihargai setengah dari kerja lelaki, meski peluh yang menetes sama asin dan beban yang dipikul sama berat. Belum lagi tugas-tugas rumah tangga yang tidak ditanggung bersama masih menanti di rumah mereka. Semua itu terjadi di depan mata, tetapi sering kali diabaikan begitu saja. Dan serikat pekerja—benteng terakhir yang diharapkan pekerja—tak jarang juga ikut bungkam.
Rumah bagi Perempuan Pekerja
Serikat pekerja lahir dari rahim ketidakadilan. Mereka adalah rumah bersama yang dibangun untuk melawan penindasan dan memperjuangkan hak-hak para pekerja yang diperas tenaganya. Tetapi hari ini, serikat pekerja harus bertanya pada diri sendiri: apakah mereka sudah benar-benar menjadi rumah yang melindungi perempuan pekerja?
Sering kali agenda perjuangan serikat berhenti pada upah dan jam kerja tanpa secara serius memperjuangkan hak upah yang layak dan adil bagi perempuan pekerja, pemenuhan terhadap hak maternitas, dan sikap tegas untuk menentang segala bentuk kekerasan seksual. Padahal, kekerasan berbasis gender di tempat kerja adalah luka yang menggerogoti kekuatan kelas pekerja dari dalam. Tempat kerja yang membiarkan perempuan hidup dalam ketakutan adalah tempat kerja yang gagal menjadi ruang aman manusia.
Di banyak tempat, perempuan pekerja masih berjuang sendirian. Dengan suara yang kecil, dengan tenaga yang nyaris habis, dengan luka yang disembunyikan di balik seragam kerja. Sedangkan di beberapa belahan dunia, serikat pekerja mulai berbenah. Mereka mereorientasi kekuatan kolektif untuk melindungi perempuan pekerja dari kekerasan berbasis gender di dunia kerja. Mereka menghendaki dunia kerja yang adil, aman, dan layak bagi seluruh pekerja termasuk perempuan pekerja.
Di Argentina, Federasi Guru FUDB menandatangani perjanjian dengan pihak berwenang di Buenos Aires untuk mencegah, melindungi, dan memberikan ganti rugi atas tindakan kekerasan di tempat kerja. Di Khazakhstan, Federasi Serikat Buruh Republik Kazakhstan mempromosikan kebijakan tanpa toleransi terhadap kekerasan berbasis gender untuk semua pekerja dan afiliasinya. Sedangkan di Zimbabwe, perjanjian kolektif di sektor tekstil, transportasi, dan layanan publik telah memasukkan klausul tentang kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan di dunia kerja.
Penting bagi serikat pekerja untuk lebih dulu memastikan jika mereka telah menanggalkan budaya patriarki. Memastikan jika mereka menempatkan perempuan pekerja sebagai bagian dari kelas pekerja secara utuh dan menjadikan permasalahan perempuan pekerja sebagai masalah bersama.
Meminjam istilah Nancy Fraser, serikat pekerja harus memastikan terwujudnya keadilan bivalen, yakni redistribusi ekonomi dan pengakuan sosial-politik khususnya bagi perempuan pekerja. Dengan begitu serikat pekerja dapat menjadi rumah bagi seluruh pekerja tanpa memandang perbedaan gender dan latar belakang apapun.
Agenda Mendesak
Salah satu agenda krusial bagi serikat pekerja di Indonesia saat ini adalah mendorong ratifikasi Konvensi Anti Kekerasan dan Pelecehan ILO Nomor 190. Konvensi ini mengakui hak setiap orang atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender. Meskipun memang belum sempurna, konvensi ini menjadi penting sebagai standar minimum untuk melindungi perempuan pekerja di semua sektor.
Serikat pekerja harus mengambil alih peran aktif untuk ini. Dalam laporan yang dirilis oleh International Trade Union Confederation (ITUC) sepanjang tahun 2022-2023, selain mendorong ratifikasi konvensi ILO 190, serikat pekerja di berbagai negara yang telah meratifikasi konvensi itu melakukan berbagai macam aksi dan advokasi untuk memastikan konvensi diterapkan dengan baik.
Serikat pekerja memfokuskan diri untuk melakukan dialog dan negosiasi dengan pemerintah serta perusahaan, menyelenggarakan pelatihan pencegahan kekerasan dan pelatihan seksual untuk anggota serikat, memperluas kampanye publik untuk menentang kekerasan dan pelecehan seksual, dan mendorong anggota serikat pekerja perempuan terus memimpin perjuangan untuk tempat kerja yang setara gender dan bebas kekerasan.
Namun, laporan ITUC juga menerangkan jika perkembangan positif ini terjadi bersamaan dengan peningkatan pelanggaran hak-hak dasar pekerja di banyak negara, yang menghambat upaya penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Pembatasan terhadap hak berserikat, mogok, dan melakukan demonstrasi menjadi hambatan serius bagi serikat pekerja. Dengan begitu, perjuangan serikat pekerja harus bersifat politis sebagai sebuah prasyarat: menjaga tegaknya demokrasi untuk memastikan hak dasar mereka terpenuhi.
Serikat buruh harus menjadi rumah bagi perempuan pekerja. Mereka harus menjadi motor utama untuk melawan kekerasan dan membangun dunia kerja yang adil. Di dunia kerja yang kita perjuangkan, tidak seorang pun—laki-laki atau perempuan—boleh bekerja dengan rasa takut yang menggantung di pundaknya.
Penulis adalah alumni College of Population Policy, Chulalongkorn University, Thailand. Saat ini menjadi Pekerja HAM dan Peneliti Tamu Gender dan Ketenagakerjaan di Lingkar Kajian Kolaboratif Jawa Tengah.
Editor: Zulkifli Songyanan
Masuk tirto.id


































