tirto.id - Pada Minggu (28/3/2021) pagi, bom bunuh diri meledak di Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Dua puluh orang mengalami luka-luka. Tak ada korban meninggal dunia selain pelaku suami-istri berinisial L dan YSF.
Beberapa saat kemudian Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menggelar jumpa pers dan mengatakan, "[Pengebom] merupakan bagian dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang pernah melakukan pengeboman di Jolo, Filipina."
Peristiwa di Jolo yang disebut Kapolri terjadi pada 27 Januari 2019, lebih dari dua tahun lalu. Saat itu pemerintah Filipina sulit memastikan identitas pelaku yang diperkirakan warga negara Indonesia. Enam bulan berselang, barulah Polri bisa memastikan identitas pelaku yaitu pasangan suami-istri Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh. Informasi ini didapat dari penangkapan anggota teroris lainnya di Padang, Sumatra Barat. Dari hasil interogasi ini, L dan YSF tidak berhasil terdeteksi, kendati merupakan satu jaringan.
Tiga tahun sebelum bom meledak di Makassar itu, pimpinan JAD, Zainal Anshori, dihukum tujuh tahun penjara. Pada tahun yang sama, guru Anshori, Aman Abdurrahman, yang merupakan pemimpin Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), divonis mati oleh pengadilan. Dua organisasi ini adalah penggerak sebagian besar aksi terorisme di Indonesia paling tidak dalam satu dekade terakhir.
Walaupun para pentolannya sudah ditangkap, aksi-aksi terorisme masih terus terjadi. Berada di penjara tidak bisa membendung pengaruh mereka. Aman, misalnya. Ia dianggap polisi sebagai biang kerok perkembangbiakan bibit-bibit pelaku teror. Melalui pengajaran secara online, Aman bisa meyakinkan pengikutnya untuk melanjutkan berbagai aksi yang belum berhasil ia wujudkan. Beberapa pelaku pengeboman memang biasanya belajar secara autotidak melalui media sosial jaringan JAD dan JAT.
Bom Makassar hanya menegaskan kembali perkembangbiakan bibit-bibit teroris itu. Dan seperti pada aksi-aksi teror terdahulu, pemerintah selalu kecolongan. Dalam paparan yang disusun oleh para peneliti CSIS, Fitriani, Alif Satria, dan kawan-kawan berjudul The Current State of Terrorism in Indonesia: Vulnerable Groups, Networks, and Responses (2018, PDF) peran pemerintah dalam menanggulangi terorisme memang masih terbatas.
Salah satu yang vital adalah lemahnya undang-undang terkait terorisme, yakni UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.
“Undang-undang kontra-terorisme misalnya. Belum bisa memberikan kepastian hukum terkait orang-orang yang dideportasi dari Suriah atau penanganan media sosial terkait ideologi radikal, atau menanggulangi mereka yang membantu para teroris,” catat Fitriani dan kawan-kawan.
Undang-undang ini menjadi salah satu pekerjaan rumah pemerintahan Jokowi. Meski sudah dikebut pembahasannya, tetap saja undang-undang ini tidak bisa mencegah aksi-aksi terorisme di Indonesia secara penuh.
Keluarga Pengebom di Era Jokowi
Serangan bom bunuh diri teroris memang tidak setiap tahun terjadi di Indonesia sepanjang era kepresidenan Jokowi. Pada 2014 dan 2015, misalnya, tak ada serangan bom bunuh diri atau rangkaian aksi teror yang masif.
Bukannya pelaku teror benar-benar tidak ada, tetapi Polri bisa mengedepankan pencegahan dan menangkap terduga pelaku sebelum mereka melancarkan aksi. Pada 2015, setidaknya ada 74 terduga teroris yang ditangkap polisi. Sembilan dari mereka ada yang dilepas karena tak cukup bukti.
Pada 2016, sebanyak 170 orang ditangkap karena diduga akan melancarkan aksi-aksi teror. Di awal tahun itu, terjadi serangan bom di Jl. Thamrin, Jakarta. Setidaknya ada enam ledakan dan delapan orang meninggal dunia akibat peristiwa ini. Empat orang di antaranya adalah pelaku yang melakukan bom bunuh diri. Ledakan terjadi di gedung sebelah utara Sarinah dan pos polisi yang terletak tidak jauh di depan gedung tersebut. Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) mengklaim sebagai dalang kejadian.
Di tahun 2017, pelaku terorisme meningkat menjadi 172 orang. Dua di antaranya melakukan bom bunuh diri. Mereka adalah Achmad Sukri dan Ichwan Nurul Salam yang meledakkan diri di Kampung Melayu pada Mei 2017. Akibat tindakan ini, lima orang meninggal dunia, termasuk dua pelaku.
Warsa 2018 adalah tahun paling sial menyangkut teror pada masa pemerintahan Jokowi. Pada tahun inilah polisi mencatat rekor dengan menangkap 396 terduga teroris. Teror yang terjadi pun bukan hanya satu kali, tapi ada setidaknya tiga ledakan bom bunuh diri, tiga kasus penyerangan institusi yang dijaga polisi, dan tiga gereja yang menjadi sasaran aksi.
