Menuju konten utama

Beratnya Gerindra Kembali Jadi Oposisi Minoritas di Parlemen

Gerindra kemungkinan besar akan jadi oposisi bersama PKS. Dua partai ini akan jadi minoritas di parlemen.

Beratnya Gerindra Kembali Jadi Oposisi Minoritas di Parlemen
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto memberikan keterangan kepada wartawan usai melakukan pertemuan dengan pimpinan partai Gerindra, PAN dan PKS di Jakarta, Selasa (31/7/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Di saat sebagian partai yang tergabung dalam koalisi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno merapat ke petahana, misalnya PAN dan Demorat, Gerindra condong memilih sisi seberangnya. Dewan Penasihat DPP Gerindra Raden Muhammad Syafi'i mengatakan kemungkinan besar Gerindra jadi oposisi.

"Saya kira seperti itu [condong oposisi]. Bahwa kader Gerindra dan pemikir demokrasi pasti menginginkan Gerindra tetap pada oposisi," kata Syafi'i di Kompleks DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Senin (1/7/2019).

Menurut Syafi'i, demokrasi hanya akan berjalan dengan baik jika terpenuhi dua unsur: pemerintah dan oposisi. Ini memungkinan check and balance--mekanisme yang meminimalisir kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh pemenang.

Syafi'i lupa satu hal: demokrasi yang baik tidak hanya mensyaratkan ada oposisi, tapi oposisi itu mesti punya kekuatan yang relatif setara dengan penguasa. Ini yang tidak dimiliki Gerindra, juga partai lain yang sudah condong memilih sebagai oposisi dan lolos ke parlemen, PKS.

Jika benar Demokrat dan PAN merapat ke petahana, maka tujuh dari sembilan partai yang lolos ke Senayan--dengan total kursi mencapai 447--ada dalam satu kubu. Sementara PKS dan Gerindra hanya menguasai 128 kursi. Jika suatu keputusan mesti lewat voting, maka oposisi jelas akan kalah.

Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan dengan komposisi yang demikian, akan sulit bagi Gerindra (yang memperoleh 78 kursi) untuk memengaruhi kebijakan tertentu yang diputuskan oleh DPR RI. Pun jika suara mereka bulat bersama PKS. Kecuali, kata Lucius, keduanya menggalang kekuatan tambahan, termasuk dari luar parlemen.

"Bisa dengan melobi parpol koalisi dalam isu-isu tertentu, bisa juga dengan mencari dukungan publik," kata Lucius kepada reporter Tirto, Senin (1/7/2019).

Lucius bilang kekuatan oposisi memang pada dasarnya bukan pada perolehan kursi di legislatif, tapi pihak-pihak di luar itu.

"Sesungguhnya kekuatan oposisi justru pada kedekatan dengan rakyat yang cenderung akan dipinggirkan oleh pemerintah dalam proses pembuatan kebijakan. Kebjiakan pemerintah yang tidak pro rakyat mestinya menjadi modal oposisi untuk memengaruhi keputusan di parlemen," terangnya.

Dan PKS serta Gerindra sudah punya modal untuk itu. Berkaca pada pengalaman Pilkada DKI dan Pilpres 2019, mereka dekat dengan kelompok 212--kelompok yang pertama-tama dibentuk untuk melawan bekas Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok alias BTP dalam kasus penistaan agama.

Selain perkara sulit bertarung di parlemen, menjadi oposisi juga sesungguhnya menutup potensi pemasukan kas. Lucius bilang, salah satu sumber pendanaan partai adalah duit-duit ilegal yang diambil dari negara.

"Ini yang konon menjelaskan kenapa parpol lebih tertarik menjadi bagian koalisi," terangnya.

Jika Gerindra ingin tetap mempertahankan partainya, maka mereka harus mendapatkan sumber dana lain. Itu misalnya dapat diperoleh dari kader partai yang menjadi pejabat di daerah-daerah.

"Yang jelas ada kebutuhan akan dana yang cukup besar dalam mempersiapkan mesin parpol menuju pemilu berikutnya. Semua partai termasuk Gerindra punya tantangan untuk bisa menghidupi partai agar siap bertarung lagi di 2024."

Tetap Optimis

Muhammad Syafi'i merasa pernyataan Lucius soal kekuatan oposisi terlalu pesimistis. Dia punya pandangan sebaliknya: meski minoritas, Gerindra dapat memengaruhi setiap pengambilan keputusan di DPR dan kebijakan pemerintah.

"Ya [optimis]. Enggak ada masalah [koalisi minoritas]," katanya kepada reporter Tirto, Senin (1/7/2019).

Syafi'i mengatakan jika memang kalah, setidaknya Gerindra berhasil menjalankan demokrasi yang sehat.

"Sama seperti kami kemarin walk out soal Presidential Threshold yang jelas bertentangan dengan Pasal 6 UUD 1945. Saat voting kami kalah. Tapi paling tidak sejarah mencatat bahwa Gerindra tidak setuju, mengoreksi Presidential Threshold karena bertentangan dengan UUD," akunya.

Syafi'i juga tidak setuju soal anggapan bahwa partai yang tidak bergabung ke penguasa akan sulit memperoleh pemasukan. Dia bahkan tidak khawatir akan itu, berkaca pada pengalaman pemilu kemarin.

"Biasanya masyarakat yang dibayar, tapi sebaliknya. Di mana-mana Prabowo-Sandi kampanye bawa pulang uang dari masyarakat. Jadi menurut kami, mengukur kekuatan demokrasi dengan uang itu keliru," katanya.

Syafi'i hanya sepakat poin relasi dengan kelompok lain di luar parlemen. Dia memastikan Gerindra memang akan semakin sering berkomunikasi dengan masyarakat, termasuk memberikan pendidikan politik kepada mereka.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2019 atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino