tirto.id - PT Danantara Asset Management (DAM) menegaskan perlunya transformasi menyeluruh di tubuh PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA). Managing Director DAM, Febriany Eddy, mengatakan pembenahan tersebut juga akan menyasar aspek information technology (IT).
Pasalnya, hingga saat ini banyak aplikasi Garuda Indonesia yang belum tersinkronisasi dengan baik. Imbasnya, penjualan layanan perusahaan menjadi tidak optimal, bahkan tergerus oleh jasa agen perjalanan (travel agent), biro tur, maupun pihak ketiga lain sebagai kanal utama penjualan.
“Cara dia menjual juga. Masih banyak counting on agent. Itu yang harusnya kita ubah. Karena setiap kali dia jual sama agent, dia banyak komisi, habis revenue-nya,” ucap Febri dalam Media Coffee Morning, di Wisma Danantara, Jakarta Selatan, Jumat (14/11/2025).
Lebih jauh, Febriany menjelaskan bahwa prioritas utama Garuda saat ini adalah mempercepat return to service (RTS) seluruh pesawat yang masih grounded. Kondisi tersebut, kata dia, membuat maskapai menanggung “double hit” karena tidak memperoleh pendapatan sementara beban biaya seperti sewa dan listing cost tetap berjalan.
“Target kita adalah tahun depan itu semua yang sudah berada di grounded aircraft, semua bisa terbang. Tentu dia gradual ya,” ujarnya.
Meski tidak dapat memberikan angka pasti, Febri menyampaikan jumlah pesawat Garuda Indonesia yang saat ini grounded mencapai puluhan unit, di mana mayoritasnya berasal dari Citilink.
Padahal, pascapandemi Covid-19, terjadi kelangkaan slot perawatan pesawat (MRO) secara global. “Jadi kalau dia bisa return to service semua tahun depan, sudah tenang, sudah bisa tidur. Berarti pesawatnya sudah bisa terbang,” katanya. “Kalau uang kan sudah dikasih. Tidak masalah dia berebut slot saja globally, di seluruh dunia,” imbuhnya.
Tidak sampai di situ, kata Febriany, Garuda juga harus memastikan pesawat yang kembali mengudara ditempatkan pada rute-rute yang profitable. Pasalnya, margin industri penerbangan di Asia Pasifik sangat tipis, hanya sekitar 2 hingga 7 dolar AS per kursi.
“Jumlah rute profitable harus naik significantly. Dan itu harus menjadi backbone Garuda. Jangan sampai dia pesawatnya terbang terus dia mengambil rute negatif,” tutur Febriany.
Ia juga menyoroti kerja sama codeshare—kemitraan antarmaskapai di mana dua (atau lebih) maskapai berbagi kode penerbangan pada rute yang sama—yang dinilai lebih menguntungkan partner ketimbang Garuda sendiri. Hal ini, menurutnya, memperlihatkan bahwa masih banyak ruang efisiensi yang bisa dilakukan Garuda Indonesia.
“Jadi dia mesti renegosiasi ulang semua rute-rute dan codeshare tersebut yang globally,” tuturnya.
Meski demikian, DAM menilai Garuda sudah memiliki sejumlah quick wins. Namun efisiensi harus berjalan paralel dengan transformasi layanan. Terutama untuk mengembalikan standar pelayanan premium yang dulu menjadi keunggulan, termasuk budaya eye-to-eye service pramugari kepada penumpang.
“Jadi that kind of experience harus di-bring back lagi. Tidak ada gunanya juga dia terbang-terbang tapi kalau layanannya jelek. Yang dirasakan masyarakat kan layanannya sebenarnya,” tegasnya
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana
Masuk tirto.id






































