tirto.id - Rencana pembangunan pabrik PT Tirta Fresindo Jaya, anak perusahaan Mayora Group yang memproduksi air kemasan Le Minarale, ditentang warga sejak izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Pandeglang pada awal 2014. Warga dari kampung-kampung di Kecamatan Baros dan Cadasari—kawasan perbatasan Serang dan Pandeglang—menolak kehadiran perusahaan karena khawatir sumber mata air menyusut.
Sepanjang 2014 hingga Februari 2017, warga terus melancarkan aksi penolakan dan menuntut Pemda Pandeglang membatalkan izin pabrik PT Fresindo. Selama itu, perusahaan telah menimbun empat sumber mata air dan melakukan uji coba penyedotan air tanah. Dampaknya, sumur-sumur warga menyusut dan irigasi buat persawahan tersendat.
Puncaknya, 6 Februari lalu, sekitar 400-an warga mendatangi lokasi perusahaan dan membakar backhoe serta merusak kantor perusahaan. Peristiwa itu berbuntut pada penangkapan dan penahanan tiga warga, yang ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan merusak properti perusahaan.
Selain protes di lapangan, di tataran perizinan, kehadiran PT Fresindo di sana memunculkan sejumlah kejanggalan. Salah satunya, rencana lokasi pendirian pabrik terletak di kawasan mata air dan kawasan lindung geologi, juga kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
PT Fresindo mengantongi izin hanya dari SK Kepala Dinas Tata Ruang Kebersihan dan Pertamanan Kabupaten Pandeglang. Surat ini lantas dijadikan rujukan bagi Kepala Badan Pelayanan Perizinan Terpadu untuk merilis izin lokasi PT Tirta Fresindo Jaya.
Pada Maret 2017, penjabat Gubernur Banten Nata Irawan merilis surat kepada Bupati Pandeglang Irna Narulita, yang menegaskan bahwa surat izin pengusahaan air tanah pada 22 Mei 2014 untuk PT Fresindo telah berakhir pada 22 Mei 2016. Surat ini juga menyatakan bahwa wewenang penerbitan izin pemakaian dan pengusahaan air tanah berada di tangan pemerintah provinsi. Terlebih lagi lokasi perusahaan terletak di antara dua kabupaten.
Poin penting lain adalah kawasan tersebut adalah Cekungan Air Tanah (CAT) Serang- Tangerang, sehingga untuk mendapatkan izin harus lewat rekomendasi dari kementerian ESDM.
Di balik polemik izin dan penolakan warga tersebut, Sribugo Suratmo, humas korporasi PT Mayora Indah, mengatakan PT Fresindo telah beres mengantongi izin lokasi dan lingkungan sejak awal. Bahkan, klaimnya, perusahaan sudah mensosialisasikan kepada warga sekitar rencana pendirian pabrik. Ia juga berkata lokasi tersebut adalah kawasan industri, bukan kawasan lindung geologi.
“Kita berani bangun karena semua sudah tidak ada masalah,” kata Sribugo via telepon, 16 Maret 2017.
Berikut petikan wawancara Sribugo Suratmo dengan Arbi Sumandoyo dari Tirto.
Warga menolak rencana pendirian pabrik PT Tirta Fresindo Jaya di Pandeglang, apakah perusahaan sebelumnya melakukan sosialisasi?
Izin pendirian sudah ada satu, kemudian izin prinsip sudah ada, Pemda juga tahu, kemudian Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah sudah tahu. Mayora berani bangun karena semua sudah tidak ada masalah. Pada waktu mau membangun itu sudah diadakan sosialisasi. Kita adakan bakti sosial, kiai-kiai juga melakukan segala macam.
Memang dalam hal ini, pada waktu membeli tanah itu, ada orang yang kita pakai (pembebasan tanah). Kan, tidak semua orang dong dipakai (buat pembelian tanah). Nah, yang tidak kita pakai, tidak mendapatkan uang, berusaha untuk menolak kita.
Kemudian soal air. Air apa sih yang membuat kering? Kita dari perusahaan besar akan memproduksi air mineral di situ. Itu, kan, mengambil airnya dari sumur dalam. Sumur dalam itu masuk artesis dan tidak mengganggu sumur permukaan dan pembuatan sumur sudah melalui izin. Kalau sumur dalam itu dari ESDM, karena itu sama dengan tambang. Itu izinnya juga sudah kami dapatkan.
Memang, kalau sumur dalam itu, kan, kontraktornya bukan dari Pandeglang. Tetapi pekerja-pekerjanya, karyawannya, nanti kita akan ambil dari orang sana. Kita serahkan kepada masyarakat, lurah atau Pemda setempat. Kalau mau model semua bekerja, ya pakai sistem shift kerja (giliran). Izin Mendirikan Bangunan sudah ada, kemudian dibangunlah pabrik.
Kemudian namanya lokasi pabrik, kan, harus dipagar, dibuatlah pagar. Dari membuat pagar itulah, orang-orang merasa, 'Wah tidak dimintai izin'. Padahal kami menyosialisasikannya sudah lama, dengan berbagai cara. Kiai-kiai sudah bicara, silaturahmi, dan itu sudah dilakukan. Kita sekarang mau bikin bakti sosial besar-besaran, supaya sekalian mereka kita rangkul.
Bahwa ada hal-hal yang membutuhkan pengamanan, kita ke polisi, mau ke mana lagi? Saya juga bisa datangkan Kopassus dari Serang, tetapi kan enggak benar, makanya kita pakai kepolisian. Mereka menuduh kita kongkalikong, lalu bagaimana dong? Nah, sekarang, kalau memang kita tidak boleh investasi di situ, ya sudah dari awal kita tutup saja.
Lokasi yang jadi rencana pembangunan pabrik masuk dalam kawasan lindung geologi. Apakah perusahaan mengetahui ini?
Lokasi apa? Kawasan lindung geologi? Saya kok baru dengar. Kan begini, ada kawasan hutan industri, ada kawasan yang tidak boleh diapa-apakan karena itu kawasan konservasi. Kalau kawasan lindung geologi itu ada, cuma di titik itu termasuk tidak. Saya terimakasih, lho—ini saya catat, namanya kawasan lindung geologi.
[Catatan Redaksi: PT Tirta Fresindo Jaya maupun warga yang menolak perusahaan memakai basis yang sama, yakni Perda 3/ 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Pandeglang tahun 2011-2031. Pemda Pandeglang memakai RTRW untuk merilis rencana tapak pabrik (site plan) pada 9 Desember 2013 dan izin lokasi pembangunan industri minuman ringan pada 30 Januari 2014 kepada PT Fresindo. Sementara warga memakai rujukan yang sama untuk melihat rencana lokasi pabrik sebagai kawasan resapan air (pasal 31 ayat 1 dan 2); kawasan lindung geologi di sekitar mata air (pasal 35 ayat 4); dan kawasan lahan pertanian pangan berkelanjutan (pasal 39 ayat 6)]
Mengapa PT Tirta Fresindo Jaya tertarik merencanakan pabrik air kemasan Le Minerale di Pandeglang?
Kalau bisa pabrik-pabrik (air minum) itu tidak terpusat di satu tempat. Katakanlah (kami ada) di Ciawi, yang baru di Cianjur. Kita ingin (meningkatkan) ekonomi masyarakat di seputaran Pandeglang. Kita juga punya pabrik biskuit di Balaraja (Tangerang) dan kita lihat Pandeglang menjadi sumber (air), kenapa tidak? Pembicaraan kita waktu itu, saya datang ke rumah bupati saat itu (Erwan Kurtubi) dan bupati tidak masalah. Kita kemudian disuruh investasi, ya sudah kemudian kita bikin pabrik.
Kalau ditanya kenapa dibuat di situ, karena di situ airnya bagus dan kita ingin meratakan semua (pabrik) tidak terpusat di Cianjur dan Ciawi (Jawa Barat). Seperti kita buat di Pasuruan (Jawa Timur), itu airnya bagus. Juga di Medan dan Palembang kita buat.
Kalau jualan air itu harus dekat dengan konsumen, karena barangnya berat. Kalau kamu tanya kenapa, karena kita ingin ekonomi masyarakat di daerah itu juga meningkat. Ada pabrik, ada orang kerja. Dan kita pikir, apa yang bisa kita bantu untuk Kabupaten Pandeglang.
Dan izin ini tidak ada masalah dalam Perda RTRW?
Iya, kan, ada Perda, ada pasalnya menyebutkan, dan itu dipakai. Mungkin kita juga tidak lihat dan buat apa (lihat) kalau sudah dikasih izin. Kita jalani saja.
Bagaimana dengan izin lokasi pendirian pabrik? Kawasan tersebut tak hanya di Kabupaten Pandeglang tapi juga di Serang.
Lho, kalau bupati sudah mengizinkan, itu nanti tinggal lapor ke atas.
Bukankah sudah diatur dalam undang-undang jika melibatkan dua kabupaten, harusnya izin dari provinsi?
Setelah kedua bupati mengizinkan, Bupati Pandeglang (bilang) OK, Bupati Serang, OK. Naik ke Provinsi Banten, kan, tidak ada masalah.
[Catatan: Kabupaten Serang sama sekali tak memberi izin lokasi pendirian pabrik kepada PT Fresindo. Dari sana perusahaan mengajukan izin ke Kabupaten Pandeglang. Dari reportase di lapangan: tanah yang dibebaskan oleh PT Fresindo berada di dua kabupaten, di Kecamatan Baros (Serang) dan Cadasari (Pandeglang). Perusahaan memasang patok-patok pembatas areal persawahan dan permukiman warga yang sudah dibeli]
Artinya ada izin dari Bupati Serang?
Mestinya. Itu maksudnya tanahnya ada di dua kabupaten.
Apa upaya PT Tirta Fresindo Jaya mengingat sampai kini warga terus menolak?
Wah, jangan tanya saya, itu ada bagiannya, bagian aset. Saya hanya tahu di pemerintahan dan saya, kan, urusannya di perindustrian, perdagangan, di soal izin-izinnya. Kalau tidak boleh, ya kami ikut. Nah, kamu tahu, kan, sampai saat ini pabrik belum diteruskan pembangunannya, sampai menunggu lebih lanjut. Itu saja.
Bagaimana soal rekomendasi dari Bupati Kurtubi tahun 2014 yang isinya menghentikan kegiatan investasi perusahaan?
Kalau kita membangun, itu kan ada IMB-nya, dan itu sudah (kami dapatkan). Coba saya cek deh sama bagian aset, seperti apa suratnya.
Penulis: Arbi Sumandoyo
Editor: Fahri Salam