tirto.id - Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris membenarkan bahwa biaya pengobatan bagi korban kejahatan tidak akan lagi ditanggung lembaganya. Menurut Fahmi, ketentuan tersebut telah diatur Presiden Joko Widodo melalui Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Kendati demikian, menurut Fahmi, ketentuan itu masih akan digodok lebih lanjut dalam pembahasan bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
“Ternyata ada Undang-Undang (UU) untuk itu. Dalam UU dinyatakan, [biaya pengobatan] korban kejahatan itu ditanggung LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),” kata Fahmi di Balai Kota DKI Jakarta pada Jumat (21/12/2018).
Fahmi menegaskan bahwa berlakunya aturan tersebut tidak semestinya dimaknai sebagai kesalahan pihak tertentu.
“UU pun kemudian dibuat [penjabarannya] di peraturan yang lebih rendah, yaitu Peraturan Presiden. Nantinya kami akan coba menyisir lagi [agar menjadi] Peraturan Menteri Kesehatan,” ucap Fahmi.
Beleid yang dimaksud Fahmi ialah merujuk pada UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pada Pasal 6 dari UU tersebut memang disebutkan bahwa korban kejahatan berhak mendapatkan bantuan medis maupun bantuan rehabilitasi psikososial dan dan psikologis.
Sementara itu, pada Pasal 7A dalam UU yang sama, disebutkan bahwa korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa ganti rugi hingga penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
Aturan baru terkait biaya pengobatan bagi korban kejahatan rupanya sudah mulai diterapkan di sejumlah kantor cabang BPJS Kesehatan. Salah satunya di Curup, Bengkulu yang membawahi empat kabupaten seperti Rejang Lebong, Kepahiang, Lebong, dan Bengkulu Utara.
“Dalam Perpres Nomor 82 Tahun 2018 ini menyebutkan korban kejahatan seperti korban perampokan maupun penganiayaan tidak lagi ditanggung BPJS Kesehatan,” ujar Kepala BPJS Kesehatan Cabang Curup, Syafrudin Imam Negara.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Addi M Idhom