Menuju konten utama

Spoiler, Merusak Kenikmatan Menonton atau Justru Sebaliknya?

Hidup sudah penuh dengan ketidakpastian. Perlukah kita menambah rasa cemas dari ketidakpastian dalam film atau cerita fiktif?

Spoiler, Merusak Kenikmatan Menonton atau Justru Sebaliknya?
Header diajeng Penikmat Spoiler. tirto.id/Quita

tirto.id - “Jangan spoiler dulu, please. Aku belum nonton.”

Kalimat semacam ini sering terdengar saat kita mengobrol tentang film atau serial TV terbaru.

Alasannya sederhana. Banyak orang menganggap pengalaman menonton jadi kurang seru apabila sudah mengetahui bagaimana ceritanya akan berakhir.

Namun, seperti menikmati musik atau membaca buku, preferensi orang saat menonton film bisa berbeda-beda. Tak sedikit pula yang justru senang berburu bocoran-bocoran penting sebelum menonton.

Di ruang digital, dari YouTube, TikTok, Instagram, sampai podcast di Spotify kamu dapat dengan mudah menemukan akun-akun yang berseliweran mengulas film dengan spoiler yang memiliki banyak penggemar.

Penelitian oleh Jonathan Leavitt dan Nicholas Christenfeld yang terbit di jurnal Psychological Science (2011) menantang anggapan umum bahwa spoiler merusak kesenangan menonton.

Dalam studi tersebut, lebih dari 800 peserta membaca 12 cerita pendek dengan dua versi: satu bebas spoiler, sedangkan satu lagi sudah diberi pengantar dengan spoiler.

Cerita yang dibaca terdiri dari berbagai genre, mulai dari cerita misteri, cerita dengan plot twist, sampai cerita naratif yang emosional. Hasilnya mengejutkan. Terlepas dari genre, peserta lebih menikmati cerita yang sudah disisipi spoiler.

Leavitt dan Christenfeld kemudian mengembangkan riset mereka yang hasilnya dirilis di jurnal Scientific Study of Literature (2013).

Alih-alih menunggu pembaca selesai, mereka menghentikan pembaca di tengah cerita yang sudah diberi spoiler dan bertanya seberapa mereka menikmatinya.

Ternyata, meski belum sampai di bagian akhir, pembaca tetap lebih menikmati cerita yang sudah ‘dirusak’ oleh spoiler.

Menariknya, riset oleh tim peneliti pimpinan William Levine yang hasilnya terbit di jurnal Discourse Processes (2016) menunjukkan hasil berbanding terbalik.

Berbeda dari teknik pemberian informasi yang mendetail dan mencakup keseluruhan cerita seperti dilakukan dalam penelitian Christenfeld dan Leavitt, tim riset Levine menggunakan spoiler lebih pendek yang berfokus pada akhir cerita.

Ternyata, bagi orang-orang yang suka berpikir keras dan memecahkan teka-teki, spoiler sudah membuat mereka kehilangan tantangan sehingga cerita jadi tidak semenarik biasanya. Cara atau teknik penyampaian spoiler pun juga dapat berpengaruh pada pengalaman orang.

Melihat dua kesimpulan penelitian yang bertentangan ini, Eva M. Krockow, dosen psikologi di University of Leicester, menyimpulkan bahwa kehadiran spoiler memberikan dua hal: “kelancaran persepsi”—yang membuat kita lebih mudah memahami cerita—dan “ketegangan yang menyenangkan”—karena kita sudah tahu kapan twist atau kejutan akan muncul.

Tidak bisa dimungkiri, sebagian dari kita lazim untuk menganggap betapa hidup sudah cukup rumit dengan gonjang-ganjing ketidakpastian. Demikian juga pemirsa film.

Mereka yang memilih untuk membaca spoiler bisa jadi merasa sudah tidak perlu untuk menambah rasa cemas pada ketidakpastian yang ditimbulkan dari film.

Dengan mengetahui spoiler, menurut Krockow, “kelancaran persepsi” membantu kita agar lebih siap dalam menghadapi sesuatu yang akan terjadi. Dengan begitu, pengalaman menonton jadi lebih santai dan ringan.

Penulis skenario bisa saja mengkhianati penonton dengan membuat akhir cerita yang mengecewakan. Namun, bagi sebagian orang seperti editor Time Angela Haupt, membaca spoiler terlebih dahulu dapat menghindarkan dirinya dari pengalaman yang membikin kondisi mental terganggu.

Penulis dari Mamamia Australia, Emily Vernem, juga membagikan pengalaman serupa.

Vernem tidak bisa menonton film tanpa membaca alur sinopsis di Wikipedia.

“Membaca spoiler bikin pikiranku tenang, jadi memungkinkanku untuk seutuhnya menikmati cerita yang ada di depan.”

Christina Scott, profesor psikologi sosial di Whittier College, berpendapat bahwa orang yang menggemari spoiler cenderung lebih memiliki empati.

“Mengetahui bahwa mereka [karakter dalam cerita] akan baik-baik saja memungkinkanmu merasa aman untuk mendukung mereka dan berempati kepada mereka, karena kamu tahu investasi emosionalmu akan sepadan.”

Genre horor sering jadi pilihan bagi para penggemar spoiler. Bagi mereka yang bernyali ciut, spoiler bisa memberi “ketegangan yang menyenangkan”.

Kita tahu kapan momen menakutkan akan muncul. Maka dari itu, pengalaman menonton akan jadi lebih seru—mirip saat kita menunggu reaksi teman yang pertama kali menonton film favorit kita.

Misalnya, ketika menonton Siksa Kubur (2024), yang disebut-sebut seram oleh warganet. Apabila kita tahu bagaimana Joko Anwar membangun ketegangan misteri cerita dan kapan jumpscare akan datang, bisa saja kita menjadi lebih siap dan menikmati sensasi tegangnya.

Nah, penelitian mengenai spoiler mungkin menunjukkan hasil berbeda-beda, akan tetapi coba tanya pada dirimu sendiri: berapa kali kamu menonton Ada Apa Dengan Cinta? (2002) meski sudah tahu Rangga bakal meninggalkan Cinta?

Kamu juga tentu sudah hapal dialog-dialognya, termasuk juga puisi-puisi Rangga, seperti “Kulari ke hutan kemudian menyanyiku”.

Bagi pencinta film superhero, berapa kali kamu bolak-balik bioskop untuk nonton Avengers: Endgame (2019) pada bulan perilisan? Padahal, kamu sudah tahu bagaimana pertempuran finalnya, bukan?

Ya, beberapa orang dengan senang hati menonton film favorit berulang kali. Ini membuktikan bahwa kenikmatan menonton bukan hanya bergantung pada kejutan, melainkan juga pada keterlibatan emosional dan cara cerita disampaikan.

Jadi, kamu tim baca spoiler dulu atau lebih suka tanpa spoiler?

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Ahmad Haetami

tirto.id - Film
Kontributor: Ahmad Haetami
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih