tirto.id - Pernah menonton film yang bikin geli dan merinding?
Misal, saat tokoh perempuan dalam sebuah serial out-of-nowhere mencuci laptop milik suaminya? Betul, kamu tidak salah baca: membersihkan laptop dengan air dan sabun.
Atau, ketika tokoh utama sebuah film adalah seorang dokter yang memeriksa pasien dengan tekanan darah 143/165. Jika dirasa belum cukup aneh, si pasien juga dalam keadaan hamil tapi masih terlihat segar bugar.
Apa yang keliru dari adegan tersebut?
Pertama, dalam pengukuran tensi, angka sebelah kiri selalu lebih rendah dari kanan. Kedua, hipertansi krisis berada di angka 180/120, artinya tensi di atas sudah kelewat normal, sangat berbahaya untuk keselamatan sang ibu dan bayi dalam kandungan.
Rentang adegan receh, cringe, dan juga cheesy sebenarnya beragam. Tidak hanya menampilkan premis di luar logika, terkadang adegan receh muncul dalam dialog antartokoh yang membuat kita pengen segera loncat ke ending cerita.
Baru-baru ini, misalnya, Netflix merilis film My Oxford Year (2025) yang menggambarkan Ana De La Vega (diperankan Sofia Carson), seorang perempuan Amerika yang mempelajari puisi era Victorian di University of Oxford.
Untuk menegaskan sosok Ana sebagai kutu buku, kudet, dan berbeda dengan perempuan lain, dialog receh dan cringe pun dibuat.
"Aku punya fetish dengan perpustakaan. Aku suka dikelilingi oleh buku. Bagiku bau buku tua adalah yang terbaik. Saat umurku sepuluh tahun aku membaca seluruh novel Phillip Pullman," ujar Ana ketika sedang berbincang dengan Jamie Davenport (diperankan aktor Corey Mylchreest), yang juga dosennya.
Alih-alih terasa natural, karakter Ana justru menunjukkan sisi dirinya yang pretensius dan dibuat-buat. Seorang pembaca buku yang lumrah rasa-rasanya tidak akan memberikan pernyataan seperti Ana hanya untuk memperlihatkan betapa kerennya bacaan yang dimiliki.
Dengan segala kritikan terhadap adegan receh nan cringe, adegan-adegan semacam itu tetap eksis di dunia perfilman. Penonton sepertinya masih akan melihat adegan semacam itu sampai beberapa puluh tahun mendatang.
Sebagian dari kita mungkin lupa, saat berusia lebih muda kita pernah menikmati adegan receh yang terkesan dipaksakan begitu tanpa repot-repot mempertanyakan logika yang disuguhkan. Kita semua menerima adegan receh sebagai bagian dari plot sebuah film.
Bisa jadi, perasaan "malu" saat menonton adegan-adegan receh tumbuh seiring dengan pribadi yang semakin dewasa.
Pada masa inilah isi kepala menjadi lebih kompleks dan pengetahuan baru terus diproduksi. Maka dari itu, semakin sulit bagi orang dewasa untuk memisahkan adegan film dengan kehidupan nyata.
Kabar baiknya, perasaan malu menonton adegan receh dan cringe kemungkinan berakar dari rasa empati.
"Rasa malu akan sesuatu di luar diri pada dasarnya adalah bentuk dari empati. Rasanya seperti kita menempatkan diri sendiri di posisi orang lain, lantas merasa malu untuk mereka," Patrick Lenton merenung dalam artikel "Cringe TV and film: Why do we experience cringe?" di laman ABC.
Hingga level tertentu, perasaan cringe memang bisa sangat menyiksa—seolah-olah ada dorongan kuat untuk mematikan atau menghentikan film yang sedang ditonton.
Jika adegan receh berhasil memancing tawa alih-alih memaksa menutup mata atau berkedut stres, mungkin karena adegan-adegan semacam ini memiliki arti tertentu untuk kita.
Demikian psikiater Steve Ellen menjelaskan kepada Lenton mengenai alasan mengapa sebagain dari kita tetap menyukai lelucon cringe dan receh.
Apa yang dikatakan oleh Ellen mengindikasikan bahwa penonton secara tidak sadar mengasosiasikan diri sendiri dengan adegan yang ada di film.
Adegan receh menjadi semacam pengingat bahwa sebagian besar dari kita juga pernah canggung dan aneh di hadapan orang lain.
Namun begitu, ada juga momen menonton adegan receh digunakan untuk simulasi sosial. Seperti ditulis oleh Big Think, manusia adalah makhluk kompleks yang terikat oleh etika sosial tertentu ketika berinteraksi dengan sesama.
Untuk mematuhi etika sosial, manusia dituntut agar memiliki social awareness. Adegan cringe menyediakan simulasi dari situasi sosial yang aneh dan tidak biasa tanpa kita perlu menghadapi konsekuensinya secara langsung.
"Dengan membiasakan diri dengan skenario terburuk lewat simulasi sosial, kita menyiapkan diri menghadapi momen cringe dalam hidup, sekaligus membekali cara untuk menghindarinya. Dan jika sampai kejadian, tersedia strategi untuk menghadapinya," begitu tulis peneliti media Marc Hye-Knudsen dalam “Painfully Funny: Cringe Comedy, Benign Masochism, and Not-So-Benign Violations” (2018).
Secara tidak langsung, manusia belajar bahwa ada perilaku-perilaku tertentu yang ternyata membuat orang lain tidak nyaman, dan belajar untuk tidak melakukannya di kehidupan nyata.
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih
Masuk tirto.id







































