tirto.id - Politik pasca-Pemilu 2019 adalah perkara hitung-hitungan kursi di antara para pemenang. Sejumlah partai pendukung Joko Widodo seperti Nasdem dan PKB bahkan terang-terangan menyebut jumlah kursi menteri yang mereka inginkan.
Lantas terjadilah pertemuan antara Jokowi dan Prabowo Subianto, Sabtu (13/7/2019) pekan lalu. Pertemuan ini ditafsirkan banyak pihak sebagai sinyal bahwa Gerindra siap masuk ke dalam barisan pendukung pemerintah untuk lima tahun ke depan. Tentu partai-partai lain tak senang mendengar kabar ini.
Kekhawatiran ini di satu sisi wajar karena Gerindra adalah partai dengan perolehan suara kedua terbesar. Yang memilih mereka pada Pileg 2019 sebanyak 17.594.839 suara atau setara 12,57 persen. Mereka hanya terpaut satu peringkat di bawah PDIP dengan total suara 27.053.961 (19,33 persen) dan unggul satu peringkat di atas Golkar yang memperoleh 17.229.789 suara (12,31 persen).
Kekuatan Gerindra tentu tak bisa begitu saja diabaikan oleh Jokowi selaku presiden terpilih. Bergabungnya Gerindra akan membuat pemerintahan makin stabil karena suara oposisi yang semakin menciut.
Diplomatis
Partai-partai di luar PDIP di kelompok Jokowi memang tidak secara eksplisit menunjukkan ketidaksukaan mereka terhadap kemungkinan ini. Yang lebih sering muncul adalah dorongan agar menteri-menteri dipilih dari partai koalisi saja. Toh Jokowi tak akan kekurangan kandidat bagus.
Hal ini misalnya diungkapkan Nasdem, partai yang dibesarkan oleh taipan media Surya Paloh yang pada pileg lalu berada di peringkat ke-5 dengan perolehan suara lebih dari 12 juta atau setara 9,05 persen.
"Sejalan dengan pendapat yang disampaikan oleh Presiden bahwa kerja sama membangun negara jangan dianggap dan diartikan harus ada di kabinet," kata Sekjen Nasdem Johnny G Plate di kompleks Senayan, Jakarta.
Johnny menekankan bahwa sosok yang dicari Jokowi mudah ditemukan dalam koalisi saat ini. "Saat ini, koalisi Jokowi-Ma'ruf ini diisi oleh tokoh-tokoh profesional yang sangat banyak."
Komentar bernada keberatan juga datang dari PKB, juara empat pileg dengan perolehan suara 13 juta lebih. Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar, mengatakan: "pada dasarnya koalisi 01 ini sudah gemuk [...] Sementara yang ada saja."
Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto juga menjawab diplomatis. Dia bilang di Golkar banyak kader-kader kompeten yang dapat mengisi jabatan-jabatan menteri. Meski begitu, Airlangga bilang pada akhirnya semua diserahkan ke Presiden.
"Soal berapa [kursi], tergantung Pak Presiden," kata Airlangga usai rapat dengan DPR RI Komisi VI di Kompleks Senayan.
Belum Pasti
Sejauh ini 'ketakutan' partai-partai pendukung Jokowi memang belum jadi nyata. Jokowi belum membicarakan apa-apa kecuali bahwa pembantunya nanti mesti "pemberani." Arah politik Gerindra juga masih abu-abu. Ketua DPP Gerindra Sodik Mudjahid bahkan melontarkan pernyataan bahwa pertemuan Jokowi-Prabowo tak bisa serta-merta diartikan tak bakal lagi jadi oposisi.
"Pertemuan itu bukan berarti kami gabung dalam koalisi," kata Sodik. Toh, katanya, Gerindra dan partai pendukung Prabowo lain tetap bisa bekerja sama mesti ada di luar kabinet. "Bekerja sama dalam pengertian luas: membangun bangsa. Jangan diartikan bekerja sama dalam artian sempit."
Sodik menjelaskan, cukup banyak yang Gerindra pertimbangkan sebelum memilih sikap politik. Dari mulai menjaga basis suara pendukung hingga kesamaan visi dan misi dengan pemerintah terpilih.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Demokrasi dan Partai Politik Dedi Kurnia Syah Putra, memilih jadi oposisi adalah pilihan paling masuk akal bagi Gerindra. Soalnya, Gerindra justru akan merugi jika gabung ke Jokowi.
"Publik tentu akan kehilangan simpati dengan Gerindra. Pendukung Prabowo tidak sedikit," kata Dedi kepada reporter Tirto. Berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jokowi-Ma'ruf memperoleh 85.607.362 suara di Pilpres 2019, sementara perolehan Prabowo-Sandiaga mencapai 68.650.239 suara.
Selain itu, jika Gerindra merapat ke petahana--sebagaimana yang mungkin dilakoni partai lain seperti PAN dan Demokrat--mereka juga sangat mungkin ditentang partai pendukung Jokowi lain. Alasannya jelas: tak setetes pun keringat menetes dari Gerindra untuk kemenangan Jokowi. Partai ini bahkan jadi motor utama koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga.
"Paling tidak mereka (partai pendukung Jokowi) tidak akan memudahkan Gerindra masuk," pungkas Dedi.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino