tirto.id - Inaugurasi Joe Biden dan Kamala Harris pada 20 Januari 2021 adalah salah satu hari bersejarah bagi warga Amerika Serikat. Untuk pertama kalinya mereka memiliki wakil presiden perempuan dan untuk pertama kali pula ada wapres berdarah Asia-Amerika. Dan momen itu tak disia-siakan Kamala Harris untuk menunjukkan siapa dirinya.
Pada seremonial akbar yang disorot oleh dunia internasional itu, Harris melangkah dengan busana simbolis yang menyatakan keberagaman dan inklusivitas. Kesempatan itu juga ia gunakan untuk menyatakan dukungan kepada desainer kulit berwarna AS.
Harris mengenakan mantel cokelat yang membentuk gelombang di bagian belakang pada agenda pertama, yakni upacara peringatan untuk mengenang para korban COVID-19 di National Mall, Washington DC. Mantel itu adalah karya Kerby Jean-Raymond, desainer dari label mode Pyer Moss.
Jean-Raymond dianggap sebagai simbol desainer kulit berwarna yang sukses di industri fesyen. Secara konsisten, Jean-Raymond mengampanyekan keadilan bagi masyarakat kulit berwarna juga mempromosikan budaya kelompok ini.
Pada fashion show-nya, Jean-Raymond sering membahas tentang penghapusan narasi “Afrika-Amerika” melalui koleksi tiga serinya yang bertajuk “American, Also,”. Ia juga memilih lokasi runways dengan cerdik, yakni di Weeksville, lingkungan bersejarah yang identik dengan tempat tinggal kelompok kulit berwarna di Brooklyn.
Busana yang Harris kenakan saat mengambil sumpah sebagai wakil presiden tidak kalah mencolok. Kali ini ia datang dengan jubah berwarna ungu terang hasil rancangan Christopher John Rogers. Rogers, yang masih berusia 20-an, adalah desainer kulit berwarna yang belakangan ini tengah naik daun. Namanya semakin mencuat ketika ia memenangkan CFDA Award 2020 untuk Womenswear Designer of the Year.
Gaun tuksedo anggun berwarna hitam melengkapi penampilan Harris pada perayaan inaugurasi di malam harinya. Gaun itu dirancang Sergio Hudson, desainer kulit berwarna yang juga membuat setelan merah plum yang dikenakan Michelle Obama siang itu. Berkat hasil desainnya, Sergio Hudson menjadi salah satu nama desainer paling banyak dicari pada mesin pencarian internet keesokan harinya.
Sebelumnya, sebutan “fashion diplomacy” pernah disematkan kepada Michelle Obama kala ia menjadi Ibu Negara. Obama dikenal cerdik dalam memilih busana. Ia kerap berpindah dari satu label ke label lain yang ia anggap dapat mewakili tujuan dari setiap acara sekaligus menjadi representasi AS di mata internasional.
Untuk urusan diplomasi fesyen itu, Obama bekerja sama dengan penata busana Meredith Koop. Kepada Vogue, Koop mengatakan ia selalu berusaha memilih pakaian yang simbolis dan strategis, namun tetap praktis. Dalam pekerjaannya, Koop berusaha merangkul beragam kelompok desainer berbeda, baik desainer kenamaan maupun desainer yang baru naik daun. Koop juga dikenal sangat mendukung desainer kulit berwarna.
Sementara itu Kamala Harris pernah mengakui bahwa ia biasanya memilih sendiri busana yang akan dikenakan. Pilihan busana ia sesuaikan dengan di mana dan apa yang akan ia lakukan. Karena hal ini, Harris dianggap autentik dan cerdik dalam menampilkan citra dirinya kepada publik.
Penampilannya yang fenomenal saat inaugurasi dikabarkan mendapat bantuan dari penata busana Hollywood ternama, Karla Welch. Kabar ini belum terkonfirmasi karena Welch menolak berkomentar.
Welch sendiri memiliki reputasi yang cukup baik. Ia pernah mendandani Justin Bieber hingga Elisabeth Moss. Ia disebut sebagai “the most powerful stylist” oleh Hollywood Reporter dan New York Times. Welch dikenal sering bekerja dengan wanita populer yang memiliki karakter istimewa dan berhasil menata gaya mereka dengan karismatik dan anggun. Penata mode ini juga memasukkan nilai aktivisme sosial pada label busana pribadinya.
Upaya Mewujudkan Kesetaraan
Fesyen adalah komponen penting yang menjadi sorotan pada acara seremonial seperti inaugurasi. Momen karpet merah adalah segmen yang ditunggu-tunggu para penggemar fesyen dengan antusias. Bukan semata unjuk gaya, bagi politikus, fesyen menjadi esensial karena mengandung makna tertentu. Seremoni politik juga menjadi ajang bergengsi bagi para desainer karena publikasi yang diperoleh pada level nasional dan internasional tidak main-main.
Pilihan busana Harris saat inaugurasi menjadi topik paling dibicarakan oleh para pelaku fesyen, khususnya kelompok kulit berwarna. Harris dengan jelas menyuarakan dukungan kepada desainer kulit berwarna. Bahkan di hari pertamanya resmi menjadi Wakil Presiden AS, Harris menunjukkan komitmen kuat untuk mewujudkan inklusivitas dan keberagaman pada ranah mode.
Bagi desainer kulit berwarna, memperoleh pengakuan dan paparan publikasi seperti ini memberikan harapan akan “era baru” setelah periode industri fesyen yang rasis. Era ini diharapkan dapat memberikan kesempatan yang sama kepada para desainer kulit berwarna seperti apa yang dimiliki desainer kulit putih sejak bertahun-tahun lalu.
“Melihat banyaknya hasil karya desainer kulit berwarna saat inaugurasi adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Kami sedang mengalami perkembangan dan exposure yang belum pernah kami terima sebelumnya. Ini adalah waktu yang istimewa bagi desainer kulit hitam,” kata Undra Celeste, desainer dan pendiri Undra Celeste New York, kepada Daily Beast.
Ia menambahkan, hal ini memberikan ruang bagi desainer kulit hitam untuk menjadi pusat perhatian yang sebelumnya hanya berupa harapan semata. Dukungan yang diperoleh sangat luar biasa. Tidak hanya itu, kondisi ini juga diharapkan mendorong pertumbuhan bibit generasi desainer kulit hitam selanjutnya.
Para kritikus dan ahli fesyen berharap Harris akan terus melakukan hal serupa ke depannya. Sikap Harris yang konsisten juga akan berjasa dalam memicu peningkatan pendapatan bagi rumah mode yang digawangi desainer kulit berwarna.
“Representasi dari label fesyen pada seremoni akbar dan acara politik memberikan mereka peningkatan eksponensial baik dari segi pengakuan dan juga profit,” kata Darnell-Jamal Lisby, sejarawan fesyen, kepada Guardian.
“Ini akan menyoroti industri fesyen dan konsumennya bahwa mereka punya pekerjaan serius yang harus dilakukan untuk mengatasi 'anti-hitam' dan bagaimana itu menopang ketidaksetaraan ekonomi bagi perancang dan label fesyen kulit berwarna,” kata Eric Darnell Pritchard, penulis Fashioning Lives: Black Queers and the Politics of Literacy, juga kepada Guardian.
Sedangkan Leah Faye Cooper, editor dan penulis fesyen, menganggapnya sebagai upaya dunia mode untuk menyelesaikan permasalahan ketidaksetaraan rasial. Problem ini telah lama menahan begitu banyak desainer kulit berwarna berbakat untuk mencapai kesuksesan yang setara dengan rekan-rekan kulit putih.
“Secara historis, fesyen sangat tertutup bagi desainer berkulit hitam yang bisa mencapai tingkat kesuksesan dan visibilitas yang tinggi,” katanya. “Eksposur ini, ditambah dengan diskusi tentang ras dan kesetaraan, menandakan bergesernya industri [fesyen] secara positif ke arah yang lebih inklusif.”
Rasisme Sistemik Industri Fesyen
Sebelum dekade 2010-an, jarang ditemukan desainer kulit berwarna di AS. Bahkan hingga saat ini, rasisme sistemik masih menjadi masalah yang mengakar di industri fesyen. Berbagai upaya untuk mewujudkan kesetaraan memang sudah dilakukan, tetapi sepertinya belum cukup.
Council of Fashion Designers of America (CFDA) berusaha menciptakan inklusivitas dan keragaman dalam rilisan bertajuk Inclusion & Diversity in the American Fashion Industry. Laporan tersebut merekomendasikan agar praktisi dunia fesyen menyediakan ruang bagi sosok dari latar belakang usia, gender, ras, dan orientasi seksual yang beragam.
Kala Black Lives Matter kembali memanas pada 2020, berbagai kasus rasisme di kancah fesyen kembali mencuat ke publik. Label busana Anthropologie diklaim memiliki riwayat menandakan profil pembeli tertentu secara rasial. Pendiri blog fesyen Man Repeller mengatakan dia akan mundur setelah kritik rasisme sistemik kepada perusahaannya diutarakan secara publik. Juga merek kecantikan Glossier yang dikritik oleh karyawannya karena dianggap gagal mendukung pekerja kulit hitam.
Tom Ford, ketua CFDA, lalu mengadakan pertemuan virtual untuk membahas permasalahan rasisme sistemik di industri fesyen pada 1 Juni 2020. Dua hari kemudian, pernyataan resmi diliris. Salah satu poin penting dari pernyataan itu adalah program untuk mempekerjakan talenta kulit berwarna di setiap sektor bisnis fesyen guna mewujudkan industri yang seimbang secara ras. Sayangnya, pernyataan CFDA justru mengundang protes dan kritik dari kelompok desainer kulit berwarna.
“Pernyataan yang disederhanakan dan tidak berupaya mengatasi masalah,” kata Jean-Raymond seperti dilansir New York Times.
Ia menambahkan, pernyataan ini tidak menjelaskan bagaimana kebrutalan polisi dan apa yang bisa dilakukan oleh fesyen untuk membantu mengatasinya.
Hal ini memicu kemarahan beberapa pihak dan menjadi latar belakang berdirinya Black in Fashion Council yang dibentuk oleh Lindsay Peoples Wagner, editor Teen Vogue, dan Sandrine Charles, konsultan hubungan masyarakat.
“Organisasi ini dibentuk untuk merepresentasikan dan melindungi kemajuan orang-orang kulit berwarna di industri fesyen dan kecantikan. Organisasi ini menyatukan berbagai kelompok pelaku fesyen untuk membangun fondasi bagi inklusivitas,” jelas Wagner.
Editor: Ivan Aulia Ahsan