tirto.id - Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI mengeluarkan imbauan tentang kemungkinan penyebaran virus nipah ke Indonesia yang berasal dari ternak babi di Malaysia. Virus ini dapat dibawa dari tubuh babi melalui kelelawar pemakan buah. Meski saat ini belum ditemukan kasus di Indonesia, kewaspadaan tetap perlu ditingkatkan.
Menurut Didik Budijanto, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vekor dan Zoonotik Kemenkes, kejadian infeksi virus nipah belum pernah dilaporkan. Hanya saja, virus ini pernah membuat kematian ternak babi di Semenanjung Malaysia di tahun 1999.
Kelelawar buah yang menjadi media penularan, secara teratur bergerak tempat tersebut menuju Pulau Sumatera, terutama Sumatera Utara.
"Sehingga ada kemungkinan penyebaran virus nipah melalui kelelawar atau melalui perdagangan babi yang ilegal dari Malaysia ke Indonesia," kata Didik seperti dikutip laman Antara News.
Sementara itu, WHO menyatakan virus nipah (NiV) berjenis virus zoonosis. Artinya, virus ini dapat menular dari hewan ke manusia. Penularan dapat pula melalui makanan yang terkontaminasi, atau langsung dari kontak antara manusia.
Orang yang terinfeksi virus nipah, dapat memunculkan beragam penyakit melalui infeksi asimtomatik sampai ke penyakit pernapasan akut dan ensafalitis fatal.
Pada hewan babi, bisa menimbulkan sakit parah dan menyebabkan kerugian ekonomi untuk peternak. Meski selama ini virus nipah hanya diketahui beberapa kali menimbulkan wabah di Asia, namun keberadaannya mesti dipahami sebagai masalah kesehatan masyarakat.
Virus nipah pertama kali ditemukan di kalangan peternak babi Malaysia tahun 1999. Pada 2001, wabah nipah ditemukan pula di Bangladesh dan teridentifikasi di India bagian timur. Wilayah lain yang berisiko dimasuki virus ini melalui migrasi kelelawar buah adalah Kamboja, Ghana, Indonesia, Madagaskar, Filipina, dan Thailand.
WHO melaporkan, infeksi virus nipah pada manusia kebanyakan akibat kontak langsung pada babi yang sakit, atau dari jaringan tubuh babi yang terkontaminasi. Selain itu, dapat pula penularan melalui sekresi babi.
Perkembangan selanjutnya, di Bangladesh dan India, pemicunya dari urine atau air liur kelelawar buah yang tubuhnya telah terkontaminasi virus nipah. Akibatnya, warga yang makan buah tersebut tertulari virus. Virus ini juga diketahui menular dari pasien ke keluarganya, hingga ke perawat pasien.
Gejala Virus Nipah
Saat seseorang terinfeksi virus nipah, ada sejumlah gejala yang muncul. Awalnya seseorang akan mengalami demam, sakit kepala, nyeri otot (mialgia), muntah, dan sakit tenggorokan.
Gejala tersebut kadang juga diikuti pusing, rasa kantuk, kehilangan kesadaran, dan tanda-tanda neurologis sebagai indikasi ensefalitis (radang otak) akut.
Beberapa penderita ada pula yang mengalami penumonia atipikal dan gangguan pernapasan parah, termasuk gangguan pernapasan akut. Pada ensefalitis dan kejang yang parah, bisa berlanjut dengan kejadian koma dalam waktu 24-48 jam.
Virus nipah memiliki masa inkubasi 4-14 hari. Masa inkubasi adalah jeda dari dimulainya infeksi virus sampai munculnya gejala di tubuh. Kadang, masa inkubasi virus ini juga mencapai 45 hari.
Kebanyakan penderita infeksi virus nipah bisa sembuh dari radang otak akut. Hanya saja, sekitar 20 persen pasien ditemukan memiliki efek neurologis residual dengan kemunculan gangguan kejang atau perubahan kepribadian. Sejumlah kecil pasien yang telah sembuh, dikabarkan kambuh lagi atau mengembangkan ensefalitis onset yang tertunda.
Sampai saat ini tidak ada obat khusus yang dipakai untuk menyembuhkan virus nipah. Perawatan suportif intensif direkomendasikan dalam pengobatan komplikasi pernapasan dan neurologis yang parah dari infeksi ini.
Pencegahan Virus Nipah
Belum ditemukan vaksin untuk melawan virus nipah, termasuk vaksin untuk babi. Oleh sebab itu, saat dicurigai terjadi wabah, maka hewan yang diduga terkontaminasi wajib dikarantina ketat. Pemusnahan hewan terkontaminasi kemungkinan diperlukan untuk mencegah risiko penularan.
Karena melibatkan babi dan kelelawar buah dalam penularannya, maka perlu membangun sistem pengawasan kesehatan hewan memakai pendekatan One Health. Di Indonesia, One Health juga diterapkan.
Nantinya, pencegahan dilakukan secara terintegrasi antara Kemenkes, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementrian Pertanian melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.
"Implementasi pendekatan One Health ini adalah salah satunya Integrasi Sistem Informasi Surveilens antara Kemenkes, Kementan, dan LHK. Di samping itu juga melakukan kolaborasi dalam perencanaan, pelaksanaan sampai evaluasi program pencegahan penanggulangan penyakit," ujar Didik.
Penulis: Ilham Choirul Anwar
Editor: Dipna Videlia Putsanra