Menuju konten utama

Daripada Oposisi Cuma Minoritas, Jokowi Sebaiknya Rangkul Semua

Jokowi disarankan merangkul semua parpol masuk koalisi pemerintah. Sebab, oposisi minoritas di parlemen hanya sekadar formalitas, tanpa memberikan dampak yang signifikan.

Daripada Oposisi Cuma Minoritas, Jokowi Sebaiknya Rangkul Semua
Jokowi-Prabowo Bertemu di MRT Sabtu 13/7/2019. tirto.id/Andrey Gromicko

tirto.id - Presiden terpilih Joko Widodo disarankan merangkul semua partai politik agar bergabung dalam koalisi pemerintah. Alasannya, jika hanya Partai Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang menjadi oposisi, justru dinilai tidak akan efektif karena suaranya minoritas di parlemen dan sekadar formalitas.

Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan, jika bicara kuantitas, maka oposisi akan selalu kalah dalam hal pengambilan keputusan karena memang jumlah kursinya yang kalah banyak dari koalisi pendukung pemerintah.

“Bila empat partai voting, ya tetap saja empat-empatnya tetap kalah kelompok oposisi di parlemen,” kata Karyono saat dihubungi reporter Tirto, pada Selasa (16/7/2019).

Daripada hanya sekadar formalitas, Karyono menilai akan lebih menarik bila Jokowi merangkul semua partai menjadi bagian dari koalisi, tanpa adanya oposisi. “Sebagai eksperimen politik, saya kira menarik, apakah ini berhasil atau tidak, ya perlu eksperimen politik juga,” kata Karyono.

Sebab, kata Karyono, meski Jokowi merangkul semua parpol, tentu bukan berarti tak akan ada pengawasan sama sekali terhadap semua kebijakan pemerintah. Apalagi, pengawasan juga bisa dilakukan masyarakat di luar parlemen.

“Seandainya semua partai dirangkul, ini tercatat dalam sejarah bahwa Pak Jokowi bisa menyatukan seluruh kekuatan politik dan tak ada oposisi. Dia akan mengukir sejarah itu. Ya baik-baik saja sih, cuma yang jadi kontrol di parlemen lemah, nyaris zero persen,” tutur dia.

Empat partai yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hingga saat ini memang menentukan sikap resmi. Mereka masih abu-abu apakah akan menjadi oposisi atau bergabung dalam koalisi pendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Dari empat partai yang masuk ke parlemen, hanya Gerindra dan PKS yang sampai saat ini terlihat konsisten untuk menjadi oposisi. Sementara dua lainnya, yaitu PAN dan Partai Demokrat masih terlihat bingung dalam menentukan sikap.

Jokowi pun telah mempersilakan agar ada oposisi di pemerintahan periode keduanya nanti. Ia bahkan mengatakan menjadi oposisi merupakan hal yang mulia. Dalam pidato soal “Visi Indonesia” pada acara Syukuran Nasional 2019 di Sentul, Minggu 14 Juli 2019, dia menuturkan bahwa mendukung 'mati-matian' kandidat presiden boleh saja dilakukan.

Mantan gubernur DKI Jakarta itu bilang mendukung dengan militansi juga diperbolehkan, namun yang dilarang adalah menimbulkan dendam dan kebencian.

“Mendukung mati-matian kandidat boleh, dukung dengan militansi boleh. Menjadi oposisi itu juga mulia," kata Jokowi di atas panggung.

Peluang PKS dan Gerindra Jadi Oposisi

Jika benar PKS dan Gerindra memilih jalan oposisi, maka kekuatan oposisi di parlemen tak akan efektif dalam melawan dominansi pendukung pemerintah. Soal kekuatan di parlemen ini pun juga dipahami Ketua DPP PKS Ledia Hanifa Amalia, bahwa secara kuantitatif mereka memang kalah.

"Kalau dilihat petanya gimana? Ya sudah kelihatan kan," ujar Ledia di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2019).

Namun, ia optimistis PKS dan Gerindra bakal memberikan kritik yang berguna dan bermanfaat bagi pemerintah. Menurut dia, bagi PKS, kekuatan oposisi bukanlah soal angka semata, melainkan bagaimana fungsi kritik dan pengawasan untuk pemerintah dapat dilakukan dengan optimal dan berkualitas.

“Bukan soal angka, tapi harus ada fungsi check and balances dalam pemerintahan harus ada itu," ucap Ledia.

Ia pun mencontohkan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang berterima kasih kepada Fraksi PKS saat menyampaikan pandangan pemerintah soal laporan pertanggungjawaban APBN 2018.

“45 kali beliau menyebut masukan dari Fraksi PKS, dan 6 di antaranya sepakat dengan pandangan PKS," ucap Ledia.

Untuk itu, kata Ledia, mau di mana pun posisinya, PKS tetap akan mengkritik segala kebijakan pemerintah yang dianggapnya tak berpihak kepada masyarakat.

"Di periode ini kami sudah membuktikan dan di periode yang akan datang kami konsisten akan itu,” kata ledia menambahkan.

Sementara itu, Ketua PDIP Andreas Hugo Pareira mengatakan, partainya sebagai pengusung utama Jokowi-Ma'ruf menyarankan agar PKS, Gerindra, bahkan PAN dan Demokrat tetap menjadi oposisi.

Sebab, kata Andreas, oposisi dibutuhkan untuk menjalankan fungsi pengawasan dan tentunya menjadi penyeimbang pemerintahan.

"Ya soal terbuka, tertutup itu wilayah di dalam antar-partai, tapi yang pasti adalah menjadi partai di luar pemerintahan, partai penyeimbang itu suatu kebutuhan," ujar Andreas di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (16/7/2019).

Andreas menjelaskan dalam dinamika politik dibutuhkan partai politik yang menampung aspirasi publik. Sebab, tak semua masyarakat pada Pemilu 2019 memilih Jokowi-Ma'ruf, sehingga dibutuhkan parpol yang memang bisa menampung aspirasi masyarakat yang tak memilih calon petahana ini.

“Ini, kan, butuh kanalisasi dan kanalisasi politik dalam suatu sistem yang demokratis itu adalah melalui partai-partai di luar pemerintahan yang ada di DPR," jelas Andreas.

Karena itu, Anggota Komisi I DPR RI itu menegaskan bahwa oposisi sangat dibutuhkan oleh Jokowi untuk menampung aspirasi-aspirasi yang berbeda dengan kebijakan pemerintah.

“Ketika ada perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat, nah di situ lah fungsi penyeimbang untuk menyampaikan aspirasi dari mereka yang waktu itu tidak memilih Pak Jokowi,” kata Andreas.

Oposisi Bisa Jadi Modal Pemilu 2024

Peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar menilai oposisi harus ada meski nantinya hanya ada dua partai politik yang berperan di luar pemerintahan. Menurut dia, demi tata pemerintahan demokrasi yang baik, parpol oposisi dibutuhkan untuk mengawasi kebijakan pemerintah dan melakukan kritik-kritiknya.

Meski hanya dua, kata Rully, oposisi sangat diperlukan untuk menampung aspirasi masyarakat yang tak mendukung Jokowi dan pasti berefek pada ketidaksukaan mereka pada setiap kebijakan pemerintahan Jokowi.

"Pemilih Prabowo pasti tak suka Jokowi sehingga mereka harus bisa menampung aspirasi yang mengkritik kebijakan pemerintah," jelaw Rully kepada reporter Tirto, Selasa (16/7/2019).

Rully mengatakan, pemilih Prabowo juga pasti akan kecewa bila nantinya PKS ataupun Gerindra menyeberang ke barisan pendukung pemerintah. Apalagi, PKS dan Gerindra pun harus memikirkan peluangnya pada Pemilu 2024.

Menurut Rully bila konsisten sebagai oposisi, PKS dan Gerindra tak akan ditinggalkan pemilih loyalnya. “Ya ini modal berikutnya karena sebagai oposisi mereka sudah kuat," kata Rully.

Untuk itu, kara Rully, agar peran mereka sebagai oposisi efektif, maka PKS dan Gerindra harus bisa meyakinkan masyarakat untuk menampung aspirasi mereka bila ada kebijakan pemerintahan Jokowi yang tak pro-rakyat. Kepercayaan masyarakat inilah yang bisa membuat peran mereka sebagai oposisi dinilai efektif.

“Ketika mereka berhasil membangun masyarakat untuk menolak kebijakan ya mereka akan dapatkan suara atau keuntungan sendiri sebagai oposisi politik. Jadi harus ada solusi alternatif yang objektif bukan subjektif," pungkas Rully.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Politik
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Abdul Aziz