tirto.id - Sabtu 11 Maret 2017. Menjelang magrib, ustaz Dayat mendatangi rumah ustaz Hasan. Ia membawa kabar yang sudah lama diharapkan warga: keputusan penutupan aktivitas PT Tirta Fresindo Jaya.
Rencana pendirian pabrik air minum kemasan Le Minerale, produk anak perusahaan Mayora Group, sudah lama ditolak warga lantaran dianggap berdampak merusak mata air. Sumur warga surut sesudah uji coba pengeboran pada awal tahun 2016. Sejak itu warga kian giat melancarkan protes penolakan dan menuntut perusahaan hengkang.
“Sudah ada surat dari Gubernur (bahwa) pabrik ditutup,” kata ustaz Dayat. “Saya sudah lihat foto suratnya. Tadi saya dari rumah ustaz Sanusi, ada pertemuan di sana.”
Untuk meyakinkan kami, ia menelepon seseorang untuk membawa foto surat tersebut. Setengah jam kemudian, orang yang ditelepon itu datang dan menunjukkan foto surat yang disebut-sebut sebagai surat penutupan PT Fresindo.
Surat bernomor 050/700-BAPP/2017 dengan sifat penting itu dikeluarkan oleh Penanggung Jawab Gubernur Nata Irawan, dirilis bulan Maret 2017 tanpa tanggal. Surat itu ditujukan kepada Bupati Pandeglang dengan keterangan perihal: Hasil Rapat Koordinasi.
Ada enam poin. Poin pertama menegaskan surat izin pengusahaan air tanah pada 22 Mei 2014 untuk PT Fresindo telah berakhir pada 22 Mei 2016.
Kedua, PT Fresindo hingga kini tidak mengajukan daftar ulang. Mengacu pada salah satu pasal yang mengatur pengusahaan sumber daya air, izin PT Fresindo tidak lagi berlaku.
Ketiga, berdasarkan UU 23/2014 tentang pemerintah daerah, surat ini menegaskan wewenang penerbitan izin pemakaian dan pengusahaan air tanah dalam daerah provinsi adalah kewenangan pemerintah provinsi.
Keempat, pemerintah memprioritaskan pengusahaan tata air kepada Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Sementara pemberian izin pengusahaan air kepada swasta harus dilakukan dengan syarat yang ketat.
Kelima, terkait lokasi Cadasari yang masuk dalam Cekungan Air Tanah (CAT) Serang-Tangerang, untuk mendapatkan izin pengusahaan air di daerah itu, PT Fresindo harus mendapat rekomendasi dari kementerian ESDM. Ini sesuai surat edaran kementerian pada 17 April 2015 tentang penyelenggaraan pelayanan di bidang air tanah.
Poin terakhir pemerintah meminta pihak berwenang melakukan pengawasan terhadap aktivitas PT Fresindo.
Poin-poin itu dianggap oleh ustaz Dayat dan warga lain sebagai sinyal penutupan pabrik produk Le Minerale.
“Itu, kan, sudah sama artinya mau menutup,” kata Dayat.
Namun keyakinan Dayat diragukan oleh koleganya, yang menyatakan surat itu bukan surat keputusan karena tidak ada kalimat yang eksplisit dan tegas menyatakan pemerintah provinsi menutup aktivitas PT Fresindo.
Saat kami mengontak Nata Irawan, penjabat Gubernur Banten ini mengatakan bahwa “pemerintah belum mengeluarkan keputusan menutup pabrik”. Ia bilang baru “mendalami” izin dan fakta-fakta kerusakan mata air yang menjadi poin utama penolakan warga.
“Sepanjang kalau pihak Mayora ada kekurangan, bisa memenuhi, saya kira lanjut bisa-bisa saja,” kata Nata via telepon.
Sayangnya, kabar atas apa yang dianggap “surat penutupan pabrik (anak perusahaan) Mayora” terlanjur menyebar dari mulut ke mulut. Bahkan, setelah ada surat itu, masyarakat telah menyiapkan acara syukuran dan doa bersama. Mereka menilai perjuangan mereka sejak 2014 akhirnya berbuah hasil.
Upaya Meredam Aksi Warga
Isu penutupan pabrik Mayora bukan kali pertama diumbar pemerintah. Pada 21 November 2014, Bupati Pandeglang saat itu, Erwan Kurtubi (2011-2016), pernah menyurati Direktur Utama PT Tirta Fresindo Jaya untuk menghentikan kegiatan investasi. Alasan penghentian karena “tingginya intensitas penolakan masyarakat.”
Kabar di masyarakat, Bupati sudah mencabut izin PT Fresindo. Warga berpikir surat dari bupati mengakhiri kegiatan pembangunan pabrik serta pengeboran air tanah dalam. Fakta berbicara sebaliknya. Perusahaan terus menyiapkan pembangunan pabrik dan mengebor air tanah dalam.
Warga geram. Ustaz Sanusi, yang tinggal di Desa Suka Indah, Kecamatan Baros, sekira 2 km dari lokasi perusahaan, mengatakan sejak dikeluarkan surat itu warga menuntut pemerintah dan polisi menindak tegas PT Fresindo.
Tiga tahun tanpa ketegasan pemerintah, kesabaran warga akhirnya habis. Puncaknya, 6 Februari 2017, warga melakukan aksi di kantor Bupati Pandeglang. Namun, lantaran tidak ditemui Bupati Irna Narulita (istri mantan bupati dua periode Achmad Dimyati Natakusumah), warga lantas mengalihkan aksi menuju lokasi PT Fresindo. Aksi itu berujung ricuh. Warga membakar beckhoe dan merusak kantor perusahaan.
“Warga menuntut perusahaan menuruti putusan pemerintah, bahwa izin sudah dicabut. Kami demo di kantor Bupati, Bupatinya ada, tapi tidak mau menemui warga,” ujar Sanusi.
Dinas terkait dari Pemda Pandeglang memang sengaja mengabaikan surat dari Bupati Kurtubi. Ini diungkapkan Surya Darmawan, kepala pelayanan perizinan badan penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu satu pintu, saat kami menemuinya pada Kamis, 9 Maret 2017.
Menurut Surya, pengabaian ini atas dasar "surat itu bukanlah produk perundang-undangan yang setara dengan surat keputusan” dan tidak memiliki kekuatan hukum. “Sedangkan yang diterbitkan itu hanya surat biasa. Tidak bisa digunakan. Cerita dihentikan (memang) benar, tapi sebetulnya bisa diabaikan,” kata Surya.
Surya mengatakan motivasi surat itu dikeluarkan untuk meredam aksi warga" yang semakin massif. "Pak Erwan (Kurtubi) saja mengeluarkan surat itu. Tujuan utamanya bukan untuk menghentikan,” katanya.
Surat dari bupati belakangan disambut oleh para politisi di DPRD Provinsi Banten. Pihak terakhir mengeluarkan rekomendasi kepada Pemda Pandeglang, kepolisian, dan PT Fresindo. Intinya, ketiga pihak itu diminta “menghentikan kegiatan perusahaan.” Namun, surat yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Banten Asep Rahmatullah, 8 Desember 2016, itu pun hanya bersifat imbauan. Ia sama sekali tidak mengandung kekuatan hukum.
Warga Tertipu
Tiga surat peredam protes warga, dari 2014 dan 2017, telah mengecoh warga. Puncak aksi warga pada awal Februari 2017 berujung kriminalisasi: Bima Fahru Aziz, Puadi, dan Sair Firdaus ditahan dan ditetapkan tersangka dengan tuduhan merusak properti PT Fresindo.
Dua hari sejak kami mengontak penjabat Gubernur Banten Nata Irawan, pada 11 Maret 2017, warga yang dipimpin oleh Kyai Matin Sarkowi menggelar syukuran karena menilai mereka telah berhasil mengusir perusahaan. Padahal, tanpa surat dari Nata Irawan itu pun, izin pengusahaan air tanah yang dikantongi PT Fresindo sebenarnya sudah habis sejak 22 Mei 2016.
“Senang, kita berjuang lama, empat tahun,” kata Matin via telepon, 15 Maret. “Para kiai sepuh dan masyarakat Cadasari dan Baros mengadakan syukuran gembira dengan dinyatakannya izin tidak berlaku.”
Syukuran itu menambah ironi: PT Fresindo masih dibolehkan beroperasi dan tiga warga yang kriminalisasi terancam dibui.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam