Menuju konten utama

Cara Mengganti Puasa Suami-Istri yang Berhubungan Badan Siang Hari

Cara mengganti puasa bagi suami-istri yang berhubungan badan siang hari pada bulan Ramadhan adalah dengan puasa 60 hari atau memberi makan 60 orang.

Cara Mengganti Puasa Suami-Istri yang Berhubungan Badan Siang Hari
Ilustrasi Hikayat ramadhan kesabaran suami istri. tirto.id/Fuad

tirto.id - Cara mengganti puasa suami-istri yang berhubungan badan pada siang hari bulan Ramadan ialah dengan kafarat ‘udhma (kafarat besar). Berdasarkan hadis dari Abu Hurairah, jenis kafarat ‘udhma yang dikenakan bagi perkara ini meliputi membebaskan seorang budak, mengqadha puasa sebanyak 60 hari, atau memberi makan 60 fakir dan miskin sebanyak mud dalam bentuk makanan pokok.

Puasa secara istilah sederhana adalah ibadah menahan diri dari segala hal yang membatalkannya seperti makan, minum, dan berhubungan badan suami-istri dari terbitnya fajar shadiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu magrib).

Berhubungan badan antara suami dan istri merupakan salah satu hal yang membatalkan puasa. Syekh Ibnu Qosim Al Ghazi dalam kitab Fathul Qorib juga menjelaskan 1 dari 8 perkara yang dapat membatalkan puasa ialah berhubungan badan suami-istri di siang hari Ramadhan.

Akan tetapi, perihal batalnya puasa Ramadan karena berhubungan badan antara suami-istri tidak cukup dengan mengqadha sebanyak hari batalnya. Islam mengganjar perbuatan ini dengan kafarat ‘udhma.

Syekh Nawawi Al Bantani dalam kitab Kasyifah al-Saja juga menjelaskan salah satu dari 11 syarat jatuhnya kafarat ‘udhma adalah berhubungan badan suami-istri di siang hari bulan Ramadan.

Kafarat dari perkara berhubungan badan suami-istri di siang hari bulan Ramadan termuat dalam sebuah hadis riwayat Abu Hurairah, bahwa ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. lantas berkata, “Celakalah aku! Aku mencampuri istriku (siang hari) padabulan Ramadhan. Beliau bersabda, “Merdekakanlah seorang hamba sahaya perempuan.”

Dijawab oleh laki-laki itu, “Aku tidak mampu.” Nabi kembali bersabda, “Berpuasalah selama dua bulan berturut-turut.” Dijawab lagi oleh laki-laki itu, “Aku tak mampu.” Beliau kembali bersabda, “Berikanlah makanan kepada enam puluh orang miskin.” (H.R. Bukhari).

Dari dalil hadis di atas dapat diambil 3 jenis urutan kafarat untuk perkara suami-istri yang berhubungan badan pada siang hari bulan Ramadan. Seorang muslim yang akan membayar kafarat sebaiknya menyesuaikan dengan kemampuannya.

Pertama, memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman. Kafarat pertama ini sudah tidak selaras untuk zaman ini. Oleh karenanya, kafarat jenis pertama dilewati dan diganti dengan kafarat kedua, yakni berpuasa selama dua bulan (60 hari) secara berturut-turut.

Waktu pelaksanaanya qadha puasa dilakukan sesegera mungkin setelah bulan Ramadan itu dan sebelum datangnya bulan suci berikutnya.

Akan tetapi, bila seorang muslim tidak sanggup menjalankan kafarat kedua, maka dapat diganti dengan kafarat ketiga, yakni memberi makan 60 orang fakir dan miskin. Jumlah takaran kafarat makanan untuk setiap orang fakir dan miskin sejumlah satu mud serta dalam bentuk makanan pokok.

Kafarat untuk Suami-Istri yang Berhubungan Badan Lebih dari Sehari

Imam Nawawi dalam kitab al Majmu Syarah al Muhadzdzab menjelaskan bahwa mazhab Syafi’i mewajibkan pembayaran kafarat untuk tiap-tiap hari, baik ia telah membayar kafarat untuk hubungan badan yang pertama ataupun belum. Mazhab Syafi’i berdasar kapada pendapat Malik, Daud, Ahmad dalam salah satu riwayatnya yang shahih.

Sementara itu, Abu Hanifah berpendapat jika seseorang kembali berhubungan badan sebelum membayar kafarat yang pertama, maka ia cukup membayar satu kafarat.

Kemudian, apabila ia ternyata telah membayar kafarat untuk hubungan badan yang pertama, Abu Hanifah memiliki dua riwayat dalam perkara ini. Akan tetapi, pendapat dari Abu Hanifah yang paling shahih ialah ia harus membayar kafarat lagi.

Pihak yang Membayar Kafarat: Suami atau Istri?

Syekh Nawawi masih dalam kitab al Majmu Syarah al Muhadzdzab menjelaskan bahwa pendapat dari mazhab Syafi’i yang shahih terkait kewajiban membayar kafarah ‘udhma hanya dikenakan kepada suami. Istri dalam hal ini tidak ada kewajiban untuk membayar kafarah. Alasannya adalah melihat dalam hadis kafarat perkara ini, Rasulullah saw hanya memerintahkan bagi kaum lelaki.

Sementara itu, Imam Malik, Abu Hanifah, Abu Tsaur, dan Ibnu Al Mundzir berpendapat bahwa perempuan juga wajib membayar kafarat ‘udhma. Mazhab Hanafi menjelaskan jika alasanya terletak pada adanya kolaborasi (musyrakah) antara kedua pihak, yakni suami dan istri untuk melakukan pelanggaran.

Dalam "Suami-Istri Melakukan Hubungan Siang Hari, Siapa yang Didenda?" oleh Mahbub Ma’afi Ramdlan (NU Online), umat Islam yang mengalami peristiwa berhubungan badan pada siang hari pada bulan puasa, diimbau untuk memilih opsi yang kedua, yaitu pihak suami dan istri yang melakukan kafarat. Dengan demikian, suami dan istri sama-sama mesti menanggung puasa 60 hari sendiri-sendiri, atau memberi makan 60 orang fakir miskin sendiri-sendiri.

Tujuan memilih opsi yang kedua, selain karena itu adalah pendapat yang paling banyak diikuti oleh mayoritas ulama, juga karena langkah hati-hati. Pasalnya, jika memilih yang kedua, yaitu tanggungan dibebankan kepada suami dan istri, maka ini dapat mengakomodasi pendapat pertama (lebih baik jumlahnya banyak, daripada jumlahnya kurang).

Baca juga artikel terkait RAMADHAN 2022 atau tulisan lainnya dari Syamsul Dwi Maarif

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Syamsul Dwi Maarif
Penulis: Syamsul Dwi Maarif
Editor: Fitra Firdaus