tirto.id - Pengadilan Filipina menjatuhkan vonis bersalah dan hukuman seumur hidup terhadap sejumlah petinggi klan politik Ampatuan karena menjadi dalang pembantaian yang menewaskan 58 orang pada 10 tahun lalu.
Delapan di antara 28 orang yang divonis penjara seumur hidup dalam kasus ini merupakan anggota dan petinggi klan Ampatuan, sebuah keluarga dengan pengaruh kuat di Maguindanao, Filipina.
Mereka dinyatakan terbukti bersalah karena mendalangi penyergapan serta penembakan iring-iringan kendaraan kampanye pesaing Ampatuan di pemilu lokal provinsi Maguindanao, demikian seperti dilansir Antara. Putusan ini dijatuhkan pada Kamis, 19 Desember 2019.
Pembunuhan massal yang kerap disebut sebagai 'pembantaian Maguindanao' itu terjadi pada 23 November 2009 silam. Di antara 58 korban tewas dalam pembantaian itu, 32 orang merupakan jurnalis di Maguindanao. Setelah dihujani tembakan, para korban itu kemudian dikubur dalam lubang besar bersama kendaraannya.
Tragedi ini dianggap sebagai salah satu serangan terbesar terhadap jurnalis di dunia. Pembantaian tersebut juga dinilai menjadi puncak kekerasan terkait pemilu di Filipina.
Salvador Panelo, juru bicara Presiden Rodrigo Duterte, mengatakan putusan itu harus dihormati dan pembantaian itu mewakili "pengabaian atas kesakralan kehidupan manusia" yang tidak boleh diulang.
Lebih dari 80 dari 197 tersangka masih buron, termasuk 12 anggota klan Ampatuan. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa saksi dan keluarga korban mungkin tidak akan pernah aman.
"Kasus ini masih panjang," kata Esmael Mangudadatu, seorang anggota kongres yang istrinya ditembak lebih dari selusin kali selama penyergapan. "Tapi setidaknya kita memiliki kemenangan parsial."
Persidangan kasus ini melibatkan 357 saksi dan 238 volume dokumen serta berlarut-larut dalam satu dekade. Ada juga dugaan sejumlah saksi di kasus ini telah dibunuh.
Direktur Amnesty International Filipina, Nicholas Bequelin menilai putusan pengadilan tersebut merupakan tahap penting dalam penyelesaian hukum kasus pembantaian Maguindanao serta upaya memberikan keadilan bagi para korban. Namun, ia juga mengkritik lamanya proses hukum kasus ini.
"Setelah sepuluh tahun dan proses pengadilan terhenti di bawah tiga presiden, keputusan ini terlalu lama dibuat. Satu dekade terlalu lama bagi keluarga korban, karena keadilan yang ditunda adalah keadilan yang ditolak," kata dia pada Kamis (19/12/2019) seperti dilansir laman resmi Amnesty International.
Selain itu, menurut Bequelin, pemenuhan keadilan bagi keluarga korban juga masih jauh dari sempurna. Sebab, masih ada 80-an orang lainnya yang diduga terlibat di kasus pembataian Maguindanao belum ditahan.
Apalagi, terdapat sejumlah saksi yang diduga dibunuh selama proses hukum yang berjalan terlalu lama. Bequelin menilai hal ini turut memperparah budaya impunitas yang mewarnai kasus pembantaian Maguindanao.
"Keputusan pengadilan hari ini menunjukkan roda keadilan terus berputar. Tersangka pelanggaran HAM akan dimintai pertanggungjawabannya," ujar dia.
Bequelin pun mengingatkan kini Filipina masih menjadi kawasan yang paling mematikan di dunia untuk jurnalis. Sebab, pada 2019, setidaknya ada 15 jurnalis Filipina tewas karena serangan yang diduga terkait pekerjaan mereka sebagai wartawan.
Oleh karena itu, dia mendesak pemerintah Filipina berupaya memastikan keamanan dan keselamatan jurnalis di negara ini sekaligus menghukum mereka yang terlibat dalam pembunuhan wartawan.
"Mereka [pemerintah Filipina] juga harus mengungkap tentara swasta yang menopang kekuatan klan politik," tegas Bequelin.
- Laporan Jurnalis Korban Kekerasan Ditolak, Polisi Tak Paham UU Pers
- Bagaimana Jurnalis Dandhy Laksono Dikriminalisasi soal Kasus Papua?
- Dua Polisi Penganiaya Jurnalis Dijatuhi Sanksi Akibat Langgar SOP
- Otoritas Hongkong Dikecam Setelah Deportasi Jurnalis Yuli Riswati
- Parade Kebrutalan Tentara Jepang dalam Pembantaian Nanking
Editor: Agung DH