tirto.id - Peneliti Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy menilai defisit APBN, yang mencapai Rp101,04 triliun per April 2019, disebabkan oleh tingginya realisasi belanja bantuan sosial (bansos).
Menurut Yusuf, tingginya belanja bansos itu ternyata tidak diimbangi dengan penerimaan negara yang tinggi. Akibatnya, defisit APBN per April lalu jauh lebih besar daripada periode yang sama tahun 2018, yakni Rp54,87 triliun.
“Realisasi belanja bantuan sosial juga tinggi. Realisasi bantuan sosial terhadap target belanja sosial ada pertumbuhan cukup signifikan,” kata Yusuf saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (18/5/2019).
“[Bansos] Ini tak bisa dikompensasi di pos penerimaan. Jadi defisit anggaran,” tambah Yusuf.
Yusuf mengatakan langkah menggenjot belanja bansos sebenarnya tidak mendorong pertumbuhan di awal tahun, sebagaimana klaim pemerintah selama ini.
Dia berpendapat belanja modal seharusnya lebih diprioritaskan lantaran memiliki efek multiplikasi lebih baik. Sayangnya, dia mencatat, belanja modal justru mengalami pertumbuhan minus.
“Ketika pemerintah mempercepat realisasi belanja modal selain ada stimulus akan ada efek penerimaan negara. Misal PPN impor dan PPh buruh,” ucap Yusuf.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan per April 2019 lalu, realisasi bantuan sosial sudah mencapai Rp54 triliun atau setara dengan 55,64 persen dari pagu APBN.
Sri Mulyani mengatakan penyaluran dana bansos ini ditujukan untuk Program Keluarga Harapan (PKH), Penerima Bantuan Iuran (PBI) untuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan realisasi Program Indonesia Pintar (PIP).
“Tingginya penyerapan bantuan sosial ini juga merupakan bagian dari kebijakan countercyclical atau stimulus bagi pertumbuhan sejak awal tahun. Ini yang menyebabkan konsumsi tetap terjaga,” kata dia seperti dikutip dari Antara.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom