Menuju konten utama

Capim KPK Bukan Ajang Mencari Kerja

Beberapa orang yang lolos seleksi administrasi Capim KPK adalah mereka yang mendaftarkan diri berkali-kali.

Capim KPK Bukan Ajang Mencari Kerja
Ilustrasi: Capim KPK. tirto.id/Lugas

tirto.id - Roby Arya Brata bukanlah nama asing dalam seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ia pernah mengikuti seleksi periode 2011-2015 dan 2015-2019. Pada seleksi terakhir, ia masuk 10 besar buat melewati uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III DPR—komisi yang mengurusi bidang hukum, hak asasi manusia, dan keamanan. Namun, ia gagal dalam proses tersebut.

Lulusan doktoral di Australian National University ini kembali mencari peruntungan buat bekerja di lingkungan KPK: ikut seleksi penasihat KPK periode 2017-2021 lalu calon Sekjen KPK. Namun, dua-duanya gagal.

Kini Roby, yang bekerja di lingkungan birokrasi Sekretariat Kabinet, kembali mencatatkan namanya sebagai Capim KPK periode 2019-2023. Namanya tertera di urutan 147 dari 192 orang yang lolos seleksi tahap administrasi yang diumumkan panitia seleksi pekan lalu.

“Dari jumlah 376 pendaftar, yang lolos 192 orang,” ujar Ketua Pansel Yenti Garnasih.

Roby bukan satu-satunya yang kembali mengikuti seleksi Capim KPK. Di antaranya ada Irjen (Purn) Yotje Mende, mantan Kapolda Papua; Jasman Panjaitan, mantan jaksa agung muda pidana khusus; Sujarnarko, pejabat struktural di KPK; Muhammad Rum, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah; dan Irjen (Purn) Basaria Panjaitan, Wakil Ketua KPK sekarang.

Yotje Mende pertama kali mendaftar Capim KPK periode 2011-2015 saat masih perwira aktif sebagai Kepala Biro Pengawasan Divisi Propam Polri. Pada periode berikutnya, saat menjabat Kapolda Papua, ia kembali ikut seleksi tapi gagal.

Pengalaman selama 20 tahun di bidang reserse kriminal dan pernah menyidik kasus korupsi Gayus Tambunan menjadi modal Yotje. Hasilnya, Komisioner Kompolnas ini lolos seleksi administrasi Capim KPK 2019-2023.

Begitu pula Jasman Panjaitan, saat direkomendasikan Jaksa Agung HM Prasetyo masih jaksa aktif sebagai Capim KPK 2015-2019. Pada seleksi periode mendatang, Jasman lolos tahap administrasi bersama 9 kolega lain dari Korps Adhyaksa.

Selain nama-nama di atas, wadah pegawai KPK berulang kali mendorong anggota internalnya mendaftarkan diri. Di antaranya Sujanarko dan Giri Suprapdiono, yang lolos seleksi administrasi. Sujanarko bahkan pernah masuk 10 besar Capim KPK 2015-2019 tapi gagal di Komisi III DPR.

Menguatkan versus Melemahkan KPK

Dari mereka yang berkali-kali mendaftarkan diri sebagai pimpinan KPK, mungkin profil paling menarik adalah Saut Situmorang.

Merintis karier di Badan Intelijen Negara, Saut mengikuti seleksi sejak 2003 saat lembaga antirasuah ini berdiri. Tiga kali gagal, akhirnya pada kesempatan seleksi Capim KPK periode 2015-2019, Saut terpilih pada proses penyaringan di Komisi III DPR dengan menyingkirkan petahana Busyro Muqoddas dan Johan Budi.

Yuris Rezha Kurniawan dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada menanggapi ihwal terpenting yang dilihat dari mereka yang berulangkali mengikuti seleksi Capim KPK adalah menghindari anggapan publik bahwa kesempatan ini sebagai peluang mencari kerja.

Meski tak ada larangan, dan memimpin KPK adalah hak masing-masing individu, Yuris mengingatkan tim panitia seleksi KPK—diisi oleh orang-orang yang dekat dengan kepolisian—perlu memampangkan rekam jejak para pendaftar Capim KPK kepada publik dalam kesungguhan mereka memberantas korupsi, baik dalam ucapan maupun tindakan.

“Ini berlaku untuk semua peserta. Polisi, jaksa, pegawai KPK, dan sebagainya. Ketika mendaftar dua atau tiga kali, dia harus dilihat kinerjanya di institusi masing-masing,” ujar Yuris.

Infografik HL Indepth Capim KPK Mencoba Peruntungan

Infografik Capim KPK Berkali-Kali. Tirto/Lugas

Ihwal paling gampang yang seharusnya bisa dilakukan oleh tim pansel adalah melacak pernyataan-pernyataan para Capim KPK, apakah menguatkan atau justru beriktikad melemahkan lembaga antirasuah.

Misalnya, Roby Arya Brata pernah melontarkan ucapan kontroversial beberapa kali, yang tujuannya lebih kuat mencari dukungan politisi saat proses uji kepatutan dan kelayakan di DPR pada Desember 2014.

“Saya akan dorong DPR untuk revisi Undang-Undang KPK, banyak permasalahan,” katanya.

Pernyataan itu berlawanan dengan pandangan lembaga antirasuah dan sejumlah LSM antikorupsi yang menolak secara keras atas wacana revisi UU KPK oleh DPR.

Bukan hanya itu. Dalam kesempatan yang sama, Roby mengkritik kepemimpinanan Abraham Samad, Ketua KPK 2011-2015, yang dianggapnya hanya bisa menangkap dan memenjarakan orang. Bila terpilih, katanya saat itu, dia akan membawa semangat pencegahan di KPK.

Sementara Sujanarko, kini menjabat Direktur Pembinaan Jaringan Kerja dan Antar Komisi dan Instansi KPK, mengikuti Capim KPK periode mendatang demi menaikkan skor indeks persepsi korupsi (IPK), menyebut kepemimpinan KPK periode sekarang adalah “yang paling rendah IPK-nya.”

“IPK kita selama 4 tahun naiknya hanya satu. Biasanya bisa naik 4,5 dan 10 poin,” katanya kepada Tirto.

Empat tahun terakhir, skor IPK Indonesia biasa-biasa saja. Pada 2015, skor IPK Indonesia pada angka 36; 2016 dan 2017 hanya pada angka 37; dan 2018 pada angka 38. Skor IPK 0 menunjukkan sangat korup, sedangkan skor 100 bersih dari korupsi.

“Publik banyak enggak tahu. Tentu pandangan saya enggak signifikan banget majunya. Perlu rencana strategis untuk menguasai permasalahan ini,” katanya.

Sujanarko menyebut skor indeks persepsi korupsi di Indonesia yang masih rendah “memperlihatkan ada masalah internal [di KPK]”, meski dia enggan menjabarkan apa-apa saja masalah tersebut. Dampaknya, “Kita tidak bisa mengelola eksternal.”

Baca juga artikel terkait CAPIM KPK atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Hukum
Reporter: Reja Hidayat & Andrian Pratama Taher
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam