tirto.id - Saya bertemu Tikoy (14) saat ia tengah asyik berfoto dengan kawannya, Ella (14), di Terowongan Kendal, Sudirman, Jakarta Pusat, Senin (11/7/2022).
Malam itu, ia mengenakan kardigan rajut hitam polos, celana jeans biru muda polos, dan sepatu kets putih dengan dua garis hitam seperti merek Adidas, serta lengkap dengan kalung ponselnya.
Sementara Ella terlihat menggunakan outer flanel kotak-kotak merah dan hitam, kaos polos hitam dengan tulisan “coffee first”, celana jeans biru dengan robekan di lutut kirinya, dan sepatu hitam mirip merek Converse.
“Mau main doang, nongkrong-nongkrong,” tutur perempuan bernama asli Kartika Alaynasari saat saya tanyai tujuannya ke kawasan Sudirman.
Beberapa waktu terakhir, kawasan Sudirman tengah menjadi sorotan. Kawasan niaga terpadu ini mendadak disulap menjadi runwaystreet style para remaja yang datang dari daerah penyangga Jakarta seperti Citayam, Bojong Gede dan Depok. Bahkan, singkatan SCBD bukan lagi untuk Sudirman Central Business District melainkan Sudirman, Citayam, Bojong Gede, Depok.
“Citayam Fashion Week” begitu fenomena ini dikenal. Pemandangan remaja dengan fashion ala street style ini bisa ditemukan dari Stasiun Sudirman, Terowongan Kendal, hingga Stasiun MRT Dukuh Atas.
Kepada saya, Tikoy mengaku sudah empat kali ke kawasan Sudirman.
“Kemarin juga ke sini. [Berangkat] pas jam 5-an [sore], pulangnya jam 10 [malam]. Iya, [naik KRL dengan teman],” kata dia.
Menurut Tikoy, tidak ada tempat lain yang mirip dengan kawasan Sudirman. Bahkan di tempat tinggalnya di Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat, yang sebenarnya di pusat kota, juga nihil ruang publik.
Remaja yang baru putus sekolah karena tidak mampu membayar uang sekolah ini juga mengatakan tujuannya ke kawasan Sudirman bukan untuk mengadu fesyen. Menurutnya, siapapun boleh datang ke kawasan ini karena ini tempat umum walau hanya sekadar nongkrong seperti dirinya.
“Ya, keren aja [Citayam Fashion Week],” ujar Tikoy.
Sementara itu, Dandy (22) mengaku ke Sudirman hanya untuk bermain skateboard di kawasan Dukuh Atas. Ia kerap datang menggunakan motor tiga kali dalam seminggu.
“Karena kan spot di sini ya asik, beda dari yang lain. Ada [tempat skateboard di daerah Kemayoran], ya cuman masih kurang diperhatiin sama pemerintah aja,” tutur Dandy.
Menanggapi fenomena remaja 'SCBD', ia mengaku tidak mempermasalahkan banyaknya remaja-remaja yang datang hanya sekadar nongkrong.
“Siapa aja ya, boleh ke sini. Tapi jangan aneh-aneh. Kan biasanya ada aja yang nyari gara-gara, makanya di sini suka dibubarin Satpol PP. Itu dia, yang bikin jelek Jakartanya di situ,” ujar Dandy.
Ciptakan Subkultur Baru
Kawasan Niaga Terpadu Sudirman atau dikenal dengan SCBD kerap diasosiasikan sebagai kawasan elite dan eksklusif. Karyawan kantoran dengan setelan rapi dan jenama terkenal menjadi pemandangan sehari-hari di kawasan tersebut, meski tak semuanya demikian.
Entah bagaimana muasalnya, para remaja mulai berkumpul di kawasan itu. Mereka datang dari daerah-daerah penyangga Jakarta seperti Depok, Citayam dan Bojong Gede menggunakan KRL commuter line, yang jaraknya bisa satu hingga dua jam.
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun menyebut fenomena “Citayam Fashion Week” mendobrak adanya bias kelas yang selama ini dibangun.
“Saya kira fenomena Citayam Fashion Week itu adalah sebuah proses penciptaan kebudayaan baru ya, di tengah kota metropolitan, kosmopolitan, yang sudah menjadi kota dunia itu. Tentu saja sebagai satu aksi kebudayaan baru, dia mencoba untuk mendobrak satu dominasi persepsi publik tentang kosmopolitan,” jelas dia ketika dihubungi Tirto pada Selasa (12/7/2022).
Dia menerangkan, persepsi publik masyarakat global memahami bahwa kosmopolitan itu adalah semacam memiliki hak kelas tertentu yang hanya dimiliki oleh kelas menengah-elite misalnya.
“Sehingga, apa yang kemudian terjadi dengan fenomena Citayam Fashion Week itu, saya kira bisa dibenarkan sebagai satu aksi kebudayaan yang mendobrak dominasi kebudayaan lama atau kebudayaan dominan ya,” ucap Ubedilah.
Pendapat Ubedilah senada dengan pernyataan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan yang menyebut fenomena remaja “SCBD” merupakan bagian dari demokratisasi Jalan Jenderal Sudirman yang menjadi milik semua. Seluruh warga, kata Anies, diperbolehkan menikmati fasilitas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta.
“Kami membangun ruang ketiga yang menyetarakan dan mempersatukan. Ruang ketiga adalah ruang kita bersama. Biarlah mereka menikmati ruang tersebut dengan caranya masing-masing. Jangan mengklaim harus dengan cara tertentu. Yang penting jaga kebersihan dan ketertiban,” ujar Anies melalui akun instagram pribadinya.
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria mengaku senang karena kawasan Dukuh Atas menjadi destinasi wisata para remaja “SCBD”.
“Sekali lagi, kami sejujurnya senang dan bersyukur adik-adik kita, saudara kita dari Citayam bermain di Dukuh Atas, datang ke sana naik kereta. Itu satu rekreasi berkunjung ke Jakarta, sesuatu yang baik,” kata Riza di Jakarta, Senin (11/7/2022).
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Republik Indonesia, Sandiaga Salahuddin Uno bahkan menawarkan beasiswa sekolah pariwisata bagi remaja-remaja menengah ke bawah yang dinilai berpotensi mendukung pariwisata Indonesia.
“Konten-konten [media sosial]-nya keren, menarik dan mereka anak-anak eksis yang mengemas konten secara kekinian,” tutur dia.
Sementara itu, sosiolog Universitas Indonesia (UI), Devie Rahmawati memandang fenomena ini sebagai subkultur atau minimarket budaya dan dapat memunculkan salah satu alternatif kiblat kebudayaan baru.
Devie juga menyebut fenomena ini bukan akibat tidak adanya ketersediaan ruang publik di daerah penyangga. Namun, pesona kota, dalam hal ini Jakarta, menjadi pesona yang tidak mungkin dihindari.
“Ketika anak-anak itu berada dalam tawanan konten media sosial, yang isinya mendemonstrasikan kehebatan kota dan orang-orang di dalamnya, di saat mereka memiliki kesempatan seperti liburan lalu sekarang pandemi sudah mulai usai, maka mereka pasti akan berburu secara nyata,” jelas Devie.
Belum lagi karakter sosial masyarakat Indonesia yang komunal dan sangat hierarkis, di mana ada sekelompok orang yang dianggap elite, yang dalam konteks ini adalah masyarakat kota. Semua orang akan berusaha mengenal, bahkan berusaha menjadi orang yang dianggap menempati posisi tertinggi dalam masyarakat.
"Di daerah penyangga sebenarnya ada berbagai ruang publik yang juga sama serunya. Tapi kenapa mereka menyerbu Jakarta? Sederhana karena simbol kota tadi," ungkap Devie.
Hal ini didukung pula, lanjut Devie, dengan adanya akses yang mudah yaitu transportasi lewat KRL commuter line.
“Kalau mau elite, Jakarta ada yang lebih elite, yaitu Jakarta Selatan. Kenapa mereka tidak ke sana? Ya karena enggak ada aksesnya,” pungkasnya.
Ruang Publik Milik Semua
Saya menyusuri gemerlap Terowongan Kendal yang letaknya hanya sekitar 100 meter dari stasiun Sudirman. Mural film Thor terbaru, Thor: Love and Thunder nampak dominan di dinding terowongan tersebut. Di sepanjang terowongan, orang-orang terlihat mengambil gambar, video hingga pre-wedding.
Kawasan ini memang banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir, terutama usai pembangunan MRT dan pelebaran trotoar. Belum lagi jembatan-jembatan instagramable dan sejumlah bangunan ikonik lainnya di ibukota. Siapapun bisa kepincut oleh kota yang tengah bersolek ini, termasuk para remaja "SCBD".
Kehadiran mereka berhasil membuka sekat-sekat eksklusif yang selama ini menempel pada Sudirman. Jakarta, menjadi benar-benar milik semua.
Saya berjalan sedikit lebih jauh ke arah Stasiun MRT Dukuh Atas. Sekitar pukul 19.00 WIB, sekelompok petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) menghampiri tongkrongan muda-mudi di Stasiun MRT Dukuh Atas BNI.
Para remaja tersebut perlahan meninggalkan kawasan Sudirman. Saya menghampiri salah satu di antara mereka, namanya Rasya.
“Kalian dibubarin?”
“Cuman disuruh jaga kebersihan doang [sama Satpol PP]. [Tadi] enggak dibubarin sih,” jawab Rasya seraya meninggalkan kawasan tersebut bersama kawan-kawannya.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri