tirto.id - Bibit konflik mulai terlihat sejak awal 2014. Saat itu Pemerintah Daerah Pandeglang memberi izin lokasi dan izin pengusahaan air tanah kepada PT Tirta Fresindo Jaya (Mayora Group) untuk mendirikan pabrik air minum kemasan Le Minerale. Lokasinya di kawasan sumber mata air dan lahan pertanian pangan berkelanjutan serta kawasan lindung geologi.
Meski izin diberikan oleh Pemda Pandeglang, kawasan sumber air di lokasi PT Fresindo masuk pula dalam administrasi Kabupaten Serang. Di kawasan itu setidaknya ada 8 mata air. Untuk Kecamatan Baros (Serang) ada empat mata air bernama Cilarangan, Cilisungbunian, Cikondang, dan Cikopo. Di Kecamatan Cadasari (Pandeglang), ada empat mata air lain bernama Cinangka, Ciwarasta, Kedu Bedul, dan Kadu Buut.
Empat mata air di Cadasari itu telah ditimbun perusahaan dengan cara mengeruk lahan pertanian dan permukiman yang telah dibeli PT Fresindo. Pembelian lahan ini lewat para perangkat desa sebagai makelar. Warga semula tidak mengetahui rencana pabrik. Saat pembebasan lahan pada akhir tahun 2013, warga hanya mengetahui bahwa lahan-lahan ini dipakai buat perumahan. Sampai kini, dari sumber-sumber yang mengetahui rencana itu sejak awal, warga tidak pernah melihat ada perwakilan atau manajemen PT Fresindo bicara langsung kepada warga.
Di lokasi perusahaan itu, areal terdekat yang jadi pusat penolakan warga, ada sedikitnya 42 pesantren.
Saat penimbunan pada akhir 2013, dan terutama ujicoba penyedotan air tanah pada awal 2016, seketika penampungan air warga menyusut. Ia juga bikin irigasi pertanian warga terganggu. Situasi itu, singkat kata, telah membangunkan kenyamanan warga.
Ustaz Sanusi, warga dari Desa Suka Indah, Baros, sekitar 2 km dari lokasi perusahaan, mengatakan bahwa selama ini air menjadi urat nadi kehidupan warga. "Bahkan kalau panen, petani di sini bingung bagaimana cara buang air, bukan kekurangan air."
Sepanjang 2014-2017, warga melancarkan protes. Demonstrasi. Doa bersama di areal sumber mata air. Mendatangi kantor bupati. Menyurati DPRD Banten, Komnas HAM, Kantor Staf Presiden, dan Dewan Sumber Daya Air Nasional. Warga meminta perhatian agar tuntutan mereka didengarkan. Sebaliknya, selama itu pula, perusahaan dan Pemda tetap bergeming. PT Tirta Fresindo Jaya bahkan memagar tembok dan memasang patok areal perusahaan.
Kesal karena tuntutan warga tidak pernah digubris, pada 6 Februari 2017, ratusan warga sekali lagi mendatangi kantor bupati. Sayangnya, Bupati Irna Narulita, istri dari mantan bupati dua periode (2000-2009) Achmad Dimyati Natakusumah, enggan menemui warga. Berang, warga lantas menuju lokasi perusahaan.
Amuk tak terhindarkan. Warga membakar beko dan merusak bangunan PT Fresindo. Buntutnya, sehari kemudian, tiga warga dikriminalisasi: Bima Fahru Aziz (24 tahun), Puadi (24 tahun), dan Sair Firdaus. Mereka, oleh kalangan warga, disebut sebagai "pejuang air."
Sumber daya air yang menjadi titik tolak protes warga adalah kawasan suci, demikian orang-orang di sana menyebutnya. Ia telah lama menjadi berkah dan penopang kehidupan serta kegiatan pesantren warga. Mereka enggan melihat generasi berikutnya, anak cucu mereka, sulit mengakses air yang melimpah, mengalir lewat sungai-sungai kecil dan besar, yang membelah perkampungan dan jalan.
Solihin, warga asal Sukabumi yang tinggal di Kampung Muntur, sekira 1,5 km dari lokasi perusahaan, memakai pengalamannya sendiri di tempat asalnya warga kesulitan air karena sumber daya air disedot oleh Aqua, salah satu pemain besar dalam industri air minum kemasan di Indonesia. Solihin termasuk individu yang melawan kehadiran PT Tirta Fresindo Jaya sejak akhir 2013 gara-gara usaha ternak ikan tempatnya bekerja kekurangan air setelah Fresindo menimbun empat mata air. Ia cekcok dengan seorang petani karena debit air mengecil mengairi sawah.
Solihin mengecek musababnya. Ia belakangan tahu bahwa di pusat sumber air telah ada aktivitas pengerukan lahan dengan backhoe oleh perusahaan untuk menutupi mata air warga. Ia protes sejak itu. Dalam istilahnya, warga takut "bisa ngising teu bisa ngisang." Maksudnya, kau bisa berak, tapi kau tak bisa cebok.
Kampung Muntur sendiri, salah satu pusat gerakan protes terhadap PT Fresindo, didatangi oleh 40-an polisi dari unit buru sergap sesudah peristiwa 6 Februari. Polisi menggeledah lima rumah warga dan menyisiri orang-orang dalam daftar incaran. Puadi, seorang suami, seorang ayah dari putri berumur tiga tahun, yang ditangkap polisi ketika bekerja sebagai tukang pangkas rambut, berasal dari Kampung Muntur.
"Masyarakat yang diuber-uber. Mayora malah dibiarkan," kata Solihin di rumah keluarga Puadi.
Langkah Pemkab Pandeglang memprivatisasi sumber daya air adalah sinyalemen dari apa yang disebut "perang air" yang cenderung meminggirkan si miskin dalam mengakses air bersih.
Dalam kalimat Sanusi: "Kami tidak ada masalah dengan Mayora. Yang salah adalah instansi pemerintah. Kami ingin Mayora tutup dan pergi."
Percik konflik di perbatasan Serang dan Pandeglang ini, sekitar dua jam perjalanan darat dari ibukota Indonesia, memang cuma pojok tak terlihat. Kalau kau ke sana, sepanjang jalan, sawah menghampar, selang-seling dengan permukiman. Itu jalan raya yang sepi menjelang malam. Jarang ada lampu jalan.
Namun ia menyimpan titik didih. Tiga warga yang ditangkap segera kemudian ditetapkan tersangka. Mereka kini menunggu sidang perdana.
Tindakan mengkriminalkan warga, dari sumbu konflik sejak akhir 2013, ini menambah deretan panjang konflik sumber daya dan agraria di Indonesia. Dari Kendeng, Sukamulya, Kulonprogo, Urut Sewu, Tulang Bawang dan Mesuji di Lampung, Serapat di Kalimantan Selatan, serta puluhan titik konflik lain. Kini warga di perbatasan Serang - Pandeglang menghadapi persoalan yang sama. Ya, Pandeglang, Tanah Kaum Ulama dan Jawara.
Penulis: Fahri Salam
Editor: Fahri Salam