Menuju konten utama

Dari Candu Narkoba ke Candu Digital

Penggunaan narkoba menurun. Namun, angka kecanduan pada ponsel pintar dan dunia internet makin tinggi. Apakah ini pertanda baik atau justru "keluar mulut buaya masuk mulut singa?"

Dari Candu Narkoba ke Candu Digital
Ilustrasi. Kecanduan Smartphone. Foto/iStock

tirto.id - Tiap generasi punya cara mabuk masing-masing. Rastafara dengan ganja, kaum Assassin dengan hashish, orang-orang hippies punya lysergic acid diethylamide alias LSD, dan generasi milenial dengan ponsel pintarnya. Ya, mabuk digital.

Sepanjang dekade terakhir, teknologi nyatanya mengubah banyak hal, termasuk pola hidup manusia. Jika generasi sebelumnya senang ajojing, teler, dan foya-foya di diskotek, maka tak begitu dengan milenial. Mayoritas generasi ini lebih senang leyeh-leyeh di rumah, atau pergi ke restoran, kedai kopi, atau pertunjukan-pertunjukan seni yang keren. Mereka lebih memilih berada di tempat, di mana mereka bisa menikmati gawai mereka dengan nyaman. Kalaupun pergi ke tempat-tempat yang keren, umumnya karena tempat tersebut "Instagramable" alias elok untuk di-share di sosial media.

Tentang perilaku generasi milenial yang tak suka ke kelab malam dapat dibaca pada laporan khusus Tirto tentang seputar Memahami Generasi Galau

Gawai adalah sesuatu yang tak bisa dilepaskan dari tangan para milenial. Dari bangun tidur hingga beranjak tidur lagi, gawai tak pernah bisa dilepaskan. Gawai, internet, adalah hal yang wajib. Di Indonesia, penggunaan internet dikuasai oleh para milenial.

Penggunaan gawai terus meningkat. Di saat yang sama, ada tren penurunan penggunaan narkoba. Di Indonesia, dikutip dari data Badan Nasional Narkotika, ada penurunan jumlah pengguna narkoba yang signifikan dalam 10 tahun terakhir. Jika pada 2006, ada 7,6 persen generasi muda rentang usia SLTP sampai Akademi atau Perguruan Tinggi yang terdata sebagai pengguna coba-coba, maka pada 2016 angka itu turun signifikan jadi 1,6 persen.

Angka pengguna narkoba teratur di rentang usia itu bahkan hampir kandas di 2016. Dari total 4,8 persen pada 2006 menjadi hanya 0,2 persen sepuluh tahun kemudian.

Ada teori kalau penurunan ini adalah dampak dari kampanye anti-narkoba yang gencar dilakukan dalam kurun waktu tersebut. Tapi teori yang lebih menarik menyatakan kalau penurunan popularitas obat-obatan dan tabiat teler di kelab malam itu dikalahkan oleh candu baru generasi ini pada internet di gawai mereka.

Survei terakhir We Are Social Januari lalu menunjukkan kalau 91 persen orang dewasa Indonesia yang punya ponsel, dan 47 persennya menggunakan ponsel pintar. Sebanyak 21 persen menggunakan komputer, dan tablet komputer sebanyak 5 persen. Bahkan 2 persen dari 250 juta rakyat Indonesia memakai televisi internet di rumahnya. Hal ini memperlihatkan pengingkatan penggunaan gawai pintar oleh manusia-manusia Indonesia.

Infografik Narkoba Dan Ponsel Pintar

Rupanya, tak hanya di Indonesia, gejala serupa juga terjadi di AS. Survei tahunan pemerintah mereka yang memantau penyalahgunaan obat-obatan oleh remaja menunjukkan angka terendah selama 40 tahun terakhir. Data lain dari Subtance Abuse and Mental Health Services AS menyebutkan, pada 2015, remaja berusia 12 hingga 17 yang merokok turun hingga 10,8 persen dari tahun 2005. Penggunaan alkohol pada rentang usia tersebut juga turun jadi 9,6 persen dari sebelumnya 16,5 persen.

Di saat yang bersamaan, penggunaan gawai pintar meningkat. Survei Common Sense Media pada 2015, seperti dilansir dari The New York Times bilang, remaja AS usia 13 hingga 18 rata-rata menghabiskan 6 setengah jam waktunya per hari di depan layar gawai. Hanya saja, penggunaan itu untuk mengecek media sosial atau bermain gim dan semacamnya. Bahkan laporan Pew Research Center pada 2015 menyebutkan, remaja pada usia 13 hingga 17 online hampir setiap saat.

Keadaan serupa ternyata juga terjadi di Inggris. Berdasarkan data statistik nasional mereka, tingkat penggunaan rokok, alkohol, dan narkoba pada anak-anak berusia 11-15 turun hingga separuhnya dalam satu dekade terakhir.

Lalu, benarkah milenial bisa mabuk karena ketagihan digital ini? Jawabannya tentu tak dijawab secara harfiah. Penelitian yang mengaitkan dua fenomena ini—tentang menurunnya jumlah pengguna narkoba dan meningkatnya pengguna gawai digital— memang belum ada. Namun, Nora Volkow, Direktur Institut Nasional Penyalahgunaan Obat-obatan Amerika Serikat sedang merencanakan penelitian semacam itu. Menurutnya investigasi untuk gejala ini akan jadi sangat menarik dan berguna nantinya.

Silvia Martins, ilmuan yang telah mengeksplorasi studi terkait hubungan internet dan penyalahgunaan narkoba pada remaja, menyebut teori di atas sangat masuk akal. “Main gim, berselancar lewat media sosial telah memenuhi kebutuhan mereka untuk mencari kegiatan baru,” kata Martins. “Tapi (teori) ini masih perlu dibuktikan,” tambahnya pada The New York Times.

Arko Ghosh, ahli ilmu perilaku manusia dan ponsel pintar dari Universitas Zurich, mencoba menjelaskan hipotesanya tentang pengaruh candu digital tersebut pada manusia. “Kami tak bisa menjelaskan setepat mungkin bagaimana ponsel pintar berdampak pada otak, tapi jelas ada korelai menarik antara perilaku gandrung kita pada ponsel pintar dan aktivitas di otak,” ungkapnya pada The Independent. “Rasanya intens, dan berbeda (dari yang diciptakan kecanduan oleh narkoba). Maka mari mengukurnya dan cari tahu seberapa bedanya.”

Menurutnya, penggunaan ponsel pintar berefek pada aspek intrinsik dalam cara kerja otak manusia, seperti bagaimana cara otak mengontrol tangan. Katanya, “Orang yang lebih sering menggunakan ponselnya punya aktivitas otak yang lebih tinggi dalam menanggapi sentuhan di tangan.”

Yang masih coba dicari tahu adalah, “Apakah ponselmu yang mengubah cara kerja otak, atau malah otakmu yang mempengaruhi caramu menggunakan ponsel secara berbeda,” kata Ghosh.

Baca juga artikel terkait NARKOBA atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti