tirto.id - Di tengah tsunami COVID-19 yang menghantam India, ada satu negara bagian yang malah menunjukkan tajinya: Kerala. Saat negara bagian lain kelabakan mengatasi berbagai krisis seperti terbatasnya ruangan di rumah sakit, stok oksigen yang menipis, langkanya obat-obatan, hingga kerepotan mengurus jasad yang terlampau membludak, Kerala justru menjadi satu dari 29 negara bagian yang cukup cemerlang menanggulangi gelombang pandemi. Tahun lalu, Kerala berhasil melandaikan kurva kasus COVID-19 sejak Oktober, sebelum akhirnya meningkat lagi menjelang April 2021 akibat pelonggaran di tingkat nasional, kemudian menurun kembali pada Mei 2021.
Meskipun saat ini kurva belum sepenuhnya melandai, Kerala masih menjadi salah satu negara bagian dengan dampak pandemi yang lebih baik di India. Terbukti, Kerala menjadi negara bagian dengan rasio kematian paling rendah di India, yaitu 0,4 %. Sementara, rasio kematian rata-rata nasional mencapai 1,3 %.
Apa yang membuat Kerala bisa sukses menangani pandemi, di tengah-tengah gelombang besar infeksi COVID-19 India? Bagaimana mereka bertahan di tengah kebebalan Perdana Menteri Narendra Modi yang tidak malu-malu menyepelekan penanganan pandemi di tingkat nasional?
Selama ini, negara bagian sosialis itu dianggap berhasil karena kesigapannya dalam merespons ancaman pandemi. Alih-alih bergurau soal kekebalan rakyat Kerala akibat konsumsi makanan lokal atau berasumsi virus akan mati di tengah panasnya iklim, Menteri Kesehatan Kerala K.K. Shailaja justru segera bergerak dengan pendekatan-pendekatan saintifik. Sejak Januari 2020, jauh sebelum WHO mendeklarasikan COVID-19 sebagai pandemi, Kerala sudah mempersiapkan rencana penanggulangan keadaan kesehatan darurat.
Di saat negara bagian lain mengalami keterbatasan ruang perawatan, suplai oksigen dan obat-obatan akibat layanan kesehatan yang dikuasai oleh swasta. Kerala cukup bisa menghindarinya karena sudah jauh-jauh hari membuka akses layanan kesehatan secara luas dan merata. Rasio dokter-pasien di Kerala, misalnya, mencapai 25 untuk 10.000 orang, lebih baik daripada Kanada yang memegang angka 24,43.
Keberhasilan ini bukan yang pertama. Sebelumnya Kerala juga sukses menangani wabah virus Nipah pada 2018.
Akrab dengan Sains
Di Kerala, sains menentukan langkah dan kebijakan politik seperti apa yang mesti diambil, bukan sebaliknya. Hasilnya Kerala menorehkan sejumlah prestasi: tingkat literasi tertinggi di India, layanan kesehatan universal, distribusi pangan merata, dan sekarang menjadi salah satu negara bagian tersukses di tengah pagebluk.
Namun, jika ditarik lebih jauh, pemanfaatan sains bukan hanya datang dari pemerintah. Di Kerala sains bukan hanya milik elit, pakar dan birokrat, tapi sains juga telah menjadi kawan akrab untuk rakyat Kerala sampai pada tataran akar rumput. Pengetahuan saintifik yang mendasar disebarkan sejak dekade 1960-an melalui People’s Science Movement (PSM) yang dipelopori oleh organisasi Kerala Sastra Sahitya Parishad (KSSP) hingga akhirnya merebak ke berbagai penjuru India.
Pada 1962, KSSP dibentuk oleh 30 orang ilmuwan, guru dan insinyur Kerala yang bercita-cita agar sains bisa populer di tengah masyarakat Kerala sebagai usaha menghilangkan tradisi dan karakter feodal yang mengakar. Selama dekade 1960-an, mereka menerjemahkan pengetahuan saintifik dalam tulisan populer dengan menggunakan bahasa Malayalam yang merupakan bahasa lokal Kerala.
