tirto.id - Leonardo da Vinci meninggal pada 2 Mei 1519, tepat hari ini 501 tahun lalu, dan pameran seni yang diadakan dalam rangka memperingati hari kematiannya dinilai sebagai proyek yang ambisius. Pameran itu digagas oleh dua kurator seni Louis Frank dan Vincent Delieuvin. Menurut Frank dan Delieuvin, ide membuat pameran karya da Vinci sudah muncul sejak 10 tahun lalu. Lokasi yang dibayangkan tentu saja Louvre, museum yang paling banyak menyimpan karya da Vinci. Louvre menyimpan sekitar tujuh karya lukis da Vinci seperti Annunciation, Bacchus, John the Baptist, Mona Lisa, Portrait of a Woman, The Virgin and Child with Saint Anne, dan Virgin of The Rocks.
Persiapan pameran tak semudah ekshibisi seni pada umumnya. Pada 24 Oktober tahun lalu, Quartz mengabarkan bahwa pameran tersebut diwarnai dengan ketegangan antara pemerintah Italia dan Perancis. Pada 2017, pemerintah Italia membentuk komite khusus guna mengurus perizinan peminjaman karya seni untuk ditampilkan di Louvre pada 24 Oktober 2019-24 Februari 2020. Awalnya tim tersebut mengizinkan karya-karya da Vinci dikirim ke Paris untuk dipamerkan.
Tapi tahun lalu, pejabat komite sekaligus sekretaris kementerian kebudayaan italia, Lucia Borgonzoni, menyarankan pemerintah Italia membatalkan izin peminjaman lukisan karena ia menganggap Perancis berniat menomorduakan Italia dalam memperingati hari kematian da Vinci. Italia pun punya rencananya sendiri untuk memperingati hari kematian sang maestro.
“Leonardo orang Italia, dia cuma wafat di Perancis,” kata Borgonzoni seperti yang dikutip Guardian.
Menteri kebudayaan Perancis kemudian datang ke Italia untuk menemui menteri Kebudayaan negara tersebut guna membicarakan ulang soal kesepakatan mereka. Pertemuan itu membuat sikap pemerintah Italia melunak. Sikap pemerintah Italia terhadap Perancis juga semakin membaik setelah pemimpin dua negara bertemu di Italia. Pertemuan itu memang tidak membahas soal pameran da Vinci, tetapi tetap dianggap sebagai niat baik Perancis dalam menjaga hubungan diplomatik dengan Italia.
Louvre akhirnya memajang lima dari 14 lukisan yang dikirim dari Italia. Meski demikian, mereka tidak sukses memajang karya ikonik seperti yang diinginkan. Karya Vitruvian Man, misalnya, hanya bisa dipajang selama delapan minggu.
Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan, pameran 500 tahun wafatnya da Vinci menjadi salah satu ekshibisi terlaris di Louvre. Laporan Quartz mencatat tiket pameran untuk dua minggu pertama sudah habis terjual di hari pertama pameran. Jurnalis Quartz mengisahkan bahwa ia sempat tidak bisa mengakses situs penjualan tiket pameran karena terlalu banyak orang yang mengunjungi situs. Selain itu, pihak museum juga menetapkan aturan agar pengunjung memesan tiket jauh-jauh hari bila ingin hadir pada tanggal-tanggal tertentu.
Pameran di Louvre menampilkan 162 lukisan dan sketsa karya da Vinci yang dihimpun dari beberapa tempat seperti Museum Vatikan, Uffizi Gallery Florence, National Gallery Britain, State Hermitage Museum St.Petersburg, dan Metropolitan Museum of Art New York.
Italia sepertinya tidak mau berdiam diri melihat orang-orang Perancis merayakan da Vinci. Oleh karena itu mereka pun membuat pameran serupa. Bedanya, jenis pameran yang diselenggarakan adalah pameran reproduksi karya da Vinci dalam tajuk Leonardo Opera Omnia. Rencananya, pameran tersebut dipamerkan di 15 negara termasuk Indonesia.
Di dalam negeri, 17 reproduksi karya da Vinci--dalam skala yang sebenarnya--dipamerkan di lantai 2 gedung Museum Mandiri, Jakarta Pusat, sampai tanggal 3 Maret 2020. Karya reproduksi yang dipamerkan di antaranya The Last Supper, St. Jerome, Mona Lisa, Bacchus, Portrait of a Woman, dan Annunciation.
Pihak kedutaan besar Italia untuk Indonesia selaku penyelenggara pameran menyatakan ekshibisi tersebut juga diselenggarakan untuk mempererat hubungan diplomatik Indonesia dan Italia.
Ternyata pameran reproduksi karya da Vinci tersebut jadi daya tarik tersendiri bagi sejumlah pengunjung. Ruang pameran ramai didatangi pengunjung pada akhir pekan.
Gambar yang jadi primadona dalam Leonardo Opera Omnia ialah The Last Supper. Dalam ruang pamer, panitia menyediakan sejumlah kursi di hadapan lukisan agar penonton bisa mengamati gambar berukuran 4.6mx8.8m dengan leluasa. Mereka yang masuk ke ruang pamer menyempatkan diri untuk duduk beberapa menit di kursi itu. Memandang dan mencoba memotret karya reproduksi sedetail mungkin.
Salah pengunjung bernama Anjani, 30 tahun. Ia pernah tinggal di Milan, Italia selama 3,5 tahun, tapi tidak pernah berkesempatan melihat langsung Last Supper di Milan Museum karena selalu kehabisan tiket. Mengamati karya reproduksi dalam ukuran yang sebenarnya ternyata bisa cukup membuat hatinya senang.
Mengapa tergila-gila pada da Vinci?
Da Vinci lahir pada 1492 di kota Vinci, yang letaknya cukup berdekatan dengan Firenze, kota yang saat itu termasuk sebagai salah satu kota besar di Italia. Da Vinci lahir pada zaman ketika orang-orang Italia--terutama kaum elitenya--amat menghargai ilmu pengetahuan dan pendidikan.
Dalam Gardner’s Art Through The Ages: A Global History, Fred S. Kleiner (2010) mencatat bahwa pada masa itu orang-orang akan semakin dihargai bila mereka terus berupaya untuk mengeksplorasi berbagai macam pengetahuan. Pada zaman yang kini tersohor sebagai Renaissance itu orang juga menghargai bakat seni. Oleh karena itu, da Vinci--yang gemar mempelajari banyak hal seperti seni, arsitektur, geologi, aerodinamika, botani, anatomi, mekanik, geografi, kartografi, zoologi--menjadi sosok terpandang meski tidak berasal dari keluarga super-kaya seperti Medici.
Pandangan positif kaum elite Italia terhadap seniman dan dunia seni membuat da Vinci kebanjiran order melukis mulai dari potret diri sampai mural gereja. Da Vinci pindah dari kota kecil ke kota-kota besar seperti Firenze dan Milan untuk mengembangkan pengetahuan dan mencari uang.
Dalam Madonna of The Rocks, da Vinci dipandang mampu mengekspresikan emosi dari sosok yang dilukisnya. Pengetahuan soal anatomi membuat da Vinci mampu merancang gestur dan pergerakan tubuh--yang salah satunya mewujud dalam gambar Vitruvian Man.
Pada abad ke-15, seiring dengan ditemukannya medium kertas, seniman-seniman di Italia termasuk da Vinci, turut memproduksi banyak sketsa dan menggambar dengan tinta, arang, dan kapur. Penemuan kertas membuat mereka semakin leluasa dalam mengeksplorasi kemampuan menggambar.
Lukisan The Last Supper da Vinci dinilai berhasil menggambarkan suasana secara rinci. Cahaya yang terlukis benar-benar nampak datang dari jendela khas ruang makan di biara-biara di Milan. Wajah Yudas Iskariot, murid Yesus yang berkhianat, terlihat seperti dalam bayangan. Seluruh murid Yesus juga nampak menggambarkan beragam emosi seperti ketakutan, keraguan, protes, kemarahan, dan kasih.
“Leonardo membuktikan bahwa ia punya kemampuan yang sangat baik dalam menerapkan seluruh pengetahuan yang ia punya ke dalam bentuk visual dari lukisan ini dan menghasilkan gambar yang kompleks sekaligus menggugah,” tulis Kleiner dalam bukunya.
Sampai saat ini tidak ada publikasi resmi soal jumlah persis karya da Vinci. Yang ada justru perdebatan soal benar atau tidaknya sebuah lukisan dibuat oleh da Vinci. Hal ini sempat terjadi pada lukisan Salvator Mundi.
Ada yang menganggap lukisan tersebut dibuat oleh muridnya. Ada pula yang bilang lukisan itu awalnya dibuat da Vinci dan diselesaikan muridnya. Sekarang lukisan tersebut dimiliki raja Salman. Ia membeli lukisan seharga 450 juta dolar AS--angka yang spektakuler dalam sesi lelang seni.
Salvator Mundi adalah salah satu lukisan da Vinci yang paling banyak diperdebatkan oleh para pakar seni dalam proses restorasinya. Dalam Leonardo Opera Omnia, lukisan tersebut tidak masuk proses reproduksi. Alasannya, lukisan itu dimiliki kolektor dan tak mungkin dipinjam untuk direproduksi.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 22 Februari 2020. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf