Menuju konten utama
14 Juni 1974

Skandal Watergate dan Reportase yang Melengserkan Presiden

Duo wartawan.
Lembaran kertas koran
gulingkan dalang.

Skandal Watergate dan Reportase yang Melengserkan Presiden
Richard Nixon, Presiden AS yang terjungkal karena Watergate. tirto.id/Fuad

tirto.id - Bob Woodward adalah mantan marinir Amerika Serikat yang bekerja di Kapal USS Wright. Pada 17 Juni 1972, dia sudah sembilan bulan bekerja di The Washington Post (The Post). Pagi itu, pukul 2.30, sebagai reporter politik, Woodward mendapat kabar Kantor Pusat Partai Demokrat di Kompleks Watergate, Washington DC dibobol.

Di usianya yang ke-29 itu, tulisan Woodward acak-acakan. Hingga beberapa orang sekantornya menyindir: mungkin bahasa Inggris bukan bahasa asli Woodward. Isu Skandal Watergate membuatnya harus bekerja dengan Carl Bernstein, kala itu 28 tahun, reporter isu metropolitan yang telah bekerja di The Post sekitar 6 tahun.

Petunjuk awal mereka terima dari Alfred E. Lewis, mantan polisi yang menjadi reporter media itu. Dia jurnalis yang mudah sekali menembus area penyelidikan polisi yang terlarang bagi para pemburu berita. Hari itu hanya dia jurnalis yang sepanjang hari bersama polisi melakukan penyelidikan TKP. Lewis menjelaskan, ada lima pria yang ditangkap. Mereka berpakaian setelan bisnis dan mengenakan sarung tangan karet.

Beberapa barang mereka yang disita polisi mulai dari walkie talkie, 40 gulungan film yang tidak terekspos, dua kamera 35 milimeter, lock picks (kunci pembobol pintu), senjata gas air mata seukuran pena, dan perangkat penyadap percakapan ruangan dan sambungan telepon. Lewis memastikan lima orang itu sudah familiar dengan tata letak markas Partai Demokrat.

Dari memoar yang ditulis keduanya, yang terbit pertama kali pada 14 Juni 1974, tepat hari ini 44 tahun lalu, All The President's Man: The most devasting political detective story of the 20th Century, mereka reporter harian yang berangkat dengan tangan kosong. Woodward beranjak ke pengadilan memburu pengacara kasus Watergate, Douglas Caddy. Dia juga mendapati satu nama yang mencolok yaitu James McCord, salah satu orang yang membobol Markas Partai Demokrat. James McCord mengaku pada hakim sebagai mantan konsultan keamanan CIA tapi berupaya menampilkan ekspesi yang jinak. Woodward menulis berita pendek soal itu untuk halaman depan The Post tanpa menggali lebih dalam siapa McCord.

Esoknya, Associated Press justru yang pertama melaporkan bahwa James McCord adalah koordinator keamanan Komite untuk Pemilihan Kembali Presiden Amerika Richard Nixon. Media itu mengutip komentar resmi John Mitchell, mantan Jaksa Agung AS, yang juga menjadi manajer kampanye Presiden Nixon.

“(McCord) adalah pemilik badan keamanan swasta,” kata Mitchell. “Orang ini dan orang lain yang terlibat tidak beroperasi atas nama kami atau dengan persetujuan kami.”

Woodward dan Bernstein nanap mengetahui berita dari layanan kawat Associated Press itu. Mereka akhirnya berpikir, remahan ocehan resmi tokoh pemerintahan dan para politisi bisa dikantongi dari kantor berita lain. Sedangkan tugas mereka berdua adalah menyisir informasi lain yang lebih dalam.

Mereka mulai mencari tahu siapa James McCord. Mencari alamat dan mendatanginya; menghubungi nomor telepon rumahnya; hingga hingga menemui mantan pengacara James McCord, Harlan A. Westrell. Dari situlah daftar narasumber mengembang.

Secara bertahap, profil James McCord didapat: penduduk asli Texas Panhandle; sangat religius, aktif di First Baptist Church of Washington; ayah dari kadet Angkatan Udara Akademi; mantan agen FBI; cadangan militer; mantan kepala keamanan fisik untuk CIA; guru kursus keamanan di Montgomery Junior College; sangat teliti; pendiam; dapat diandalkan.

Empat narasumber menggambarkan McCord sebagai "loyalis pemerintah" yang sempurna. Tentu enggan bertindak atas prakarsanya sendiri, menghormati rantai komando, tanpa bertanya dalam mengikuti perintah. Daftar narasumber makin rumit ketika petugas personalia tempat McCord bekerja memberi 15 nama untuk dihubungi.

Dua reporter itu menghubungi mantan pejabat pemerintahan Nixon dan pejabat Gedung Putih. Hanya mengajak mereka berdiskusi tanpa direkam. Dia juga mencari tahu dari orang-orang yang direkrut sebagai spesialis dalam taktik kampanye Nixon yang bekerja untuk mencegah Demokrat mencuri suara dalam pemilihan presiden. Mereka menelusuri surat-surat, barang bukti, perusahaan tempat orang bekerja, petugas perpustakaan, dan yang paling penting: daftar transaksi keuangan.

Benjamin C. Bradlee, editor eksekutif The Post yang selalu berbicara dengan kaki yang direntangkan di meja kerja, tak terkesan sama sekali dengan kinerja dua reporternya.

"Lain kali bekerjalah lebih keras untuk menggali informasi," kata Bradlee usai tak mengizinkan naskah Woodward dan Bernstein masuk halaman utama.

Beberapa hari setelahnya, kisah Watergate terhenti. The Post bekerja seperti kebanyakan media lain: fokus pada euforia menjelang Pilpres. Dalam penelitian Louis W. Liebovich, profesor di Universitas Illinois, dalam rentang enam bulan semenjak pembobolan Watergate, The Post telah menayangkan 200 artikel tentang skandal itu. Jumlah itu lebih dari dua kali lipat dari yang ada di New York Times. Hanya The Post yang menuturkan secara runut dengan strategi investigasi.

Follow The Money

Woodward kembali membuka komunikasi dengan seseorang yang bekerja di Gedung Putih. Dia berjanji tak akan membuka identitas narasumber anonim itu. Tujuannya bukan untuk mencari kutipan, tapi rekan diskusi yang intens untuk menambah perspektif. Istilah lain untuk sumber macam itu adalah whistle blower.

Jauh sebelum Watergate, Woodward dan narasumbernya itu menghabiskan banyak malam berbincang tentang Washington, pemerintah, dan kekuasaan. Seorang redaktur The Post menamai sumber anonim itu sebagai “Deep Throat”. Julukan itu diambil dari judul film porno populer yang disutradarai Gerard Damiano.

"Saya tidak suka koran," kata Deep Throat datar.

Dia membenci berita yang dangkal. Dia memiliki akses ke informasi dari Gedung Putih, Pengadilan, FBI, dan Komite untuk Pemilihan Ulang Presiden Nixon. Woodward menganggapnya sebagai guru yang tak sok tahu tapi memihak pada kebenaran.

Deep Throat memiliki sifat khas paranoid. Ia tak mau dihubungi via telepon atau dengan cara yang bisa diketahui orang lain. Dia menyarankan agar Woodward membuka tirai di apartemennya sebagai sinyal ingin bertemu dengannya. Woodward lebih sepakat memberikan kode pot bunga yang ditanami bendera merah yang ditaruh di balkon apartemen. Itu tandanya jam 2 pagi dia berharap bertemu Deep Throat di basement yang menjadi tempat parkir mobil.

Tapi jika Deep Throat yang menginginkan sebuah pertemuan, ada prosedur yang berbeda. Dia akan melingkari nomor halaman koran New York Times langganan Woodward. Tanda itu adalah kode jam pertemuan.

Dari Deep Throat didapat kabar bahwa dana untuk operasi spionase Skandal Watergate dikendalikan oleh beberapa asisten utama John N. Mitchell. Dana itu sebesar lebih dari 25 ribu dolar yang dialokasikan untuk proyek-proyek politik yang sensitif.

Saran Deep Throat adalah “Follow the money”. Cari tahu transaksi keuangan tim pemenangan Nixon dari mana dan berapa jumlahnya.

Ada pencucian uang melalui rekening bank di Kanada yang dilakukan John N Mitchel. Bradlee pun meminta Bernstein melakukan konfirmasi ke narasumbernya. Bernstein menghubungi John N. Mitchel. Bernstein langsung menuding: John N Mitchel mengontrol dana rahasia untuk menyadap Partai Demokrat saat menjabat Jaksa Agung Amerika Serikat. Tentu tudingan itu segera dibantah sekaligus membuat berita menjadi berimbang.

Beberapa hari setelahnya, Bradlee kembali membuka ruang sidang kecil untuk dua reporternya. Dia tak percaya dua reporternya mendapati Harry Robbins Haldeman, Kepala Staf Gedung Putih-nya Nixon, sebagai salah satu orang yang mengendalikan dana kampanye untuk spionase dan sabotase politik. Bradlee tegas tak akan menerbitkan temuan itu karena sumber tak relevan.

Woodward dan Bernstein hanya punya waktu 20 menit untuk meyakinkan Bradlee agar temuan itu dimuat dalam koran besok. Bernstein kemudian menghubungi seorang pengacara di Departemen Kehakiman untuk menjadi narasumber keempat terkait tudingan pada Haldeman.

Bernstein membuat kesepakatan, jika sampai hitungan sepuluh pengacara itu tak menutup telepon, berarti tudingannya pada Haldeman benar. "Anda sudah mengerti sekarang?" tutur pengacara itu usai hitungan kesepuluh.

Itulah sumber emas yang membuat naskah berita menjadi solid. Bradlee meloloskan naskah itu untuk dimuat dengan ekspresi naturalnya yang datar.

Infografik Mozaik Jurnalisme menjegal presiden AS

The Post Tekucilkan

Ronald Louis Ziegler, Sekretaris Pers Gedung Putih dan Asisten Presiden, membantah tudingan The Post soal Heldeman. Dia menjadi perwakilan pemerintah yang pertama memberikan intimidasi. Ziegler melumpuhkan kredibilitas The Post dengan menyatakan media itu bergerak dalam jenis jurnalisme yang berlandaskan desas-desus dari narasumber anonim.

"Saya menghormati pers yang bebas. Saya tidak menghormati jenis jurnalisme keji yang dipraktikkan oleh Washington Post," kata Louis Ziegler. Dia juga mengumbar kedekatan Bradlee dengan Kennedy dan menyatakan seluruh isi The Post adalah anti-Nixon.

Usai pernyataan itu, perdebatan pun terjadi di ruang redaksi, yang berujung pada upaya mengungkap siapa Deep Throat. Tentu didasari kebimbangan apa benar The Post salah. Tapi Bradlee memutuskan untuk membela anak buahnya.

Bradlee mengetik pernyataan pers pada beberapa media yang mengejarnya. Dia bubuhkan di judul: "We stand by our story".

Hingga suatu kali, Woodward memainkan "Konserto Piano"-nya Rachmaninoff di apartemennya untuk merusak upaya penyadapan. Di depan mesin ketik dia menuliskan: "Kehidupan semua orang dalam bahaya!" Bernstein membacanya. CIA telah melancarkan operasi besar. Saat itu juga jam 2 pagi, mereka berdua ke rumah Bradlee untuk memastikan bahwa selama ini apa yang mereka tulis benar.

Di versi film—All The President's Man (1976) yang disutradarai Alan J. Pakula—Bredlee berkata bahwa dari jajak pendapat terbaru Gallup, setengah penduduk Amerika tak pernah mendengar kata Watergate. "Tak seorang pun yang peduli." Satu-satunya yang mendukung mereka adalah amandemen pertama konstitusi terkait kebebasan pers.

Hari-hari setelah itu, secara beruntun sejak 11 Januari 1973, satu persatu orang-orang suruhan Nixon terbukti telah melakukan penggalangan dana dan strategi pemenangan ilegal. Louis Ziegler meminta maaf kepada The Post seminggu sebelum media itu mendapat penghargaan Pulitzer. John N Mitchel, Haldeman, James McCord, beserta lebih dari 30 orang lainnya divonis penjara.

Pada 8 Agustus 1974, saat perwakilan seluruh negara bagian berarak menuju pemakzulan, Nixon mengancam akan menjatuhkan nuklir di Capitol Hill jika didakwa sebagai dalang Skandal Watergate. Nixon kemudian buru-buru mengumumkan pengunduran dirinya. Gerald Ford menggantikannya menjadi presiden ke-38 Amerika Serikat.

Setelah perang spekulasi selama 31 tahun tentang siapakah Deep Throat, akhirnya ia terbongkar pada Juli 2005. John D. O'Connor, pengacara di San Francisco, menulis untuk Vanity Fair tentang seorang bernama Mark Felt yang mengaku sebagai Deep Throat. Woodward dan Bernstein kaget karena mereka berdua berjanji tak akan membuka suara sampai Mark Felt mati. Padahal kebocoran informasi itu berawal dari anak Carl Bernstein, Jacob Bernstein.

Deep Throat ternyata adalah mantan pejabat nomor dua FBI. Pada 19 Desember 2008, Mark Felt meninggal di usianya yang ke-95. “Anda lihat bahwa Felt atau Deep Throat secara luas mengkonfirmasi informasi yang kami dapatkan dari sumber lain,” kata Carl Bernstein kepada reporter The Post, David Von Drehle.

Baca juga artikel terkait PRESIDEN AMERIKA SERIKAT atau tulisan lainnya dari Dieqy Hasbi Widhana

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Ivan Aulia Ahsan