Pakar di bidang kajian sains dan teknologi Roli Varma dari University of New Mexico dalam Economic and Political Weekly (2001, Vol. 36, No. 52), menyebut upaya untuk membumikan sains berangkat dari keresahan para ilmuwan yang melihat bahwa penelitian dan sains di India hanya dijalankan oleh segelintir elite politik tanpa dampak berarti bagi masyarakat. KSSP kemudian dibentuk untuk mendekatkan sains dengan masyarakat Kerala, dan India.
Selama puluhan tahun bergerak, KSSP berhasil membumikan sains ke berbagai lapisan masyarakat dari mulai anak-anak, pelajar hingga petani. Mereka melakukannya melalui berbagai media kampanye: pengajaran langsung, seni pertunjukkan, majalah Sastragathy dan yang paling mencolok adalah festival sains besar-besaran Jathas yang dimulai sejak 1977. Berdasarkan data dari laman resmi KSSP, kini mereka telah memiliki anggota sebanyak lebih dari 50.000 orang dengan 1200 unit kelompok yang tersebar di seluruh Kerala.
Dalam perkembangannya, KSSP tidak hanya bergerak untuk mempopulerkan sains, KSSP nantinya juga memiliki andil politik yang kuat dalam memengaruhi kebijakan di Kerala. Terutama sejak tahun 1970-an, saat KSSP mulai terlibat dalam praktik mobilisasi massa. Mereka menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat miskin dan marginal dengan cara menolak segala bentuk kebijakan yang merebut manfaat sains dan teknologi dari rakyat Kerala.
Lantas, bagaimana awal mula KSSP bisa menjadi kelompok ilmiah sekaligus politis?
Sains untuk Revolusi Sosial
Awalnya, organisasi ini memahami sains sebagai bentuk pengetahuan yang tunggal dan paling tinggi di atas bentuk pengetahuan lain, sebagaimana dipahami oleh Perdana Menteri Jawaharlal Nehru saat menjalankan proyek modernisasinya pada fase awal kemerdekaan India. Nehru memproyeksikan bangsa India yang modern dengan mengampanyekan sains dan teknologi di atas tradisi dan kebudayaan lokal.
Kembali merujuk tulisan Varma, pembentukan KSSP pada tahun 1962 amat dipengaruhi oleh pemahaman sains modern ala Nehru itu. Asumsi dasarnya adalah sains mesti menjadi sumber pengetahuan tunggal untuk mengkudeta tradisi, irasionalitas, mistisisme, klenik dan takhayul yang masih menguasai alam pikir masyarakat India. Dengan cara itu, India diyakini baru bisa menjadi negara modern dan maju.
Namun, seiring perkembangannya, KSSP belajar bahwa mistisme dan segala bentuk pengetahuan lain yang datang dari kepercayaan buta, tidak tiba-tiba muncul dan bercokol begitu saja, melainkan hadir sebagai konsekuensi dari struktur sosial, ekonomi, politik yang menindas. Ketimpangan terhadap akses pengetahuan ilmiah dipahami sebagai akibat dari ketimpangan struktural.
Menurut Varma, kesadaran ini muncul salah satunya akibat relasi KSSP dengan para ilmuwan dan aktivis yang berorientasi pada Marxisme di Kerala. Meskipun, sebenarnya sebagai sebuah organisasi dan gerakan, KSSP memiliki spektrum politik yang amat luas. Namun, dengan pemahaman mengenai ketimpangan itu, sejak 1970-an KSSP mulai terjun dalam aktivisme dan politik.
“Para ilmuwan menyadari bahwa penyebab utama keterbelakangan India disebabkan oleh struktur ekonomi dan politik yang hanya sesuai dengan kepentingan kekuatan metropolitan dan kelas dominan,” tulis Varma dalam artikelnya yang berjudul “People's Science Movements and Science Wars?”
Pada 1974, KSSP menunjukkan komitmen atas sikapnya dengan mengadopsi slogan “Sains Untuk Revolusi Sosial”.Maksudnya jelas: KSSP ingin mempopulerkan sains untuk rakyat Kerala, sekaligus menggunakannya sebagai senjata untuk berdaya. Itu bisa dilihat dari pernyataan langsung KSSP sendiri:
“KSSP memandang masyarakat India sebagai satu; namun dibagi menjadi dua kelompok: minoritas, yang terus-menerus semakin kaya dan mayoritas yang semakin melarat dan menghadapi ancaman pemelaratan,” dikutip dari laman resmi KSSP. “Kami berusaha keras untuk mempersenjatai mayoritas dengan sains dan teknologi dalam perang mereka melawan pemiskinan, melawan para penghisap. Jika sains dan teknologi menjadi senjata di tangan mayoritas, itu akan membawa perubahan radikal dalam masyarakat. Oleh karena itu slogan KSSP adalah: “Sains untuk revolusi sosial.”
Melawan dengan Sains
Jika pada periode sebelumnya KSSP menabrakan sains dengan tradisi, sejak 1970-an KSSP justru malah membuka peluang untuk memberdayakan tradisi dan pengetahuan lokal rakyat Kerala yang dianggap sebagai bentuk alternatif dari sains. Yang menarik lagi, pada periode ini KSSP juga mengkritik penggunaan sains itu sendiri.
Sebagaimana disampaikan oleh Thomas Isaac, Richard W. Franke & M. P. Parameswaran melalui artikel berjudul “From anti-feudalism to sustainable development: The Kerala Peoples Science Movement” yang diterbitkan dalam Bulletin of Concerned Asian Scholars (1997, Vol. 23 No. 3), antara 1977 sampai 1987 KSSP secara aktif mengampanyekan penolakan terhadap sains dan produk modernisasi lain yang digunakan sebagai penopang kebijakan menindas dan eksploitatif.
Pada periode itu, lazimnya di berbagai negara berkembang bekas jajahan lain, proyek pembangunan India dikendalikan oleh gagasan teknokrasi neoliberal yang kuat. Modernisasi melalui sains dan teknologi cenderung diarahkan untukpertumbuhan ekonomi dengan sedikit pertimbangan terhadap aspek sosial, kebudayaan dan lingkungan. KSSP beberapa kali terlibat dalam gerakan melawan pembangunan dengan modal demikian melalui jalur akademik sekaligus praktik di lapangan.
Gerakannya yang paling fenomenal adalah kampanye perlawanan terhadap pembangunan bendungan Silent Valley sejak 1973. Pada 1978 tim penelitian KSSP merilis sebuah laporan multidisiplin mengenai prediksi dampak pembangunan bendungandalam aspek ekologi, ekonomi, sosial dan politik. Melalui laporan berjudul “The Silent Valley Hydroelectric Project: A Techno-Economic and Socio-Political Assessment” KSSP menegaskan sikapnya untuk menolak proyek pembangunan berdasarkan hasil penelitian itu yang kesimpulannya mengatakan: pembangunan bendungan akan membawa lebih banyak kerugian dibanding manfaatnya, terutama untuk lingkungan dan warga di sekitar bendungan.
KSSP tidak hanya menolak lewat kajian-kajian akademik, namun juga terlibat dalam usaha mobilisasi warga sekitar bendungan melalui diskusi, seminar, dan seni pertunjukan. Selain itu, para ilmuwan, aktivis dan warga melobi para pejabat dan birokrat, menulis di berbagai surat kabar, dan menuntut di pengadilan. Mereka juga berjejaring dengan ilmuwan dan aktivis di wilayah India lain, bahkan juga negara lain. Pada 1983, gerakan itu menorehkan hasil. Pemerintah India membatalkan proyek pembangunan bendungan tersebut.
Demokrasi lewat Sains
Thomas Isaac dkk. menyebut pasca-kesuksesan gerakan itu, masyarakat di Kerala mulai memiliki andil kuat dalam setiap kebijakan yang dirancang, baik oleh pemerintah pusat mau pun pemerintah negara bagian Kerala. Rakyat Kerala melalui KSSP tidak membiarkan sains digunakan hanya oleh segelintir teknokrat, pakar, dan pejabat untuk merumuskan kebijakan secara sepihak.
Melalui sains, mereka aktif berpartisipasi dalam mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan. Tentu saja, posisinya tidak melulu berada di pihak yang melawan secara serampangan. Pada periode 1980-an, KSSP sering berkolaborasi dengan pemerintah Kerala yang saat itu dipimpin oleh partai komunis. Michelle Williams dalam bukunya The Roots of Participatory Democracy: Democratic Communists in South Africa and Kerala, India (2008) menjelaskan sewaktu aliansi partai kiri yang tergabung dalam Left Democratic Front (LDF) memenangkan pemilu pada 1987, pendekatan pembangunan terpusat yang menggunakan sihir trickle down effect mulai ditinggalkan, dan desentralisasi mulai diupayakan.
“Periode kekuasaan pemerintah komunis pada 1987-1991 menandai titik balik pembangunan, karena penekanannya berubah menjadi program-program yang melibatkan partisipasi massa dan mendorong inisiatif serta kemandirian masyarakat lokal,” terang profesor sosiologi tersebut. “Ada pergeseran fokus dari politik hegemonik ke politik kontra-hegemoni.”
Pertama-tama, desentralisasi dan partisipasi massa dianggap mungkin dijalankan bila massa rakyat Kerala memiliki basis pengetahuan dan pendidikan yang memadai. Oleh sebab itu, menurut Williams selama 1987–1991 kampanye pemerintah berfokus salah satunya pada isu pendidikan.
Pada periode itu KSSP bergerak bersama dengan LDF dalam banyak program, salah satunya kampanye pengentasan buta huruf. Pemerintah LDF dan KSSP berbagi komitmen yang sama: mengedukasi rakyat sekaligus mengajak massa kelas menengah untuk terlibat dalam kerja-kerja sukarelawan untuk usaha edukasi itu. Kampanye itu dimulai ketika pada 1988 KSSP bersama dengan aktivis akar rumput lain berhasil membuat distrik Ernakulam menjadi distrik pertama di India yang terbebas total dari buta huruf.
Sampai 1991, LDF bersama dengan KSSP telah mengerahkan 350.000 sukarelawan untuk bergerak dalam kampanye di seluruh wilayah negara bagian Kerala. Pada 18 April 1991, kampanye ini menuai hasil cemerlang: Kerala berhasil menjadi negara bagian pertama di India yang seluruh warganya melek huruf.
Tidak hanya itu, KSSP juga banyak terlibat dalam upaya pembangunan partisipatoris lain, seperti edukasi pengetahuan agraria yang salah satunya dikerjakan melalui People’s Resource Mapping Program. Melalui itu, KSSP mengajak masyarakat untuk memetakan lingkungan di sekitarnya dengan tujuan memahami potensi, seperti sumber daya alam, atau juga ancaman, seperti banjir dan wabah.
Belakangan, selama pandemi, di tengah cerita tentang kesuksesan pemerintahan sosialis Kerala dalam memberikan layanan kesehatan primer yang merata dan mudah dijangkau, KSSP sekali lagi berperan di tingkat akar rumput. Barangkali, Kerala adalah contoh apik dari sejahteranya masyarakat dan pemerintah yang menjalin relasi akrab dengan sains.
Penulis: Mochammad Naufal
Editor: Windu Jusuf