Menuju konten utama

Cerita-cerita di Balik Keputusan menjadi Orang Ketiga

Selingkuh bukan penyebab hubungan rusak, melainkan hanya salah satu akibat dari hubungan yang sedang atau sudah rusak.

Cerita-cerita di Balik Keputusan menjadi Orang Ketiga
Ilustrasi. Selingkuh.

tirto.id - Katanya, kita tidak pernah bisa memilih jatuh cinta dengan siapa. Jatuh cinta masalah hati dan sifatnya spontan, termasuk ketika menyukai seseorang padahal kita sudah memiliki seseorang atau menyukai seseorang yang sudah milik orang lain.

Perselingkuhan yang konon sudah ada sejak jaman sebelum Ratu Cleopatra, kini sudah tidak tabu untuk diperbincangkan. Belakangan pun marak muncul berita perselingkuhan dari dunia selebriti, juga serial-serial film Indonesia yang mengangat perselingkuhan.

Orang yang berselingkuh dan yang menjadi orang ketiga pun bisa dikatakan "skornya seri’" Istilah pelakor (perebut laki orang) dan pebinor (perebut bini orang) imbang dibicarakan. Laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi selingkuh dan menjadi selingkuhan.

Melansir dari media New York Post, Agustus 2022 lalu, seorang antropolog dan penulis Untrue, Wednesday Martin, menyebutkan hasil penelitiannya yang mengoreksi stigma perselingkuhan: laki-laki selingkuh karena pasangannya kehilangan minat pada seks.

Faktanya, minat seks pada perempuan sangat berapi-api dan selalu punya keinginan untuk dipuaskan. Sehingga perempuan punya potensi besar mencari pria lain di luar hubungannya karena alasan tidak terpuaskan di rumah.

Disebutkan pula oleh Martin kepada media News, ia mengutip penelitian yang dilakukan oleh Missouri State University, perempuan "mengaudisi teman mesra" karena mereka berada dalam ikatan pernikahan tanpa seks atau tanpa orgasme.

Alasan Riil Terjadinya Perselingkuhan

Lex dePraxis, Love & Relationship Coach, penulis buku best seller Loveable Lady Formula dan Glossy Gentlement Guide, co-founder Kelas Cinta, menjelaskan bahwa orang yang jadi selingkuhan biasanya karena ada 2 jalur.

Pertama, tidak tahu sama sekali dirinya selingkuhan atau baru tahu belakangan setelah terjalin hubungan kedekatan tertentu. Kedua, sudah tahu sejak awal bahwa dirinya orang ketiga dalam hubungan orang lain. Artinya, secara sadar memilih dan menyediakan diri sebagai selingkuhan.

“Dan selingkuh itu bukan penyebab hubungan rusak, selingkuh hanyalah salah satu akibat dari hubungan yang sedang atau sudah rusak. Jika pada kasus ketidaksetiaan, benar pelakunyalah yang salah. Namun bukan berarti ketidaksetiaan itu terjadi murni 100% karena ulah pelaku. Karena hubungan adalah milik berdua, jadi tanggung jawab berdua,” ujar Lex.

Nice Maylani Asril, M.Psi., Ph.D., Psikolog Klinis, Peneliti dan Dosen Universitas Pendidikan Ganesha Bali pun menjelaskan mengenai alasan mengapa seseorang memutuskan atau mau menjadi orang ketiga,“Alasannya sangat bervariasi. Beberapa alasan umum termasuk ketidakpuasan dalam hubungan saat ini, pencarian kepuasan emosional atau seksual yang tidak terpenuhi, ketidakamanan diri, atau adanya dorongan untuk menguji keterlibatan atau kekuatan dalam hubungan orang lain. Setiap individu memiliki motivasi dan dinamika yang unik dalam memutuskan untuk menjadi orang ketiga.”

Seperti yang tuturkan Nice, sebuah penelitian Psikologi, Extramarital Sex: A Review of the Research Literature, pun menyebutkan sebagian besar penyebab selingkuh adalah karena merasa tidak puas dan tidak terpenuhi ekspektasinya dalam beberapa aspek di hubungan tersebut. Alhasil, muncullah dorongan untuk mencari kepuasan di luar pasangan utama.

Lex menuliskan pada kelascinta.com bahwa ditemukan dalam sebuah penelitian jika mereka yang berselingkuh mengakui bahwa pernikahannya sangat membahagiakan. Berarti ada faktor lain yang membuat manusia mendambakan hubungan ekstra itu.

Menilik ke beberapa pernyataan dari perempuan yang mengaku menjadi orang ketiga, mereka memiliki latar belakang motivasi atau dinamika yang unik, seperti yang dikatakan Nice, yaitu: trauma pelecehan seksual.

Berdasarkan beberapa kasus yang terjadi, Nice mengungkap, mengalami trauma seksual yang serius dapat memengaruhi gairah seksual dan pandangan seseorang terhadap hubungan.

SS (35) bercerita mengenai pengalamannya pernah diperkosa oleh pacarnya saat kuliah menjadi titik mula.

“Sejak saat itu ada yang berbeda dengan gairah seks saya. Saya tidak merasa puas jika memiliki satu pasangan.”

Pernikahan pertamanya terjadi karena MBA (married by accident). Pasca melahirkan, ia mendapati suaminya selingkuh, yang kemudian memicu hasratnya untuk meniduri pria beristri.

“Kurang dari 2 tahun menikah, saya dan suami bercerai. Suami memilih hidup dengan selingkuhannya. Lalu saya menikah lagi, karena terlanjur hamil. Saya menjadi istri kedua. Ada perjanjian di antara saya dan suami, jika salah satu diantara kami membutuhkan pengalaman seksualitas yang baru, kami harus jujur agar bisa mencari jalan keluarnya. Saya appreciate keputusan suami, mengingat pernikahan kami adalah hasil dari perselingkuhan.”

Menilik dari kasus SS, Nice mengatakan bahwa trauma seksual yang dialami SS sangat jelas memengaruhi kesehatan mental dan emosionalnya. Dan perjanjian yang dilakukan dengan sang suami dapat semakin memperburuk ketidakstabilan emosional, kepercayaan, dan keintiman dalam hubungan.

Meski disisi lain, perjanjian bisa menjadi alat negosiasi ulang dalam hubungan bahwa ada bagian yang belum terpenuhi dalam hubungan atau sebagai wake up call bahwa ada sesuatu yang perlu diperbaiki dalam hubungan.

Alasan lain orang selingkuh adalah untuk memenuhi kebutuhan material. Belum punya pekerjaan, penghasilan belum bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, atau ingin masuk ke kehidupan mewah, membuat seseorang rela jadi sugar baby, istilah lain dari orang ketiga yang berhubungan dengan sugar daddy – pria tua yang murah hati menghabiskan uang untuk kekasihnya.

Hal ini disetujui oleh Financial Planner dan Founder & Sr. Advisor Shila Financial, Ila Abdulrahman RPP, RFA, RIFA, RFC, yang sering didatangi klien sugar baby. “Salah satu klien saya, perempuan usia 20-an, memiliki 3 sugar daddy.

"Pemasukan" per bulan setidaknya Rp.50juta. Saya membuatkan perencanaan keuangan agar masa depannya terjamin dan bisa lekas terlepas dari para sugar daddy.

Infografik Selingkuh

Infografik Selingkuh. tirto.id/Fuad

Berbagai Alasan Lain

YN usia 43 tahun, mengaku menjadi WIL (Wanita Idaman Lain) kerena balas dendam, pasca memergoki suaminya selingkuh.

“Saya menjadi WIL rekan kerja suami, si A. Ada rasa menyesal tapi gejolak sakit hati saya lebih kuat dibandingkan rasa bersalah. Pasalnya, bukan pertama kali dia selingkuh, dia pernah selingkuh saat kami pacaran. Lama-lama perilaku si A sangat menyenangkan, tidak seperti suami. Saya mulai ketagihan dengan gaya berhubungan kami.”

Menurut Nice, “Mengalami pengkhianatan dari pasangan sangatlah menyakitkan, dan reaksi balas dendam bisa menjadi wajar dalam situasi ini. Namun belas dendam jarang membawa pemulihan atau solusi jangka panjang, justru memperburuk situasi dan menciptakan lebih banyak kerusakan emosional.”

“Saya tidak pernah pacaran sampai usia 25 tahun. Perasaan saya tidak pernah berbalas. Sampai suatu ketika, bertemu pria bule usia 50-an, ganteng, sangat ramah. Perfect! Mr. M ada kerja sama bisnis dengan perusahaan tempat saya bekerja. Mr. M sering ajak saya ngobrol duluan. Astaga, saya jatuh hati pada pria beristri. Tapi tak mengindahkan saya untuk men-setting keadaan supaya bisa berinteraksi lebih dekat lagi. Kontak fisik pertama saya dengan lelaki adalah dengan Mr. M di apartemennya. Baru kali itu saya merasa dihargai laki-laki, diperlakukan sangat baik dan dibuat puas dari rasa penasaran; dipeluk, dicium, dibelai, selama ini.” – W (28).

Nice menjelaskan seseorang yang mengalami keterlambatan dalam membina hubungan romantis cenderung merasa frustrasi, kesepian, atau tidak puas dengan situasinya.

Hal ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap godaan menjadi orang ketiga karena mereka cenderung mencari keintiman yang sifatnya cepat. Keterlambatan dalam membina hubungan romantik juga dapat berarti bahwa kebutuhan emosional seseorang tidak terpenuhi, mencakup dukungan, perhatian, dan kasih sayang.

Hal ini bisa membuat mereka lebih rentan terhadap perasaan tertarik pada seseorang yang telah memiliki hubungan, meskipun ini tidak selalu berarti mereka akan bersedia menjadi orang ketiga.

MP (38) mengaku sebagai perempuan Scorpio ia tidak bisa berhenti "mencapit" mangsa lawan jenis, ditambah ia memiliki fisik yang menarik, sehingga sangat mendukung. Kisah mesranya tak pernah lebih dari 1 tahun, karena cukup baginya untuk dipuaskan, dan mencari yang baru.

