tirto.id - Ucok terduduk lemas begitu Malena berhenti di tepian jalan. Jantungnya masih berdegup kencang bersamaan dengan knalpot yang masih mengeluarkan asap. Seteguk air putih diminumnya untuk menenangkan diri.
“Ternyata seal oli saya bocor. Kampas rem penuh dengan oli. Itu sebabnya remnya tidak pakem. Berbekal alat seadanya, saya bongkar dan perbaiki seal-nya di halaman rumah orang,” tukas Ucok Alhariri, menggambarkan momen vespa tuanya ketika mengalami rem blong di kawasan Nagreg.
Di tengah kepanikan dan roda ban yang tak kunjung melambat, Ucok memaksa Malena untuk engine break. Solusi terakhir agar tidak terjun ke jurang, meski resikonya juga cukup besar, patahnya gigi silang yang berakibat pada tidak berfungsinya persneling nanti. Padahal, saat itu ia baru perjalanan berangkat menuju pantai Pangandaran di selatan Jawa Barat.
Memang, setiap ada kesempatan, Ucok kerap melakukan tur jarak jauh bersama vespa tuanya yang diberi nama Malen. Nama tersebut ia gambarkan seperti sosok kesepian yang diperankan Monica Bellucci dalam film berjudul yang sama.
“Ya, karena saya ngefans sama Monica Bellucci. Ceritanya, kan, anak kecil yang berfantasi pada Malena. Nah, saya dari dulu pengen punya vespa sejak kecil. Tapi baru kesampaian pas dewasa. Jadi dinamain Malena karena cocoklogi di atas itu,” sambungnya melalui pesan daring.
Buat Ucok, Vespa Super tahun 1975 itu bukan sekadar skuter. Malena telah menemani perjalanannya ke dari Jakarta ke berbagai kota, seperti Sabang, Banda Aceh, Medan, Padang, Bandung, Sawarna, Yogyakarta, Purwokerto, Dieng, Pacitan, Banyuwangi, Bromo, Bali, Lombok, Gili Trawangan, Makassar, Bulukumba, hingga Tana Toraja pada Lebaran kemarin.
Pengalaman Ucok adalah satu dari ratusan ribu, atau bahkan jutaan, kisah para pengguna vespa. Suka duka, canda tawa, dan segala hal yang tertaut bersamanya.
Vespa bukan hanya tentang evolusi kendaraan beroda dua. Seperti kisah para pengendaranya—tentu saja diharapkan berakhir bahagia—vespa terlahir setelah air mata pascaperang habis berlelehan.
Lahir Dari Abu Palagan
Italia pasca-Perang Dunia II adalah negara yang porak-poranda. Ekonomi lumpuh dan jalanan hancur, membuat mobil dan produsen lainnya kesulitan untuk bangkit kembali.
Dalam situasi yang sulit ini, keluarga Piaggio, yang sebelumnya bergerak di industri kedirgantaraan sejak 1884, menemukan cara baru dalam berbisnis. Ide itu muncul dari kesulitan, ketika pabrik Piaggio di Pontedera hancur akibat bom peperangan.
Enrico, generasi kedua keluarga Piaggio, memiliki visi untuk kendaraan roda dua yang murah diproduksi, andal, dan modern. Ia membayangkan sebuah kendaraan yang efisien untuk melewati jalan-jalan sempit kota. Ide itu terejawantahkan dalam purwarupa yang dirancang oleh Renzo Spolti dan Vittorio Cassini pada tahun 1945, namanya Moto Piaggio 5 (MP5) “Paperino”.
Belum puas dengan rancangan awal, Enrico menunjuk Corradino D'Ascanio, insinyur penerbangan sebenarnya tidak menyukai sepeda motor. Anehnya, justru ketidaksukaan itulah yang menjadi kunci inovasi desain vespa.
Rancangan sang insinyur diberi nama MP6, terbuat dari suku cadang pesawat. Termasuk di antaranya fitur revolusioner seperti rangka “step-through” yang memudahkan wanita berkendara dengan rok.
“Sembra una vespa! [Seperti tawon!]” ucap Enrico Piaggio, sebagaimana dikutip oleh Colin Shattuck dalam “Chapter 1: The Evolution of a Revolution” buku Scooters:Red Eyes, Whitewalls and Blue Smoke (2005).
Enrico terkejut melihat prototipe MP6 dengan bentuk serta suara mesinnya yang khas. Tidak ada kipas pendingin mesin, tuas rem di sisi kiri, serta klakson di bawah sadel.
Awalnya, penjualan berjalan lambat. Namun, setelah diperkenalkan di Milan Fair 1946, segalanya berubah, terutama berkat iming-iming pembayaran dengan sistem cicilan yang ditawarkan Piaggio. Inisiatif itu cukup ampuh menggaet konsumen, mengingat kala itu dunia masih diliputi trauma dan krisis ekonomi pascaperang.
Dengan desain ramping, lekuk elegan, dan kemudahan penggunaan, vespa segera mencuri perhatian masyarakat. Dalam kondisi ekonomi yang sulit, hadirnya Vespa menggambarkan harapan baru—simbol bahwa seni dan fungsi dapat berjalan beriringan, meskipun dalam keadaan serba terbatas.
Dalam waktu singkat, vespa menjelma fenomena yang mengubah lanskap transportasi pribadi di Italia. Vespa dipatenkan pada 23 April 1946 di Florence. Ketika itu, mereka telah memproduksi 2.000 unit dengan penambahan biaya iklan cukup besar. Hasilnya sebanyak 10.535 unit Vespa diproduksi pada 1947, disusul produksi 19.822 unit di tahun berikutnya.
Di Eropa, popularitas vespa merebak ke berbagai negara bagai virus baru. Hoffman, pemegang lisensi asal Jerman, tak bisa dilepaskan dari kesuksesan tersebut. Ia sukses memproduksi 171.200 Vespa pada 1953.
Model awal seperti Vespa 98cc dan Vespa 125 dengan cepat populer. Penjualannya mencapai 1 juta unit pada 1956, meningkat jadi 2 juta pada 1960. Sejak itu, klub-klub vespa pun mulai bermunculan.
Di AS, meskipun sempat ditarik dari pasar dekade 1980-an karena masalah emisi, vespa bangkit kembali pada tahun 2000. Model barunya telah memenuhi standar emisi, seperti ET2 dan ET4.
Vespa di Layar Kaca dan Panggung Dunia
Kehadiran Vespa dalam budaya populer makin mengukuhkan status ikoniknya. Salah satu momen paling penting adalah kemunculannya dalam film Roman Holiday (1953) yang dibintangi oleh Princess Ann (Audrey Hepburn) dan Joe Bradley (Gregory Peck).
Adegan ikonik Joe dan Ann mengendarai vespa melintasi jalanan Roma tidak hanya memikat penonton, tetapi juga meningkatkan popularitas vespa di seluruh dunia. Film tersebut mengubah wajah vespa, dari sekadar alat transportasi menjadi simbol romansa, kebebasan, dan gaya hidup ala Italia yang diidamkan.
Selain Roman Holiday, Vespa juga muncul dalam berbagai film terkenal lainnya, termasuk La Dolce Vita (1960) karya Federico Fellini yang menggambarkan semangat kehidupan manis Italia. Begitu juga gambaran budaya Mod di Inggris, yang menjadi simbol kaum muda bergaya dan memberontak, lewat film Quadrophenia (1979).
Tidak berhenti di situ. Film-film karya sutradara besar, seperti Dino Risi, Federico Fellini, dan Mario Monicelli, kerap menampilkan vespa sebagai elemen penting dalam kisah sinemanya.
Dalam film Caro Diario (1993), misalnya, penonton diajak menyelami perjalanan penuh introspeksi, menggabungkan keindahan visual dan kisah personal yang mendalam. Adapun Romanzo Criminale (2005) karya Michele Placido menampilkan atmosfer kehidupan kota besar, dengan kontras antara keindahan dan kekerasan urban, dan vespa menjadi saksi bisu dinamika tersebut.
Puncaknya adalah ketika film Cinema Paradiso (1988), yang disutradarai oleh Giuseppe Tornatore, mendulang penghargaan bergengsi, seperti Oscar dan Golden Globe. Karya sinema itu menggambarkan betapa eratnya hubungan antara seni, kenangan masa kecil, dan perjalanan hidup—semua itu diiringi kehadiran vespa yang anggun. Secara tidak langsung, momen itu menjadi titik landas vespa mendunia.
Dalam dunia musik, vespa juga memiliki tempat tersendiri. Band Inggris, The Who, sering menggunakan gambar vespa dalam sampul album dan promosinya, terutama terkait dengan subkultur Mod.
Ikon pop seperti Madonna dan Lady Gaga juga pernah terlihat berpose dengan vespa. Di Italia, lagu “50 Special” dari band Lunapop hit di kalangan remaja, sebuah ode untuk model vespa yang sama.

Dalam dunia literatur, vespa juga kerap digambarkan sebagai kendaraan untuk petualangan pribadi dan penemuan diri. Buku Vroom with a View karya Peter Moore, misalnya, menggambarkan perjalanan melintasi Italia dengan vespa, menangkap esensi kebebasan dan keindahan pemandangan yang dilaluinya.
Seiring dengan popularitasnya, vespa berperan penting dalam emansipasi dan mobilitas wanita di Italia pascaperang. Desainnya yang elegan membuat Vespa menjadi inspirasi dalam dunia mode. Skuter ini sering digunakan dalam pemotretan dan gaya busana sebagai properti yang chic dan simbol gaya Italia.
Kolaborasi antara vespa dan merek-merek fesyen ternama, seperti Dior, Armani, dan Justin Bieber, menyoroti perpaduan antara desain otomotif dan adibusana. Bahkan, lini pakaian dan aksesori yang terinspirasi oleh Vespa juga telah dikembangkan.
Masih Berdengung di Dunia Kontemporer
Apa sebenarnya yang membuat Vespa begitu menarik dan tak lekang oleh waktu? Jawabannya terletak pada kemampuan Vespa dalam menjembatani dua dunia—tradisi dan modernitas.
Desainnya yang klasik, lampau tetapi di sisi lain juga futuristik, mengisyaratkan kekuatan melihat ke masa depan tanpa melupakan akar sejarahnya. Seolah-olah, setiap lekukan bodi vespa mengandung cerita perjuangan, kreativitas, dan inovasi yang diwarnai oleh semangat Italia pascaperang.
Selain desainnya yang memukau, vespa dikenal karena fungsionalitasnya yang sederhana tetapi cerdas. Di jalanan kota yang padat, dengan jalan-jalan sempit dan lalu lintas yang kacau, vespa memberikan solusi mobilitas yang tidak hanya efisien, tetapi juga menyenangkan.
Kemudahan dalam melakukan manuver, perawatan yang relatif ringan (pada masanya), serta konsumsi bahan bakar yang irit, menjadikan vespa pilihan ideal bagi siapa saja yang ingin menikmati perjalanan tanpa harus memikirkan kerumitan teknis yang sering mengganggu.
Kepemilikan vespa bisa dibilang lebih dari sekadar memiliki skuter; itu sering kali mewakili pilihan gaya hidup, hubungan dengan citra budaya tertentu, juga perasaan kebebasan dan kemandirian. Koneksi emosional inilah yang menjadi alasan utama popularitasnya mengabadi.
Bagi banyak pemilik, vespa bukan hanya alat transportasi, tetapi juga kanvas untuk ekspresi diri. Melalui kustomisasi, pemilihan warna, lampu, spion, bagasi, dan penambahan aksesori, pengendara vespa menciptakan pernyataan unik tentang identitas dari gaya pribadi mereka.
Para penggemar vespa di seluruh dunia sering kali berbagi cerita tentang vespa adventures—kisah-kisah yang menggambarkan perjalanan spontan bersama teman-teman, petualangan mencari destinasi tersembunyi, dan momen-momen ketika waktu seakan berhenti, terpana melihat keindahan perjalanan.
Keberadaan vespa menembus batasan geografis dan budaya. Ia menjadi ikon di kalangan masyarakat dunia, yang diwujudkan dalam berbagai klub penggemar vespa.
Organisasi global macam Vespa World Club serta klub lokal seperti Vespa Club of America dan Vespa Club of Britain masih aktif hingga kini. Mereka gemar menyelenggarakan berbagai kegiatan dan acara, termasuk reli (seperti Vespa World Days dan Amerivespa), proyek restorasi vespa antik, acara amal, dan pertemuan sosial.
Di Amerika Utara dan sebagian Eropa, vespa acap kali dianggap sebagai kendaraan rekreasi yang bergaya. Namun, di Asia dan Meksiko, ia lebih sering digunakan sebagai kendaraan utilitas untuk barang maupun orang.

Di Indonesia, vespa punya tempat tersendiri di hati para penggemarnya, terutama sejak diperkenalkan kali pertama pada 1950-an melalui impor. Model-model andalannya termasuk Vespa 150 dan Vespa 125. Bahkan, ada subkultur “vespa gembel” (pengendara vespa gelandangan) yang memodifikasi vespanya menjadi karya seni unik.
Pada dekade 1960-an, vespa mulai diproduksi secara lokal oleh Dan Motor Vespa Indonesia (DMVI). Inisiatif itu makin memperluas popularitas sang skuter legendaris di kalangan masyarakat Indonesia. Vespa lantas menjadi kendaraan favorit di kalangan anak muda generasi '70-an.
Kiwari, Indonesia memiliki komunitas vespa terbesar kedua di dunia setelah Italia. 85 persen penduduk memiliki skuter, menurut Huck Magazinedalam artikelnya “In Jakarta Indonesia, the DIY vespa scene is seriously punk”.
Bahkan, merek vespa diabadikan dalam lirik lagu “Piknik '72” milik band Naif. Senandung liriknya memperkuat romantisme vespa: berkeliling kota, memadu cinta, berdua.
Pergi di hari Minggu
Bersama pacar baru
Naik vespa k'liling kota
Sampai Binaria
Hatiku jadi gembira
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id

































