tirto.id - COVID-19 masih menjadi bencana besar bagi Amerika Serikat. Hingga 13 September 2020, virus ini semakin merajalela di Negeri Paman Sam, melebihi di negara-negara lainnya. Menurut situs Worldometer, virus ini sudah menjangkit lebih dari 6,5 juta penduduk AS dan membunuh hampir 200 ribu di antaranya.
Di tengah kondisi mengkhawatirkan tersebut, Donald Trump lantas dibanjiri kritik tajam. Sebagai orang nomor satu di AS, ia dinilai gagal menghambat laju kencang virus. Kebijakannya banyak yang ngawur dan menyepelekan risiko wabah COVID-19. Pada saat itulah Bob Woodward, mantan jurnalis politik dan penulis ternama asal Amerika, telak menghantam Trump.
Dalam buku terbarunya yang berjudul Rage (terbit pada 15 September 2020), Woodward mengungkapkan pernyataan Trump yang tak diketahui banyak orang: Trump sebetulnya tahu soal betapa berbahayanya COVID-19, jauh hari sebelum pandemi mewabah di AS. Namun, guna menghindari kepanikan publik, Trump memilih untuk merahasiakannya.
“Virus ini menyebar di udara,” kata Trump kepada Woodward pada 7 Februari 2020. “Penyebaran demikian selalu lebih sulit ketimbang sentuhan. Anda tidak perlu menyentuh sesuatu. Oke? Anda hanya perlu menghirup udara dan begitulah virus ini menular.”
Trump menambahkan, “Virus ini juga sangat rumit ... lebih mematikan ketimbang flu berat yang pernah menimpa Anda.”
Fakta itu sendiri diperoleh Woodward setelah mewawancarai Trump secara langsung. Sejak 5 Desember 2019 hingga 21 Juli 2020, Woodward setidaknya 18 kali mewawancarai Trump dan merekam semua wawancara tersebut atas seizin sang presiden. Dalam beberapa kesempatan, Trump juga sering kali menelepon Woodward untuk menambahkan kekurangan hasil wawancaranya.
Pada akhir Agustus 2020, beberapa saat setelah media-media AS membahas isi buku terbaru Woodward, Trump mencuit,”Buku Bob Woodward adalah soal kebohongan, selalu, seperti bukunya yang sudah-sudah.” Beberapa hari kemudian, Trump memberikan penjelasan lebih dalam soal pernyataannya tersebut:
“Woodward (mengaku) sudah mendapatkan pernyataan dari saya sejak beberapa bulan yang lalu. Jika dia mengira virus ini sangat berbahaya, mengapa ia tidak segera membuat laporan untuk menyelamatkan banyak nyawa? Bukankah dia (sebagai jurnalis) punya kewajiban untuk melakukannya?”
Terkenal karena Watergate
Lahir pada 26 Maret 1943, Bob Woodward tumbuh besar di Wheaton, daerah pinggiran Chicago, AS. Ayahnya adalah seorang ahli hukum terkemuka. Woodward sempat diperkirakan akan mengikuti jejak ayahnya setelah lulus dari Universitas Yale pada tahun 1965. Perkiraan itu lantas menguat pada tahun 1970: setelah bekerja selama lima tahun di Marinir AS, Woodward kembali kuliah dan mengambil jurusan hukum di Universitas Harvard.
Namun, alih-alih menyelesaikan kuliah hukumnya, Woodward justru banting stir di tengah jalan. Ia ingin menjadi seorang jurnalis.
Menurut situs Britannica, Woodward lantas mengontak redaksi Washington Post untuk memenuhi keinginannya tersebut. Ia mau magang selama dua minggu dan bersedia tak dibayar sepeser pun. Washington Post menerimanya, tapi tak ada satupun laporan Woodward yang naik cetak. Meski demikian, masa depan Woodward sebagai jurnalis ternyata tidak berujung gelap.
Yakin bahwa Woodward bisa menjadi jurnalis besar, Washington Post menyarankan Woodward untuk bekerja di Montgomery County Sentinel, media cetak mingguan di daerah pinggiran Maryland. Media yang kini dimiliki bos Amazon Jeff Bezos itu ingin Woodward belajar di media kecil terlebih dahulu. Keyakinan Washington Post tepat sasaran. Di Maryland, potensi Woodward tumbuh dan pada 1971 Woodward mulai bekerja untuk Washington Post.
Di Washington Post, Woodward bekerja sebagai reporter politik. Tulisannya masih acak-acakan, sehingga rekan kerjanya mengejek bahasa Inggris bukanlah bahasa ibu Woodward. Tapi, Woodward dikenal sebagai seorang reporter yang gigih.
Dari kegigihan itulah, setelah 9 bulan bekerja, Woodward pada akhirnya mampu membuktikan bahwa Washington Post tak salah mempekerjakannya: bersama Carl Bernstein, ia berhasil membongkar skandal Watergate, salah satu skandal paling besar dalam sejarah politik AS yang berujung dengan lengsernya Richard Nixon dari kursi Presiden AS.
