Menuju konten utama

"Cuti Kampanye untuk Hindari Penyalahgunaan Fasilitas Negara"

Pejabat negara dilarang gunakan fasilitas negara untuk kepentingan selama kampanye Pemilu.

Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas tentang penataan administrasi kependudukan pasca putusan Mahkamah Konstitusi di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/4/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

tirto.id - Para pejabat negara yang terlibat kampanye pencalonan kepala daerah maupun presiden dan wakil presiden dilarang menggunakan fasilitas negara. Agar memastikan larangan itu berjalan efektif maka para pejabat negara diwajibkan mengajukan cuti.

“Menteri misalnya, dia harus cuti. Cuti itu kalau menteri dibatasi seminggu hanya satu hari, kalau hari libur tidak perlu cuti,” kata Ketua KPU Arief Budiman di Jakarta, Kamis (5/4).

Seperti dilaporkan Antara, anggota KPU Wahyu Setiawan dalam RDP dengan Komisi II DPR pada Senin (2/4), KPU akan membuat Peraturan KPU mengenai cuti kampanye presiden dan wakil presiden pada kampanye pemilihan presiden, yang mewajibkan mereka cuti di luar tanggungan negara.

Ketentuan soal cuti pada masa kampanye secara garis besar memang sudah diatur dalam pasal 281 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilu secara jelas menyebutkan kampanye Pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil Presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota dan wakil wali kota dilarang menggunakan fasilitas dalam jabatannya kecuali fasilitas pengamanan sebagaimana diatur undang-undang. Pasal ini juga mewajibkan para pejabat yang terlibat kampanye mengambil cuti.

Komisioner KPU Ilham Syahputra mengatakan larangan menggunakan fasilitas negara juga berlaku bagi para kepala daerah yang menjadi juru kampanye atau calon kepala daerah. “Kalau nanti Pemilu ada gubernur atau bupati atau wali kota yang akan berkampanye mendukung salah satu capres tidak boleh pakai fasilitas negara atau fasilitas negara lain,” kata Ilham.

Kewajiban cuti bagi calon kepala daerah petahana yang kembali bertarung di Pilkada 2018, diatur dalam Peraturan KPU Nomor 15 tahun 2017 pasal r ayat 1 poin R.

Mengenai mekanisme cuti bagi calon presiden petahana Komisioner KPU Hasyim Asy'ari menjelaskan, sang calon presiden petahana cukup mengajukan surat cuti kepada KPU lewat Menteri Sekretaris Negara. “Cukup mengajukan surat cuti kampanye dan di surat itu menyatakan akan kampanye kapan, di mana, udah itu aja," kata Hasyim.

Hasyim pun mengungkapkan bahwa rentang waktu cuti presiden hanya berlaku satu hari. Bila presiden ingin berkampanye lagi di hari kemudian, maka ia harus kembali mengajukan surat cuti.

KPU dan DPR telah sepakat pemberitahuan rencana cuti presiden dan wakil presiden yang ikut Pemilu harus dilakukan maksimal sehari sebelum jadwal rehat diambil. Selain itu, selama melakukan cuti, presiden bisa sewaktu-waktu kembali menjalankan tugasnya jika ada kondisi genting dan memaksa.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan mekanisme cuti yang dibuat KPU sejatinya berfungsi untuk mencegah penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan fasilitas jabatan, dan mobilisasi birokrasi. Namun, Titi mengatakan seharusnya ada regulasi yang mencegah calon petahana menyalahgunakan jabatan di luar masa kampanye.

"Harus dipastikan saat dia tidak berkampanye dia harus terikat pada komitmen tidak menyalahgunakan wewenang, fasilitas jabatan, anggaran, dan mobilisasi birokrasi untuk pemenangan dirinya," kata Titi.

Mengenai hal ini, ia mencontohkan kasus Ahok di Kepulauan Seribu, Jakarta. Terlepas dari kontroversi penistaan agamanya, menurut Titi tidak selayaknya Ahok dalam kapasitasnya sebagai gubernur bicara soal pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang diikutinya.

Selain itu, Titi juga menekankan pentingnya fungsi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum terhadap calon petahana yang menyalahgunakan jabatan.

Ragam Respons Soal Cuti Kampanye

Partai Gerindra dan Demokrat mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil cuti saat pemilihan presiden (Pilpres) 2019 berlangsung. Ketua DPP Gerindra, Ahmad Riza Patria menyatakan Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 telah mengatur bahwa presiden yang mencalonkan kembali harus mengambil cuti.

"Kami minta semua pihak memahami, ini aturan dibuat untuk kepentingan semua, bukan hanya kepentingan presiden atau wakil presiden atau pasangan calon, tapi jauh yang lebih penting untuk kepentingan bangsa," kata Riza di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (20/3/2018).

Wakil Ketua Komisi II DPR ini menyatakan jika Presiden Jokowi tidak mengambil cuti, maka akan berpotensi menyalahgunakan wewenang demi kepentingan pencalonannya. "Jangan sebaliknya, jam kerja, jam tugas, dipakai untuk kepentingan kampanye. Jadi tidak boleh terbalik," kata Riza.

Senada dengan Riza, Wakil Ketua Umum Demokrat, Syarifudin Hasan menyatakan cuti kampanye bagi petahana dalam Pilpres 2019 merupakan sebuah aturan yang tidak dapat diganggu gugat.

Namun, tak semua pihak sepakat dengan ketentuan cuti kampanye bagai pejabat negara. Ketua DPR Bambang Soesatyo termasuk yang bersikap beda. Ia mengatakan keputusan KPU dalam rencana peraturan tentang kewajiban cuti kampanye terhadap presiden dan wakil presiden petahana yang mengikuti pemilihan presiden 2019.

"Kebijakan ini tidak biasa, karena itu, saya tidak tahu motivasi dan dasarnya KPU membahas dan mengambil keputusan tersebut," kata Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (4/4).

Ia beralasan bila presiden mengambil cuti saat kampanye maka akan ada kekosongan kekuasaan, dan ini akan mempengaruhi keberlangsungan pemerintahan dan negara.

"Peristiwa Pilpres bukan kali ini saja, kita sudah melewati masa-masa Pilpres dan memberikan pengalaman kepada kita. Kita tidak melihat adanya gangguan ketika Presiden masih menjabat lalu mencalonkan diri kembali," ujarnya.

Anggota Ombudsman Republik Indonesia Ahmad Alamsyah Saragih mengatakan setuju dengan ketentuan wajib cuti bagi calon petahana yang bertarung di Pemilu. Menurutnya hal serupa juga pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat bertarung di Pemilu 2009.

Namun menurutnya cuti presiden harus memiliki mekanisme khusus karena ada kewajiban-kewajiban yang melekat dengan posisinya sebagai kepala negara. "Mungkin bagi presiden agak khusus karena sebagai kepala negara kan enggak boleh absen dia menerima tamu dan lain-lain. Harus dijalankan,” kata Alamsyah.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Politik
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Muhammad Akbar Wijaya