“Sejak belum menikah saya punya kebiasaan selingkuh sekaligus jadi selingkuhan. Kebiasaan ini terbawa sampai saya menikah. Saya addict mencari orang baru untuk ‘menemani’ saya.”

Bicara mengenai adiksi, Nice memastikan masih adanya perdebatan di antara para profesional di bidang Psikologi, apakah menjadi selingkuhan dapat diklasifikasikan sebagai adiksi.

Meski beberapa orang pernah mengalami perilaku selingkuh secara berulang dan merasa bahwa mereka tidak dapat mengendalikannya, masih ada perdebatan tentang apakah perilaku selingkuh harus secara resmi dikategorikan sebagai adiksi.

Lidia Pratiwi, penulis buku Zodiac and Shio for Lovers, meluruskan bahwa tidak ada hubungan antara selingkuh atau menjadi selingkuhan dengan zodiak.

“Seseorang punya kecenderungan memberikan label untuk dirinya sendiri sebagai bentuk pembenaran. Zodiak itu knowledge dan entertainment. Dalam dunia astrologi tidak ada satu zodiak dominan, setiap orang punya 12 zodiak di dalam dirinya, yang ada komposisi-komposisinya. Bisa dibaca dengan cukup detail karakter seseorang melalui sun sign dan moon sign-nya, tapi sekali lagi itu hanya knowledge saja.”

Selingkuh bukan Bakat Genetik, juga bukan Penyakit Mental

WebMD.com sempat menuliskan terkait adanya warisan genetik yang memengaruhi kebiasaan selingkuh. Sebuah gen bernama D4 polymorphism (DRD4) yang berperan dalam pembuatan dopamine (hormon yang diproduksi otak saat seseorang bahagia.

DRD4 berhubungan dengan perilaku mencari sensasi, pergaulan bebas, dan perselingkuhan) disebutkan sebagai "pelakunya". Ada pula gen AVPR1A (gen yang memproduksi hormon vasopressin –hormon yang mengatur rasa percaya, empati, dan ikatan seksual.) AVPR1A memiliki kemungkinan berperan terhadap sifat tidak setia.

Dituliskan juga, meski membawa "gen selingkuh" tidak berarti gen ini mengendalikan perilaku dan membenarkan ketidaksetiaan, karena manusia diberikan akal dan budi untuk mengendalikan perilaku dan mengetahui mana yang benar dan salah.

“Tentu ada sebagian orang lainnya tidak cukup beruntung menerima potensi atau bakat genetik untuk berselingkuh. Apakah orang-orang tanpa variasi DRD4, AVPR1A, bisa aman bebas dari gairah berselingkuh? Menurut saya tidak, mereka tetap akan berselingkuh karena ketidaksetiaan juga sangat terkait keadaan dan interaksi sosial,” tulis Lex di kelascinta.com.

Nice juga membenarkan, menurutnya belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa perilaku berselingkuh atau menjadi orang ketiga berkaitan dengan faktor keturunan yang spesifik.

Nice berpendapat bawah perilaku selingkuh lebih terkait dengan faktor psikologis, hubungan, dan lingkungan individu (intergenerational infidelity patterns).

Yakni adanya pola pikir dan keyakinan yang telah dikumpulkan dari hasil belajar masa lampau yang dikaitkan dengan perilaku hubungan mereka sendiri.

Hubungan romantis orang tua juga membentuk keyakinan anak tentang hubungan, yang memengaruhi perilaku dan hasil hubungan anak itu sendiri.

Melalui proses pembelajaran sosial inilah anak sering meniru perilaku orang tua mereka, dan ini menyebabkan pengalaman hubungan diciptakan kembali dari generasi ke generasi.

“Tapi adanya pengalaman perselingkuhan orang tua tidak berarti anak tersebut ditakdirkan untuk terlibat dalam perselingkuhan itu sendiri. Sekali lagi, terdapat banyak faktor lain, seperti kepuasan hubungan, yang juga memainkan peran sangat penting dalam memprediksi perselingkuhan,” tegas Nice.

Nice juga meluruskan, tidak ada konsensus di antara para profesional kesehatan mental bahwa berselingkuh atau selingkuhan merupakan penyakit.

Perilaku ini lebih sering dianggap sebagai hasil dari dinamika hubungan, kebutuhan yang tidak terpenuhi, atau masalah psikologis individu. Meskipun demikian, perilaku tersebut bisa merugikan dan membutuhkan perhatian dan perubahan untuk mencapai hubungan yang sehat.

“Kita sebaiknya menghindari untuk menghakimi dan mengutuk individu tersebut. Sebagai orang luar, kita bisa menunjukkan empati, tetapi juga penting untuk mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi pada semua pihak yang terlibat dalam situasi tersebut,” saran Nice.

Baca juga artikel terkait LIFESTYLE atau tulisan lainnya dari Natalia Dian

tirto.id - Gaya hidup
Kontributor: Natalia Dian
Penulis: Natalia Dian
Editor: Lilin Rosa Santi