Untuk membongkar skandal yang semula tampak seperti pencurian biasa pada Juni 1972 tersebut, Woodward dan Bernstein tampak seperti investigator andal. Mereka berangkat dengan tangan kosong, tapi yakin bahwa itu bukanlah pencurian biasa saja. Maka mereka menggali kasus pencurian itu dengan lebih dalam, dari mengembangkan narasumber, menerbitkan lebih dari 200 laporan, hingga meyakinkan redaksi Washington Post bahwa mereka akan menemukan sesuatu yang besar. Alhasil, saat kasus tersebut nyaris mandek di tengah jalan, mereka bertemu seorang bernama samaran "Deep Throat" yang memiliki kesaksian mengagetkan: Nixon terlibat di dalam kasus pencurian tersebut.
Singkat cerita, investigasi mereka mendapatkan penghargaan Putlizer dan membuat Nixon mengundurkan diri dari kursi Presiden AS pada 1974. Satu tahun setelahnya, tepatnya pada 14 Juni 1974, terbitlah All The President’s Men, buku Woodward dan Bernstein soal skandal Watergate. Buku itu laris manis di pasaran. Reputasi Woodward pun menanjak pesat.
Sejak itulah, entah lewat buku maupun laporan-laporannya, Woodward sering bikin Gedung Putih kebakaran jenggot. Ia hampir selalu mampu mengungkap rahasia sekaligus masalah di Gedung Putih. Dari kebiasaannya itu pula Woodward merasa berkewajiban untuk menghajar Donald Trump. Bagi Woodward, seperti ia simpulkan dalam Rage, Trump adalah “orang yang tidak cocok untuk menjadi pemimpin AS.”
Kontroversi Rage
Meski berhasil menghantam Trump secara telak, Woodward tak lepas dari kritik. Sebagaimana pembelaan Trump, orang-orang menyayangkan mengapa Woodward baru membeberkan fakta itu sekarang. Padahal, Woodward sudah mendapatkan pernyataan Trump tersebut sejak Februari 2020 silam dan ia adalah seorang mantan jurnalis. Jika ia membeberkan fakta itu lebih cepat bukan tak mungkin banyak nyawa akan terselamatkan.
“Bob Woodward mengetahui kelalaian pemerintah sejak lama. Sayangnya, ia justru menyimpannya untuk bukunya, yang barangkali akan mendapatkan banyak pujian dan keuntungan besar setelah hampir 200 ribu warga AS meninggal,” kata Charles P. Pierce dari Esquire, dikutip dari Guardian.
Adapun, Scott Nover, jurnalis asal Amerika, tak kalah galak dalam mengkritik Woodward. “Wawancara tentang COVID-19 ini sudah dilakukan pada Februari dan Maret 2020. Mengapa kita harus membacanya pada buku yang terbit pada bulan September? ... Ini sangat meresahkan. Kami, para jurnalis, seharusnya bekerja untuk kepentingan publik. Saya pikir ada kegagalan di sini.”
Kritikan terhadap Woodward lantas menjadi gelombang yang sama besarnya dengan fakta bahwa Trump sebetulnya sudah mengetahui bahaya COVID-19. Woodward pun dipuji sekaligus dibenci. Meski demikian, berdasarkan wawancaranya dengan Margaret Sullivan dari Washington Post, Woodward punya alasan mengapa harus berbuat demikian.
Pertama-tama, saat ingin mengajukan wawancara pada Trump, ia mengatakan bahwa wawancara tersebut untuk keperluan pembuatan buku, bukan untuk hal lainnya. Karenanya, ia punya tanggung jawab untuk menjaga hasil wawancaranya itu sebelum bukunya siap terbit. Lalu, Woodward juga tak yakin dengan sumber dari pernyataan Trump. Penyebabnya jelas: pernyataan Trump tampak tak masuk akal sebab Amerika masih tampak baik-baik saja dan Anthony S. Fauci, salah satu dokter ternama asal Amerika, menyebut bahwa warga AS tak perlu mengubah kebiasaan saat COVID-19 mulai melanda.
“Masalah besar saya, masalah yang selalu saja muncul setiap berurusan dengan Trump, adalah saya tidak tahu apakah ia sedang berbohong atau tidak.”
Woodward, masih berdasarkan wawancaranya dengan Margaret Sullivan, lantas menambahkan bahwa ia baru mengetahui bahwa pernyataan Trump tersebut ternyata bisa dipertanggungjawabkan pada Mei 2020. Pernyataan itu muncul setelah Trump melakukan rapat dengan intelijen AS pada Januari 2020. Namun, ketimbang mempublikasikan bukunya secara terburu-buru, ia ingin mengupasnya dengan lebih dalam sehingga masyarakat AS tahu gambaran besar kepemimpinan Trump.
Tujuan Woodward: agar masyarakat AS tak salah pilih pada Pemilu Presiden 2020 yang akan berlangsung pada 3 November 2020.
Penjelasan Woodward masuk akal dan bisa dimengerti. Terlebih saat membongkar skandal Watergate, laporan-laporannya saat itu nyaris tenggelam karena keriuhan menjelang pilpres. Untuk mengungkapkan sesuatu yang besar, ia harus melakukannya pada waktu tepat. Namun, alasan para pengkritik Woodward juga tak bisa disalahkan.
Soal ini, Sullivan menulis, “Saya tidak tahu apakah membocorkan isi buku itu lebih cepat akan membuat perbedaan. Isi buku itu mungkin akan ditolak dan tenggelam karena skandal atau kebohongan baru. Namun, sekecil apapun peluangnya, bahwa isi buku itu bisa menyelamatkan nyawa adalah sebuah argumen yang sangat kuat.”
Editor: Windu Jusuf