Pada 8 Mei 2018, kerusuhan membara di sel tahanan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat. Lima polisi meninggal dunia akibat napi teroris di tempat tersebut melakukan penyanderaan.
Lima hari kemudian, ledakan terjadi di tiga gereja di Surabaya: Gereja Santa Maria Tak Bercela, GKI Diponegoro, dan Gereja Pentakosta. Pada aksi inilah pelaku teror mulai membawa istri dan anak. Untuk pertama kalinya di Indonesia, pelaku teror melakukan aksi sekeluarga. Setidaknya 29 orang meninggal dunia. Malam harinya, bom meledak di Rusunawa Wonocolo, Sidoarjo. Pelaku meninggal seketika.
Serangan di Jawa Timur belum berhenti juga. Pada 14 Mei 2018, giliran Mapolrestabes Surabaya yang didatangi pelaku bom bunuh diri yang lagi-lagi terdiri dari satu keluarga. Sel tidur teroris itu kemudian mulai bangun dan meledakkan diri. Meski satu keluarga meninggal dunia, tidak ada korban tewas dari warga sipil maupun polisi.
Pada 2019 aksi-aksi sembrono itu tak separah sebelumnya. Polisi menangkap 275 terduga teroris di tahun ini. Ada beberapa ledakan bom bunuh diri seperti di Mapolrestabes Medan pada November 2019 dan Pos Polisi Kartasura pada Juni 2019. Semuanya dilakukan secara individual. Tapi ada satu istri terduga teroris berinisial MSH alias Solimah yang meledakkan diri bersama anaknya di Sibolga, Sumatra Utara pada Maret 2019. Polisi sudah meminta suami Solimah untuk membujuk, tapi tidak mempan.
Di tahun ini juga ada aksi-aksi terorisme dengan senjata tajam. Salah satu yang cukup berani adalah SA alias AR yang menyerang Menko Polhukam Wiranto di Pandeglang pada 10 Oktober 2019. Penusukan ini tidak sampai menyebabkan Wiranto luka parah dan pelaku divonis 12 tahun penjara.
Di tengah pandemi COVID-19, Polri menangkap 228 terduga teroris sepanjang 2020. Teror bom tidak marak, tapi lagi-lagi aksi penusukan berulang. Kala itu Syekh Ali Jaber, seorang pendakwah terkenal, ditusuk saat mengisi sebuah acara di Bandar Lampung pada 13 September 2020.
Kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora juga melancarkan aksi, yaitu membunuh empat warga Sigi, Sulawesi Tengah pada 27 November 2020.
Salah satu tangkapan besar Polri pada 2020 adalah Taufik Bulaga alias Upik Lawanga. Ia merupakan perakit bom dari kelompok JI yang meledakkan Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta Selatan tahun 2003. Setelah 17 tahun dalam pelarian, Upik akhirnya dibui. Selain Upik, Polri juga menangkap Zulkarnaen yang dikenal sebagai Panglima Perang JI karena pernah menjadi Panglima Askari di Afganistan.
Yang terbaru, kini pasangan suami-istri menjadi pelaku bom bunuh diri. Al Chaidar, Herdi Sahrasad, dan Dedy Tabrani dalam tulisan berjudul "The Batih Familiy as Weapon: Analysis of the Jolo Cathedral Bomb, Phillippines (2019, PDF)" mencatat pengeboman sekeluarga adalah hal yang baru dalam aksi terorisme.
Doktrin takfiri yang tidak bisa menerima perbedaan memang merusak, tapi membawa satu keluarga untuk bunuh diri benar-benar sulit untuk dipahami. Wartawan New York Times, David Brooks, mencatat biasanya para jihadis ini diberikan timbal balik berupa jaminan surga bagi keluarganya jika melakukan bom bunuh diri. Beberapa orang juga memberikan uang ribuan dolar bagi keluarga yang ditinggalkan.
Chaidar dan kawan-kawan menduga aktor intelektual alias pemimpin gerakan melakukan doktrin baru bahwa bom bunuh diri bersama keluarga bisa mengganjar “anak-anak dan istri mereka turut mengambil surga yang mereka yakini.”
Dalam analisis yang sama, pengamat terorisme Sydney Jones juga mengatakan pengeboman di Jolo sebenarnya menjadi pertanda bagi negara-negara di seluruh dunia untuk memantau warga mereka yang menjadi simpatisan ISIS dan mencoba pergi ke Suriah.
Rullie Rian Zeke dan Ulfah Handayani Saleh, dua pelaku pengeboman di Jolo, termasuk mereka yang dideportasi, tapi tidak cepat terpantau oleh Indonesia. Dua tahun kemudian, rekan-rekan teroris mereka berakhir di Makassar setelah melakukan pengeboman lainnya.
Dalam setiap serangan teror, pemerintah selalu mengelak dan mengaku tidak kecolongan. Sayangnya, sejak 2016 hingga sekarang terorisme masih terus terjadi. Betatapun aksi teror diredam, bahkan ribuan orang ditangkap, satu pengeboman saja bisa berdampak besar, apalagi jika berujung pada hilangnya nyawa warga sipil.
Editor: Ivan Aulia Ahsan