Menuju konten utama

Rahim Buatan untuk Manusia

Eksperimen janin domba yang dibesarkan di luar rahim induknya baru-baru ini, sukses bertahan selama 28 hari. Namun, Eksperimen rahim buatan sebenarnya pun bukan sesuatu yang sungguh-sungguh baru

Rahim Buatan untuk Manusia
Rahim buatan yang dikembangkan di Children's Hospital of Philadephia. Foto/EPA

tirto.id - Kaki-kaki janin domba itu bergetar pada usia 4 bulan. Setelah 107 hari tinggal di kandungan induknya, ia dipindahkan ke kantong plastik steril. Akhir april lalu, ia sukses bertahan selama 28 hari.

Alan Flake, seorang dokter yang memimpin eksperimen tersebut, mengatakan "Kami mencoba mengembangkan suatu sistem yang semirip mungkin dengan rahim … pada dasarnya ini rahim buatan."

Temuan tim yang dipimpin Flake ini merupakan terobosan termutakhir dari eksperimen rahim buatan yang dilakukan di berbagai tempat di dunia sepanjang dua puluh tahun terakhir. Kendati cetak birunya sudah dipatenkan pada 1955, eksperimen baru dilakukan tahun 1996 di Universitas Juntendo, Tokyo.

Pada 2014, seorang ibu berusia 36 tahun melahirkan anak dari rahim hasil transplantasi yang didonasikan oleh kawannya yang berusia 60an. Dua tahun kemudian, sebuah eksperimen Universitas Cambridge sukses membuat embrio manusia bertahan selama 13 hari dalam cawan petri. Umumnya, embrio hanya mampu bertahan sampai 7 hari di luar rahim. Pada tahun yang sama, pelajar jepang berhasil membesarkan embrio ayam di luar telur hingga lahir dan besar.

Teknologi yang dihasilkan dari eksperimen-eksperimen ini diproyeksikan mampu mengurangi risiko kematian dan cacat pada bayi prematur. Jika berhasil diterapkan pada domba, mengapa tidak pada manusia?

Imajinasi Kultural

Eksperimen rahim buatan sebenarnya pun bukan sesuatu yang sungguh-sungguh baru dalam imajinasi kebudayaan. Hal ini berbarengan dengan mekarnya eksplorasi atas fungsi organ-organ tubuh manusia dalam Ilmu kedokteran dan biologi, yang pada puncaknya, pada abad 15 di Eropa, menganalogikan organisme hidup seperti mesin yang berproses secara mekanis—termasuk ketika hamil.

Pada abad ke-8, ilmuwan Persia Abu Musa Jabir ibn Hayyan menulis tentang kemungkinan-kemungkinan membesarkan organisme hidup—dari kalajengking hingga manusia—di dalam lab berdasarkan rumus-rumus alkemi yang dia tulis. Pada abad 15, alkemis Jerman Paracelsus menulis sebuah resep untuk menciptakan manusia mini (homunculus) dengan cara memasukkan janin manusia di dalam rahim kuda selama beberapa minggu. Janin tersebut, menurut Paracelsus, “harus diberi asupan darah manusia”. Resep Paracelsus berpijak pada gagasan praformasi (preformation) yang dianut sebagian biolog pada masanya, yang beranggapan bahwa kepala sperma mengandung anatomi manusia sempurna sehingga kecuali dalam hal ukuran, tidak terjadi evolusi tubuh dalam janin.

Imajinasi tentang rahim buatan juga hadir dalam masa-masa pergolakan politik di Barat lima puluh tahun silam. Penulis Shulamith Firestone dalam bukunya Dialectic of Sex (1970) memimpikan sebuah masa depan, di mana rahim buatan akan membebaskan perempuan dari kerja-kerja reproduksi seksual yang selama ini dilekatkan pada fungsi organ-organ tubuh perempuan. Dalam kapitalisme modern, pembagian kerja membuat banyak perempuan menanggung beban kerja ganda (domestik dan non-domestik)—dan ini sudah dirasakan sejak masa kehamilan. Dengan rahim buatan, reproduksi manusia tetap berjalan tanpa harus mengekang perempuan dengan belenggu kehamilan.

Infografik Janin Buatan

Problem Etis

Dalam karya fiksi, imajinasi yang sama menunjukkan gejala ketakutan atas semakin berkuasanya rekayasa teknologis pada tiap proses-proses biologis manusia. Film The Matrix, misalnya, menggambarkan situasi masa depan, di mana manusia tidak dilahirkan, melainkan dihasilkan dari kantung berisi cairan yang mirip dengan rahim buatan. Sebelum The Matrix, ilustrasi serupa dapat ditemukan dalam banyak karya fiksi ilmiah yang mengisahkan masa depan di bawah rezim totaliter, yang tidak saja mengontrol pendapat dan tindakan warganegara, tetapi juga jeroan tubuh dan pikiran manusia.

Tak jarang, penolakan terhadap intervensi atas proses fisiologis didasari oleh ketakutan seperti di atas, yang dalam beberapa kasus bisa tercermin dalam argumen etis. Menyinggung eksperimen flake, Barbara Katz Rothman, sosiolog City University of New York, menyatakan ada banyak hal yang bisa dilakukan guna mencegah kelahiran prematur. “Masalahnya, sentuhan ala manusia terampas dari bayi yang dibesarkan di mesin. Ini tragis dan menakutkan,” demikian Rothman.

Bagi Flake, masalah etis juga perlu mempertimbangkan risiko kematian dan cacat tubuh yang sering diderita bayi prematur. Toh, dalam cetak biru Flake, seandainya eksperimen ini berhasil dilakukan pada manusia, janin berisiko prematur baru akan dipindahkan setelah 23 atau 24 minggu dalam rahim. Itu artinya, sentuhan manusia (ibu) tidak sungguh-sungguh dihilangkan.

Baca juga artikel terkait ORGAN TUBUH atau tulisan lainnya dari Windu Jusuf

tirto.id - Teknologi
Reporter: Windu Jusuf
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti