Menuju konten utama

Otoritas Hongkong Dikecam Setelah Deportasi Jurnalis Yuli Riswati

Sejumlah kelompok masyarakat sipil mengatakan bahwa deportasi terhadap Yuli Ristiani 

Otoritas Hongkong Dikecam Setelah Deportasi Jurnalis Yuli Riswati
Sejumlah mahasiswa bermasker dari Universitas Po Leung Kuk Yao Ling Sun memprotes hukuman yang diberikan kepada pelajar yang bertikai untuk melindungi tembok Lennon, salah satu simbol protes anti pemerintah, di depan sekolah mereka, di Hong Kong, China, Selasa (8/10/2019). ANTARA FOTO/REUTERS/Tyrone Siu/nz/djo

tirto.id - Sejumlah kelompok masyarakat sipil mengecam deportasi terhadap pekerja migran cum jurnalis asal Indonesia, Yuli Arista alias Yuli Riswati oleh otoritas Hongkong pada Senin (2/11/2019). Menurut mereka, hal ini menunjukkan buruknya perlindungan atas hak berekspresi di Kota Mutiara dari Timur tersebut.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menilai perbuatan otoritas Hongkong adalah bentuk kriminalisasi yang agresif.

"Tindakan kepolisian Hongkong terhadap Yuli merupakan bentuk pemolisian yang agresif. Tindakan itu melanggar kewajiban Pemerintah Hongkong di bawah standar maupun hukum internasional hak-hak asasi manusia,” kata Usman melalui keterangan tertulis yang diterima Tirto pada Selasa (3/11/2019).

Yuli telah 10 tahun bekarier sebagai pekerja domestik di Hongkong. Selain itu, dia juga sering menulis untuk SUARA, sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di Hongkong.

Yuli juga pendiri media Migran Pos, sebuah media yang menyampaikan laporan soal pekerja migran. Atas kerja kepenulisannya, Yuli pernah mendapat penghargaan Taiwan Literature Award for Migrants.

Seiring meletusnya aksi unjuk rasa di Hongkong, Yuli aktif menulis soal aksi tersebut. Ketua AJI Surabaya Miftah Faridl menyebut tulisan-tulisan Yuli sangat bermanfaat untuk mengetahui kebenaran di Hongkong.

Faridl menyebut Yuli menyajikan informasi dari narasumber yang ada di lokasi, alih-alih sekadar mengutip peringatan normatif dari Konsulat Jenderal RI di Hongkong.

Namun diduga aktivitas ini yang diduga membuatnya harus berurusan dengan pihak berwajib.

"Aktivitas jurnalisme warga yang dilakukan Yuli dianggap berbahaya oleh otoritas Hongkong. Yuli menyajikan semua informasi yang didapatnya melalui media alternatif bernama Migran Pos yang digagasnya bersama sejumlah pekerja migran," kata Faridl.

Direktur Migrant Care Indonesia Anis Hidayah menuntut pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas terhadap pemerintah Hongkong.

"Tindakan Pemerintah Hong Kong terhadap Yuli bersifat represif dan tidak lazim. Sudah seharusnya pemerintah Indonesia memprotes perlakuan tidak adil pemerintah Hong Kong dan memberi perlindungan hukum untuk Yuli," kata Direktur Migrant Care Indonesia Anis Hidayah lewat keterangan tertulis pada Selasa (3/12/2019).

Kasus ini bermula pada 23 September 2019 kala Departemen Imigrasi Hongkong manangkap Yuli di tempat tinggal sekaligus tempat kerjanya atas tuduhan overstay. Yuli baru dilepas malam harinya dengan jaminan 500 Dollar Hongkong.

Yuli sendiri mengaku memang lupa memperpanjang visa pasca memperpanjang paspor pada 24 Juli 2019. Namun hal itu adalah hal yang jamak di kalangan pekerja migran dan bisa diselesaikan secara administratif.

Yuli akhirnya menjalani sidang perdana pada 30 September 2019. Hakim memutuskan Yuli bebas dengan jaminan 2000 Dollar Hongkong dan harus tinggal di rumah majikan serta menjalani wajib lapor.

Pada sidang kedua, 4 November 2019 hakim menyatakan Yuli bersalah karena overstay dan menjatuhkan hukuman berupa wajib berkelakuan baik dan tidak melanggar peraturan selama 12 bulan. Jika tidak, Yuli dikenakan denda 1000 dollar Hongkong.

Meski begitu, Departemen Imigrasi malah membawa Yuli ke Pusat Imigrasi Castle Peak Bay, alasannya Yuli tidak memiliki teman atau tempat tinggal di Hongkong. Hal ini pun sempat dibantah Yuli karena ia memiliki kontrak kerja, tapi petugas bergeming.

Di dalam tahanan, Yuli selalu meminta form pengajuan perpanjangan visa. Namun ia baru diberi izin untuk memperpanjang visa pada 8 November 2019 lalu. Namun tiga hari berselang Departemen Imigrasi Hongkong mengeluarkan perintah pemulangan untuk Yuli.

Pengacara yang mendampingi Yuli berusaha mengakukan banding dan penangguhan sampai izin visa yang baru diajukan itu keluar. Namun pada 29 November 2019 seorang petugas imigrasi memaksa Yuli menulis pernyataan pembatalan pengajuan perpanjangan visa.

Yuli sempat menolak sampai akhirnya ia tak tahan lagi karena demam yang tak kunjung sembuh. Dia akhirnya dideportasi dari Hongkong pada Senin (2/12/2019) dengan penerbangan dari Hongkong ke Surabaya.

"AJI Surabaya ikut menjemput Yuli saat tiba di Bandara Internasional Juanda di Sidoarjo pada 2 Desember 2019. Saat ini, Yuli berada di lokasi aman dan masih dalam proses pemulihan kesehatan," kata Faridl.

Saat dihubungi Tirto melalui pesan singkat, Yuli mengatakan bahwa dirinya masih diperkenankan kembali ke Hongkong setelah dideportasi.

“Soal ini sebelumnya pihak Imigrasi bilang Saya bisa mengajukan permohonan visa masuk Hongkong dari Indonesia. Tapi tentang apakah nantinya ditolak tidak mereka menolak menjawab,” ujadnya kepada reporter Tirto, Selasa (3/12/2019).

Baca juga artikel terkait TKI DIDEPORTASI atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Widia Primastika