tirto.id - Kedalaman persaingan sehat antar Rafael Nadan dan Roger Federer ditunjukkan keduanya dalam luapan emosi yang mendalam pada Laver Cup tournament 2022, pertandingan terakhir Federer di dunia tenis. Dalam sebuah wawancaranya belakangan ini, Nadal mengungkapkan bawa rivalitasnya dengan Federer, sejak awal mereka bertemu di laga Wimbledon 2002 adalah persaingan yang sehat. Pada wawancara tersebut, Nadal juga mengungkapkan peran penting rivalnya tersebut dalam sepanjang karirnya di dunia tenis.
Kompetisi dalam olahraga adalah salah satu alasan utama yang membuat olahraga begitu menarik, baik bagi atlet maupun penonton. Persaingan antar atlet menjadi tontonan yang seru dan menyenangkan, dan tidak jarang menyebabkan fanatisme.
Dunia olahraga memang menuntut mental bersaing yang cukup tinggi. Bukan hanya untuk mengalahkan lawan, olahraga menuntut kesempurnaan fisik atas diri atlet. Dengan kompetisi fisik (dan juga strategi) inilah, atlet mencoba mengalahkan lawan. Sayangnya, obsesi pada kesempurnaan dan keunggulan atas lawan ini, telah menyebabkan fenomema burnout di kalangan atlet, tidak terkecuali atlet muda. Atlet dengan beban kemenangan kadang lupa, bahwa atlet adalah manusia, bukan mesin.
Cedera olahraga sering menjadi katalis untuk perjuangan kesehatan mental. Saat trauma fisik sembuh dari waktu ke waktu dengan langkah-langkah konkret untuk pemulihan, trauma emosional sering tetap melekat pada atlet.
“Ketangguhan yang dimiliki para atlet adalah kekuatan nyata yang membantu mereka menampilkan permainan mereka, membantu mereka melewati pasang surut dalam kompetisi secara efektif,” kata Jen Carter, psikolog olahraga di The Ohio State University Wexner Medical Center. “Namun ketika mereka di luar lapangan, hal tersebut bisa menjadi kelemahan karena bisa menghalangi mereka untuk meminta bantuan.”
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh University of Essex mengungkapkan, atlet yang berjuang untuk kesempurnaan dan terpaku pada kesalahan, berisiko kelelahan. Kompetisi olahraga, menurut Y.L. Hanin dalam “Emotions in sport: current issues and perspectives,” dapat memiliki dampak yang mendalam pada kehidupan emosional atlet. Atlet yang sering mengejar kemenangan pada hasil pertandingan yang tidak pasti, membuat emosi positif dan negatif yang ekstrem terjadi pada atlet.
Burnout di dunia olahraga didefinisikan sebagai atlet yang mengalami penurunan rasa pencapaian, kelelahan yang berkepanjangan, dan obsesi pada olahraga yang mereka geluti.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa para atlet itu sendiri harus waspada bahwa mengejar kesempurnaan dan terlalu mengkritik diri sendiri cenderung lebih banyak merugikan daripada kebaikan, “ ujar Luke Olsson, dari Universitas School of Sport, Rehabilitation and Exercise Sciences.
"Atlet sepatutnya dapat merayakan keberhasilan sekaligus merangkul kegagalan, sebagai kesempatan untuk meningkatkan kompetensi diri, daripada cenderung menyalahkan diri sendiri," lanjut Olsson.
Pengaruh Rivalitas pada Performa Atlet
Prof. Gavin Kilduff dari New York University Stern, AS melakukan studi terhadap lebih dari 1.000 pelari yang mereka ikuti selama enam tahun.
Prof. Gavin menemukan, seorang pelari yang mengetahui bahwa rivalnya juga ikut dalam lomba yang sama, performanya meningkat hingga sekitar lima detik lebih cepat per kilometer. Jadi jika ikut lomba marathon 10K misalnya, ia bisa lebih cepat 50 detik.
Sebuah peningkatan performa yang signifikan. Menurut Prof. Gavin, rivalitas bukanlah situasi di mana dua pesaing saling membenci. Ini lebih merupakan situasi di mana dua pesaing terkait erat satu sama lain. Rivalitas akan memotivasi atlet untuk berlatih lebih keras, dan biasanya menampilkan performa terbaik mereka saat bersaing dengan rivalnya.
Tak jauh berbeda, Journal of Experimental Social Psychology merilis sebuah penelitian gabungan dari University of Exeter (Inggris), Amherst College (AS), dan University of Stirling (Skotlandia). Penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa seseorang dapat bangkit dari performa buruk — baik dalam dunia kerja maupun olahraga — ketika rivalnya mengomentari kegagalan mereka.
“Berbeda dengan kritik internal yang biasanya justru membuat seseorang jatuh mental, kritik eksternal berdampak sebaliknya, memacu semangat untuk lebih baik, sekaligus untuk membuktikan bahwa pihak luar salah menilai,” kata ketua tim peneliti, dr. Tim Rees.
Christopher To, seorang asisten profesor manajemen sumber daya manusia di Rutgers University, Amerika Serikat, menemukan bahwa dalam beberapa situasi, memotivasi seseorang untuk mengalahkan pesaing yang lebih bagus darinya justru akan mengurangi performa. Mereka malah bisa tampil baik tanpa perlu dibanding-bandingkan dengan lawan, cukup diminta untuk mencoba yang terbaik.
To menyebutkan bahwa dampak yang berlawanan dari rivalitas ini tergantung pada respons pribadi atas stres yang dialaminya ketika menghadapi situasi tersebut. Ketika kita menganggap persaingan sebagai ancaman maka kita cenderung berpikir negatif (takut gagal, tidak percaya diri, takut tidak diakui, dan sebagainya).
Semua ketakutan itu jelas akan mengganggu mental dan berakibat pada menurunnya performa fisik. Sebaliknya, ketika kita menganggap persaingan sebagai sebuah tantangan, maka kita akan fokus pada bagaimana cara menghadapinya. Ini yang akan memicu semangat dan percaya diri. Sehingga respon terhadap persaingan dapat berupa upaya memperkuat persiapan dan meningkatkan kemampuan untuk mengalahkan lawan.
Ada Cinta di Balik Rivalitas
Menganggap persaingan sebagai sebuah ancaman bisa juga membuat sebuah persaingan dalam olahraga berjalan secara tidak sehat. Seseorang bisa saja berupaya menaklukkan lawannya dengan berbagai cara di luar sportivitas, misalnya kecurangan dan penyuapan.
Dalam artikel berjudul Health Rivarly di The Point Magazine, mantan kapten tim kriket Inggris sekaligus psikoanalisa Mike Brearley menuliskan, kata ‘rivalitas’ mengandung nilai-nilai positif seperti berjuang bersama, saling menghargai, dan memberikan yang terbaik. Jadi, sudah seharusnya rivalitas memberikan dampak positif pada seorang atlet.
“Kami memang ingin mengalahkan lawan kami (untuk membuktikan siapa yang lebih unggul). Tapi selain itu kami juga belajar dari kemampuan, keberanian, dan semangat mereka untuk membuktikan dan mengasah kemampuan kami sendiri,” tulis Mike.
Direktur pemasaran produk sport fashion Björn Borg, Jonas Lindberg Nyvang menyebutkan, dalam bisnis yang dijalankannya itu terkandung DNA salah satu rivalitas terbesar dalam jagat olahraga, yaitu antara Björn Borg dan John McEnroe.
“Mereka saling mendorong untuk terus meningkatkan diri dan menjadi lebih baik sepanjang karier tenis mereka. Dan itu menginspirasi kami untuk menyerukan kepada dunia bahwa kita tidak harus bertarung (saling menjatuhkan) dalam rivalitas. Karena pada sebuah rivalitas ada satu ruang yang di dalamnya tersimpan rasa respek dan cinta yang menurut kami sangat indah,” katanya.
Menang atau kalah, saling menghormati dan mengagumi, dan memelihara persahabatan yang saling mendukung, seperti yang dialami Nadal dan Federer, adalah sesuatu yang patut dirayakan.
Penulis: Wahyu Hidayat
Editor: Lilin Rosa Santi