Menuju konten utama

Melawan Penyedotan Mata Air oleh Mayora Group

Sejak 2014 warga melancarkan protes mengusir PT Tirta Fresindo Jaya, anak perusahaan Mayora Group, yang akan membangun pabrik air minum kemasan Le Minerale. Lokasi itu adalah sumber mata air yang menopang kehidupan warga. Protes memuncak pada awal Februari 2017 dan berujung kriminalisasi.

Melawan Penyedotan Mata Air oleh Mayora Group
Aksi warga di depan PN Pandeglang pada sidang praperadilan tiga pejuang air yang ditangkap polisi dengan tuduhan perusakan alat berat PT Tirta Fresindo Jaya. FOTO/Agnes

tirto.id - Sisa bekas kemarahan warga masih terlihat di lokasi pembangunan pabrik, 8 Maret lalu. Dari tepi Jalan Raya Serang-Pandeglang KM 5, di dalam kawasan pabrik dekat pintu masuk, terpacak backhoe yang dibakar warga pada 6 Februari 2017. Juga bekas pecahan kaca bangunan kantor.

Aksi protes ratusan warga pada hari itu semula menuju kantor Bupati Pandeglang. Lantaran tidak ditemui Bupati Irna Narulita, mereka lantas turun menuju lokasi perusahaan dan merusak properti PT Tirta Fresindo Jaya, anak perusahaan Mayora Group, yang memproduksi air minum kemasan Le Minerale. Sesudah puncak aksi itu, aktivitas pembangunan pabrik dihentikan. Hanya ada pekerja keamanan yang berjaga-jaga di lokasi. Ketika tim Tirto ke sana, seorang satpam menolak memberi izin peliputan ke dalam lokasi pabrik dan memantau kami dari kejauhan.

Aksi warga merupakan imbas dari kekesalan sejak 2014. Warga merasa diombang-ambingkan para pejabat dan politikus, dari Pandeglang hingga Banten.

“Kejadiannya begitu cepat, warga langsung masuk ke pabrik,” ujar ustaz Sanusi dari Desa Suka Indah, Kecamatan Baros, sekira 2 km dari lokasi perusahaan kepada reporter Tirto, 9 Maret lalu.

Lokasi pabrik terletak di kawasan delapan mata air di wilayah Kabupaten Serang dan Pandeglang. Ia masuk dalam kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Serang-Pandeglang. Saat perusahaan menimbun empat mata air pada akhir 2013 dan mengujicobakan penyedotan air tanah sebagai bahan baku pada awal 2016, warga dari kampung-kampung di Kecamatan Baros dan Cadasari, berada di perbatasan Serang dan Pandeglang, melakukan protes tanpa henti. Warga takut atas dampak air yang menyusut dan irigasi sawahnya terganggu bila pabrik beroperasi.

PT Fresindo mengajukan izin sejak Agustus 2013. Pada Desember, perusahaan menerima surat persetujuan dari Pemerintah Kabupaten Pandeglang untuk membangun tapak (site plan) pabrik. Pada akhir tahun itu juga aktivitas perusahaan mulai mengeruk lahan-lahan bekas permukiman dan persawahan warga yang sudah dibeli.

Pada 5 Maret 2014, Bupati Pandeglang saat itu, Erwan Kurtubi, memberi izin terpadu kepada Hendarta Atmadja—salah seorang direktur perseroan Mayora Group—untuk membangun industri minuman ringan PT Tirta Fresindo Jaya. Pada 22 Mei, perusahaan mengantongi izin pengusahaan air tanah. Total luas lahan dan bangunannya sebesar 12 hektare dan 4,6 ha dengan nilai investasi Rp250 miliar. Lokasi pabrik berada di Kampung Keramat Mushola, Desa Cadasari, Kecamatan Cadasari.

Semula rencana itu disembunyikan. Perusahaan masuk ke kampung dengan memakai perangkat desa sebagai makelar tanah. Ahmad Sadli, yang menemani Tirto menyusuri mata air di dekat lokasi, mengatakan warga hanya tahu bahwa pembebasan lahan sawah untuk perumahan. Ia menunjuk lokasi mata air yang dulu digunakan warga, termasuk yang mengalir ke pesantren Al Hijaiyah milik pamannya, Ustaz Hasan, salah satu dari 42 pesantren tradisional di dekat lokasi perusahaan. Kebanyakan warga memang memanfaatkan sumber air dengan cara memasang selang atau pipa ukuran kecil. Jarang ada warga yang menggali sumur dengan pompa listrik.

“Kalau ini mata air untuk ke rumah saya,” kata Sadli menunjuk sebuah kubangan, tempat ada beberapa selang yang menyedot sumber air itu menuju permukiman, di tengah rumput liar. “Ini saya gali sendiri. Dulu sempat hilang dan muncul di sini,” tambahnya.

Tahu bahwa aktivitas perusahaan mulai mengganggu kenyamanan warga, dari mulut ke mulut, puluhan dan ratusan warga dari berbagai kampung rutin berdoa bersama di lokasi pabrik setiap pekan sepanjang pertengahan akhir 2014. Mereka berdemonstrasi di kantor Kabupaten Pandeglang. Spanduk-spanduk penolakan mulai marak.

Menyadari "tingginya intensitas penolakan masyarakat di sekitar lokasi perusahaan", Bupati Erwin Kurtubi akhirnya mengeluarkan surat pemberitahuan pada November 2014 kepada direktur utama PT Tirta Fresindo Jaya untuk "menghentikan kegiatan investasi." Surat ini, sayangnya, tidak berkekuatan hukum. Aktivitas perusahaan jalan terus setahun berikutnya, bahkan mulai membangun pagar tembok dan memasang patok. Tatkala PT Fresindo mengebor dan mengujicoba penyedotan air tanah pada awal 2016, dampaknya, penampungan air warga menyusut dan irigasi pertanian terganggu.

INFOGRAFIK HL Kasus Air Pandeglang mayora vs warga

Melanggar RTRW

Selain tanpa sosialisasi yang terang kepada warga bahwa perusahaan bakal membangun pabrik air minum kemasan, ada dugaan pemalsuan surat persetujuan warga. Dari tiga puluh delapan tandatangan warga di Kampung Keramat Lebak dan Keramat Mushola, lokasi terdekat tapak pabrik, sebanyak 36 tanda tangannya dipalsukan. Hanya dua orang yang mengaku menandatangani lembar persetujuan pendirian pabrik. Surat inilah yang diklaim perusahaan sebagai syarat pengajuan izin lingkungan kepada pemerintah daerah Pandeglang.

Saat klaim surat itu diragukan, belakangan ada revisi. Warga yang namanya dicatut dikumpulkan oleh mediator, lantas mengganti rugi tiap tandatangan warga dengan uang Rp1 juta. Uang ini pun masing-masing dipotong Rp200 ribu bagi mediator. Pertemuan itu juga seakan menghasilkan kesepakatan bahwa pihak PT Fresindo akan membangun musala, memperbaiki jalan raya dan sarana air bersih. Janji ini cuma akal-akalan.

“Sampai saat ini tidak ada," ujar Sanusi. "Karena yang berjanji bukan pihak perusahaan.”

Selama tim reporter Tirto di lapangan, dari 8-10 Maret 2017, sumber-sumber yang mengetahui duduk perkara sejak awal perusahaan masuk, mengaku tidak pernah bertemu dengan pihak manajemen PT Tirta Fresindo Jaya. Paling banter warga hanya bertemu dengan para pekerja di lokasi perusahaan.

Selain kejanggalan di lapangan, di tingkat perizinan pun kehadiran PT Fresindo diduga menyalahi aturan dalam Perda 3/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Pandeglang 2011-2031. Anehnya, Perda RTRW ini pun dipakai oleh Dinas Izin Terpadu untuk membolehkan industri minuman ringan PT Tirta Fresindo Jaya. Acuan yang dipakai Pemda Pandeglang menyebutkan kawasan rencana pembangunan pabrik adalah daerah industri menengah (pasal 42 ayat 1 huruf a poin 7).

Namun, dalam Perda yang sama, disebutkan kecamatan Cadasari, tempat lokasi pabrik, termasuk dalam kawasan resapan air (pasal 31 ayat 1 dan 2); kawasan lindung geologi (pasal 35 ayat 4); dan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (pasal 39 ayat 6).

Surya Darmawan, Kepala Bidang Pelayanan Perizinan, Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kabupaten Pandeglang, mengelak rencana lokasi pabrik adalah kawasan lindung geologi. “Izinnya tidak ada masalah dan sudah lengkap serta ada rekomendasi Dinas terkait,” kata Surya kepada Tirto, 9 Maret 2017.

Sementara Suhadi, Kepala Seksi Pengusahaan Air Tanah dari Dinas Pertambangan Provinsi Banten, membantah jika Kecamatan Cadasari disebut kawasan lindung geologi. Sejauh ini, katanya, di Provinsi Banten belum ada penetapan kawasan lindung geologi, meski dalam Perda RTRW Kabupaten Pandeglang 2011-2031, Cadasari disebut sebagai daerah mata air.

“Kawasan lindung geologi yang baru diurus karst saja. Jadi, kalau dibilang kawasan lindung geologi itu belum ada,” kata Suhadi kepada Tirto, 10 Maret 2017.

Mayora Group Membantah

Sribugo Suratmo, humas korporat PT Mayora Indah Tbk, mengatakan "kekhawatiran warga tak beralasan" bila nanti pabrik beroperasi bakal menyusutkan air. Sebab, pabrik memakai air dalam sebagai bahan baku air minum kemasan Le Minerale.

“Sumur dalam itu masuk artesis dan tidak mengganggu sumur permukaan,” kata Sribugo via telepon, 16 Maret 2017. Ia mengklaim, sejauh ini rencana pendirian pabrik sudah disosialisasikan termasuk kepada tokoh ulama setempat.

Selain itu, Sribugo membantah jika rencana lokasi pabrik termasuk dalam kawasan lindung geologi. Ia mengatakan PT Tirta Fresindo Jaya sudah melakukan semua prosedur. Semua izin dari Pemda sudah beres.

Ia berkata, perusahaan diminta Bupati Erwan Kurtubi untuk menanamkan investasi. Dengan logika bisnis air minum dalam kemasan mesti tersebar, dan bisa memangkas ongkos distribusi, perusahaan menyetujui tawaran tersebut. Kalau ada penolakan dengan menyebut bahwa izin perusahaan melanggar aturan di atasnya, Sribugo mengatakan perusahaan tinggal jalani saja sebab sudah dapat izin dari bupati.

"Izin pendirian sudah ada, kemudian izin prinsip sudah ada, Pemda juga tahu, kemudian Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sudah tahu. Mayora berani bangun karena semua sudah tidak ada masalah," ujar Sribugo.

INFOGRAFIK HL Kasus Air Pandeglang Le minerale

==============

Tim reportase

Reporter: Arbi Sumandoyo, Fahri Salam, Mawa Kresna

Fotografer & videografer: Sandya Windhu Febryas, Andrey Gromico

Kredit foto: Agnes Yusuf (Serang)

Editor: Fahri Salam, Zen RS

Baca juga artikel terkait KONFLIK AGRARIA atau tulisan lainnya dari Arbi Sumandoyo

tirto.id - Bisnis
Reporter: Arbi Sumandoyo
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam