Menuju konten utama
25 Juli 1978

Dari Cawan Petri ke Rahim: Kelahiran Louise Joy Brown, Bayi Tabung

Eksperimen bayi tabung awalnya dilarang parlemen dan dikutuk gereja. Kini jadi harapan pasangan tak subur.

Dari Cawan Petri ke Rahim: Kelahiran Louise Joy Brown, Bayi Tabung
Ilustrasi Mozaik Bayi Tabung. tirto.id/Quita

tirto.id - “Kata orang-orang sih ada kesalahan ketika dia masih berada di dalam botol—ada yang memasukkan alkohol ke dalam darah penggantinya karena dia dikira jenis Gamma. Makanya dia jadi pendek begitu.” (Aldous Huxley, Brave New World, 1932, hlm. 39).

Itulah penggalan obrolan dalam novel Aldous Huxley, yang menghadirkan sebuah dunia baru dengan konsep keluarga, hubungan seks, dan teknologi reproduksi di masa depan yang sulit bisa dibayangkan pada masanya. Detailnya luar biasa. Bayi-bayi tak lagi dilahirkan, tapi dibiakkan pada media penetasan dengan botol-botol berbaris seperti di pabrik.

Dua tahun setelah Brave New World terbit, Dr. Gregorius Pincus melakukan percobaan pembiakan di luar tubuh makhluk hidup seperti di novel Huxley. Pada 1934, ia bersama EV Enzmann melakukan pembuahan di luar rahim induk kelinci, di laboratorium mereka di Universitas Harvard. Keberhasilan eksperimen ini dilaporkan dalam “Can mammalian eggs undergo normal development in vitro?”.“Dua bayi kelinci Inggris totol berwarna abu-abu diperoleh tiga puluh satu hari setelah transplantasi. Kami yakin bahwa keberhasilan kelahiran bayi-bayi kelinci dalam kasus ini (berbeda dengan hasil negatif yang dilaporkan sebelumnya) adalah berkat penyempurnaan secara cermat dalam prosedur eksperimen yang akan dijelaskan secara rinci di tempat lain.” (Pincus G, Enzmann EV. “Can mammalian eggs undergo normal development in vitro?” Proc Natl Acad Sci U S A. 1934 Feb;20(2):121-2).

Tetapi rupanya penelitian itu demikian kontroversial sehingga Harvard pun memecat Pincus. Pada 1950-an, peneliti lain di New York melanjutkan eksperimen tersebut menggunakan protokol yang sama seperti di laboratorium Pincus. Seorang peneliti Inggris, Dr. Robert G. Edwards, yang sedang melakukan kunjungan singkat di rumah sakit Johns Hopkins di Baltimore, untuk pertama kalinya melakukan eksperimen pembuahan in vitro (IFV, in vitro fertilization) pada sel telur manusia pada 1965. Edwards telah memulai eksperimen in vitro sejak 1955 sebagai penelitian doktoralnya di Edinburgh dengan embrio tikus. Begitu kembali ke Inggris, Edwards melanjutkan eksperimen lagi dengan protokol Pincus. Ia bereksperimen menggunakan berbagai sel telur mamalia, termasuk manusia, dan setelah dua tahun baru berhasil membuat sel telurnya matang. Keberhasilan itu merupakan masa depan pembuahan in vitropada manusia (Edwards, RG., “The bumpy road to human in vitro fertilization”, Nature Medicine, Vol. 7 No. 10, Oktober 2001, hlm. 1091-1092).

Edwards memerlukan bantuan seorang mitra dokter klinis. Ia menemukannya setelah membaca laporan prosedur laparoskopi (operasi minim sayatan untuk mengakses bagian dalam perut atau panggul) Dr. Partick Steptoe, seorang dokter kandungan yang berpraktik di sebuah rumah sakit umum daerah di Oldham, Manchester. Sejak 1968, mereka berdua bergabung sebagai tim peneliti pembuahan in vitro pada manusia. Pada 1969, makalah pertama mereka melaporkan tantangan-tantangan yang dihadapi di lab. Mereka berargumen bahwa kesulitan pematangan embrio manusia dapat diatasi ketika syarat-syarat yang diperlukan untuk melakukan pematangan in vitro dapat dipahami lebih baik. Di makalah ini, mereka juga menyatakan bahwa keberhasilan prosedur ini akan berguna untuk menangani pasien dengan masalah ketidaksuburan. (Edwards, RG, Bavister, BD, & Steptoe, PC. “Early Stages of Fertilization in vitro of Human Oocytes Matured in vitro”, Nature, 221(5181), 1969, hlm. 635).

Penelitian Edwards dan Steptoe mendapat reaksi keras terutama dari gereja dan pakar etik. Reaksi makin kencang ketika pada 1972, Steptoe untuk pertama kalinya memasukkan sel telur yang sudah dibuahi ke dalam rahim perempuan. Tidak satu pun dari sekitar 30 perempuan dalam penelitiannya berhasil melewati kehamilan trimester pertama. Pendanaan pun dicabut setelah parlemen meminta penelitian dihentikan. Edwards dan Steptoe dituduh hanya akan menghasilkan bayi-bayi cacat dan dianggap terlalu jauh mengambil peran Tuhan.

Syukurnya tak semua kalangan gereja bereaksi demikian. Seorang pakar etika senior dari Gereja Inggris, Gordon Dunstan, pada 1974 menulis The Artifice of Ethics dengan empat bab khusus menganalisis pembuahan in vitro. Dukungan dari keuskupan di Georgia pun menyusul. Setelah pada akhirnya berhasil mendapat persetujuan etik, otoritas Oldham menyulap sebuah rumah sakit kecil menjadi laboratorium mereka kendati Medical Research Council menolak mendanai. Steptoe membiayai sendiri penelitiannya dari praktik klinis dan dari klinik legal aborsi miliknya. Mereka berdua tanpa kenal lelah menyempurnakan teknik in vitro. Hingga akhirnya pada 1977, salah seorang pasien, Lesley Brown, hamil. (Swedin, Eric G. Science in the Contemporary World: An Encyclopedia, 2005, hlm. 83).

Nyonya Brown melahirkan putri pertama yang telah dinanti-nanti pasangan Brown selama 14 tahun pada 25 Juli 1978 lewat operasi caesar. Bayi itu diberi nama Louise Joy Brown. Ekspos media terhadap kelahiran ini menjadikannya perayaan atas terobosan sains. Katharine Dow mencatat setidaknya terdapat 140 artikel di media nasional sepanjang tahun 1978 yang menulis prosedur in vitro dan mencapai puncaknya ketika Louise Brown lahir dengan selamat. Oldham Evening Chronile, koran lokal Oldham, bahkan menulis 70 artikel atas kelahiran Louise. Daily Mail mengutip dukungan ahli ginekologi Ratu Inggris, Dr. George Pinker, dalam edisi 20 Juli 1978, beberapa hari sebelum persalinan. Media-media serempak menyebut terobosan ini sebagai harapan baru bagi pasangan tidak subur yang menginginkan buah hati. (Dow, Katharine, “‘The men who made the breakthrough’: How the British press represented Patrick Steptoe and Robert Edwards in 1978”, Reproductive Biomedicine and Society Online, 2017, No. 4, hlm. 59-67). Newsweek bahkan muncul dengan tajuk utama yang provokatif, mengingatkan pada novel dystopian Huxley, “She was born at around 11.47pm with a lusty yell, and it was a cry round the brave new world.”

Infografik Mozaik Bayi Tabung

Infografik Mozaik Bayi Tabung. tirto.id/Quita

Terobosan yang dilakukan Edwards, Steptoe, dan Jean Purdy—bidan peneliti anggota tim selama sepuluh tahun hingga kelahiran Louise Brown—membuka jalan lain dalam penelitian kesehatan, reproduksi, dan genetika. Teknik in vitro menjadikan pembuahan di cawan petri—sebenarnya sama sekali tidak menggunakan tabung—sebagai suatu praktik yang umum. Hingga 2018, setidaknya enam juta bayi lahir dengan prosedur bayi tabung ini. Kegigihan Edwards dan tim dalam penelitian ini menjadikan Inggris sebagai negara paling maju dalam embriologi, termasuk dalam hal regulasi, pengawasan, dan etik penelitian tubuh manusia. Pada 1982, pemerintah Inggris membentuk komite yang menghasilkan The Warnock Report, yang kemudian dimatangkan menjadi buku putih Human Fertilisation and Embryology Act of 1990. Dasar regulasi ini digunakan untuk mengatur kerja dan penelitian pada embrio manusia yang harus mendapat persetujuan Human Fertilisation and Embryology Authority (HFEA). Penelitian sel punca yang berkembang pada akhir abad ke-20 pun bermula dari pemahaman dan penelitian embrio manusia. “Bukan kebetulan bahwa Inggris menjadi negara pertama di dunia yang memberikan izin penelitian penyuntingan gen serta donasi mitokondrial untuk pengobatan pasien,” kata Peter Thompson, Kepala HFEA, sebagaimana dikutip The Guardian.

Atas jasanya dalam pengembangan fertilisasi in vitro, Robert G. Edwards mendapatkan Hadiah Nobel di bidang Kedokteran atau Fisiologi pada 2010. Dua anggota timnya, Patrick Steptoe dan Jean Purdy, tidak dapat berbagi Nobel karena mereka sudah lebih dulu meninggal. Edwards menyusul pada 2013. Louise Brown mengenang mereka dalam sebuah tulisan pada 2018 ketika berulang tahun ke-40, “Sayangnya, para perintis [IVF]—ayah dan ibu saya, Patrick Steptoe, Robert Edwards, dan jangan lupakan asisten mereka yang luar biasa Jean Purdy, yang terjaga sepanjang malam untuk mengawasi sel-sel yang kemudian menjadi diri saya di dalam cawan petri—semua telah meninggal. Tentu ibu saya tak pernah membayangkan hal-hal besar yang muncul setelah kelahiran saya. Selama 40 tahun, para ilmuwan mendobrak batas, ahli embriologi menemukan teknik-teknik baru, pertanyaan-pertanyaan moral pun bermunculan. IVF memainkan peran besar dalam mengubah gagasan keluarga, dan pasangan sesama jenis pun kini bisa menjadi orang tua.”

Sebagaimana diabadikan band legendaris Queen dalam lirik lagu The Miracle, “Test tube babies being born. Mothers, fathers, dead and gone. It’s a miracle” yang rilis pada 1989, kelahiran Louise Joy Brown adalah salah satu keajaiban dalam perjalanan umat manusia.

Selamat ulang tahun, Louise!

Baca juga artikel terkait BAYI TABUNG atau tulisan lainnya dari Uswatul Chabibah

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Uswatul Chabibah
Editor: Windu Jusuf